logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Just Wanna Be Loved

Just Wanna Be Loved

Dedew Lan Hua


Bab 1 Cewek Aneh

Nico berjalan santai di koridor sekolah bersama Raymond, sahabatnya. Memasuki kawasan kelas XI IPA 3, ia melihat segerombol murid berdesak-desakan di depan kelas. Mereka berebut melongok ke dalam, seperti sedang mengintip sesuatu yang menarik. Kerumunan itu membuat Nico dan Raymond merasa penasaran.
Nico mendekat. Ia begitu ingin mengetahui sesuatu yang terjadi sampai di depan kelasnya seramai itu. Raymond menebak dan memberi tahu dirinya jika mungkin sedang terjadi kasus perundungan lagi. Seperti yang Nico dan Raymond ketahui, ada kelompok yang terdiri dari tiga siswi populer suka melakukan penindasan. Peristiwa seperti itu sering terjadi di SMA BINA TERATAI. Apalagi murid-murid yang merasa tinggi karena status orang tua yang penting di sekolah, mereka tidak segan untuk mencemooh atau mengganggu murid yang statusnya lebih rendah.
Nico sudah berada di kerumunan, ia melihat Winda baru saja membalikkan sebuah ransel biru yang terbuka sambil berdiri. Dari ransel itu, keluar berbagai isi: buku-buku, tempat pensil, tempat makan, serta jam tangan yang langsung jatuh ke lantai sehingga menimbulkan suara benda terbentur. Di depan Winda, terdapat seorang siswi duduk di lantai sambil menunduk. Siswi itu mencoba mengambil kembali barang-barang yang berserakan di lantai tanpa mengatakan apa pun. Nico mengenal siswi itu, tetapi tidak kenal betul karena dirinya jarang berinteraksi dengan cewek yang jadi korban pendindasan itu.
Tidak ada suara tangisan atau rengekan dari korban penindasan kali ini, tidak seperti korban lain yang akan mengumbar air mata hingga memohon ampun. Pemandangan kali ini membuat Nico tergerak, pikirannya mengusulkan untuk mengetahui cewek seperti apa yang hanya diam membisu ketika ditindas orang lain. Ditambah, ia melihat Devi yang jongkok di samping korban dengan tangan menjambak rambut siswi itu. Tangan Devi menarik rambut korban ke belakang hingga kepala cewek itu mengarah ke Winda yang masih berdiri.
“Gue ingetin sekali lagi, lo harus dengerin omongan dan perintah dari gue! Sekarang, gue minta lo tanggung jawab. Lap sepatu gue pake tangan lo atau rambut lo juga bisa!” Winda, dengan gaya seperti penguasa, mengarahkan kaki terbungkus sepatu hitam putih di depan cewek itu. Pijakannya tepat berada di atas tas yang baru saja ia jatuhkan ke lantai.
Melihat perlakuan Winda dan teman-temannya, Nico mulai geram. Jika hanya berkata kasar, mencemooh, atau memerintah untuk hal yang wajar, ia masih bisa terima. Namun, hal yang ia lihat saat ini merupakan sesuatu yang berlebihan. Winda meminta cewek itu untuk mengelap sepatu miliknya, yang bahkan tidak terlihat kotor sama sekali.
Nico meminta teman-teman di depannya untuk memberi jalan, lalu ia masuk ke dalam menghampiri Winda dan yang lain. “Apa yang mau lo perbuat, Win?” tanyanya sambil bersikap tenang, tetapi tatapan ke Winda cukup menantang.
“Gue cuma mau kasih nih cewek pelajaran. Siapa suruh ngotorin sepatu mahal gue?” ungkap Winda tanpa merasa simpati.
Posisi berdiri Nico cukup dekat dengan Winda dan lainnya, ia dapat melihat jelas wajah cewek yang masih dijambak Devi. Dari pengamatannya, siswi berwajah biasa-biasa tanpa riasan tebal itu tidak memperlihatkan ketakutan sama sekali. Nico berpikir jika dirinya tidak berada di sini, apakah mungkin cewek ini akan menuruti perintah Winda? Akan teramat memalukan jika hal itu sampai terjadi. Juga kejam!
“Kasih pelajaran sih, kasih pelajaran, tapi lo gak seharusnya mempermalukannya, sampai sejauh ini. Gue minta lo, segera berhenti atau—”
“Atau apa?” sela Winda, “Lo mau ngancem gue?” Cewek beriasan tebal—patut diakui bahwa ia cantik dan menawan—dan berambut hitam lurus sebahu, serta pita merah yang melengkung di kepala, menghampiri Nico hingga begitu dekat. “Lo mau sok jadi pahlawan dengan nolongin nih cewek? Gue minta lo gak usah ikut campur deh, Nic. Gue gak suka ya lo jadi bela-belain orang lain.”
“Udah deh, Win. Mending lo balik ke kelas. Jangan sampai lo kelewatan batas! Gue gak akan tinggal diam.”
“Oke, oke, gue pergi.” Winda semakin mendekat, lalu menepuk-nepuk pelan pipi Nico. “Tapi, gue gak akan biarin kalo lo belain dia atau deketin dia. Lo harus nurut sama gue.”
Siapa lo? Lo pikir gue takut. Nico tidak mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
“Ayo Devi, Pia, kita balik ke kelas,” ajak Winda kepada kedua temannya yang masih berada di samping korban penindasannya. Setelah mendengar perintahnya, Devi dan Pia bergegas menyusul.
Kepergian Winda memberi kesempatan Nico untuk mendekati cewek yang masih duduk di lantai. Ia melihat siswi itu menyambar ransel, lalu memasukkan barang-barang yang berserakan. Rambut cewek itu berantakan, baju juga sudah berkerut-kerut, tetapi wajahnya masih terlihat tegar. Nico jadi merasa tertarik untuk makin mendekat, ia mengulurkan tangan saat melihat cewek itu sudah berhasil memenuhi ranselnya. Tak ada balasan, ia menarik kembali tangannya dan memasukkan ke kantong celana.
Siswi itu berwajah sedikit bulat sehingga pipinya agak mengembung, tetapi badan masih terlihat ideal—tidak gemuk, tidak juga terlalu kurus. Rambut gelombang dikuncir dua sedikit berantakan karena bekas jambakan Devi, serta poni tipis menutupi jidatnya. Nico melihat siswi itu mendongak, tatapan bertemu dengan mata bulat di depannya. Sekian detik, siswi itu kemudian berdiri perlahan, menunduk sebentar tanda permisi, lantas kembali ke tempat duduknya yang berada di deretan paling depan, di samping ia berdiri barusan.
Seakan bertemu makhluk antik, Nico masih terkagum dengan keunikan wajah siswi di depannya: wajah bulat, mata bulat, pipi tembem. Ia merasa gemas dan ingin mencubit pipi itu. Selain itu, ketegaran siswi itu yang membuatnya bertambah kagum. Betapa ia tidak menyadari selama ini setelah satu tahun dalam kelas yang sama, bisa jadi mata hatinya tertutup sehingga tidak terlalu peduli dengan bagaimana rupa siswi-siswi di sekitarnya.
Nico mendekat ke arah cewek yang kini sudah duduk di bangkunya. Cewek itu masih membisu. “Lo gak apa-apa?”
Cewek itu memandang Nico dalam kebisuannya, diam sesaat, lalu mengangguk.
“Nama lo Lina, kan? Herlina Sulistiana?” ucap Nico setelah menggali lebih dalam ingatannya untuk mengetahui siapa nama siswi di depannya. Nico mendapat balasan hanya sebuah anggukan dari cewek yang ia kenal bernama Lina itu. “Lo bisu, ya? Eh... tapi gak mungkin, karena gue sering lihat lo, ngobrol sama teman sebangku lo. Hmm... lo takut sama gue?”
Lina melebarkan mata, baru kemudian ia menggeleng. “Iya, gue Lina.”
“Lo gak mau gitu, ucapin sesuatu sama gue?” Pertanyaan yang tidak seharusnya Nico pertanyakan, tetapi ia sangat berharap mendengar sekadar ucapan terima kasih dari cewek itu.
Lina terdiam, memikirkan apa yang harus diucapkannya. Setelah agak lama merangkai kata, ia hendak menggerakkan mulut, tetapi....
“Gak perlu berterima kasih, gue bantu lo karena emang, gak suka dengan tindakan Winda. Kalo Winda masih ganggu lo, bilang sama gue. Ngerti?” Nico tampak tidak sabar menunggu ucapan dari Lina sehingga ia bicara duluan. Setelah mendapat anggukan dari cewek itu, Nico berlalu menuju tempat duduknya. Cewek aneh, pikirnya.

Komentar Buku (260)

  • avatar
    nadyapAllysa

    keren

    02/01

      0
  • avatar
    JunaediAjun

    sangat bagus

    01/01

      0
  • avatar
    Sarmila

    bagus

    23/12

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru