logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

A HOME FOR REI

A HOME FOR REI

nur juwariyah


1. ADIK YANG TERUSIR

Wanita muda itu, duduk dengan kepongahan meski hatinya sakit tak terperi. Batinnya masih meyakinkan diri, ia baik-baik saja, ia sudah tak merasakan apapun, baik untuk adiknya yang sedang menatapinya dengan wajah bodoh, ataupun ibu tirinya yang memasang wajah masa bodoh.
Dua perempuan yang hadir dan merusak segala yang ia percayai itu, sungguh tak tahu malu, tak punya malu, tak memiliki rasa malu!
Bagaimana mungkin, dua perempuan  yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya ini, merusak segala kepercayaannya yang memang tinggal sisa!
Bagaimana mungkin, dua perempuan yang bahkan tak menunjukan penyesalannya ini, masih bisa duduk dengan begitu santai tanpa menunjukan urat malu mereka sedikitpun!
Bagaimana mungkin--Bagaimana mungkin dan terus bagaimana mungkin yang ujungnya sama saja! 'both of them have no Shame!'
Sampai wanita muda yang tak mau menunjukan ekspresi kalahnya ini, mengangkat wajahnya tinggi-tinggi setelah menarik nafas yang sesungguhnya begitu sesak, begitu menyakitkan, lalu berubah begitu tak terasa saat ia sadar, dua perempuan di hadapannya ini memang tak pantas mendapat apapun dari dirinya.
"Seharusnya, aku mengusir kalian dari dulu."
Suara itu terdengar begitu tenang, begitu dalam, begitu tegas, begitu-- dingin. Sampai membuat dua perempuan di hadapannya itu, mulutnya menganga dan makin lebar saat mendengar kalimat lanjutan yang bahkan tak menyisakan celah untuk dibantah. Tak secuilpun!
"Kuharap, saat aku pulang kalian sudah membawa apapun yang ingin kalian bawa pergi dari rumahku."
"A-apa maksud kakak, Mom?" Tanya gadis bodoh yang bahkan tak menyadari kesalahan apa yang sudah ia perbuat.
Tapi, bukannya menjawab tanya sang putri, perempuan paruh baya yang wajahnya masih kencang berkat perawatan super mahal itu, menatap balik wanita muda yang duduk begitu tenang setelah mengatakan pengusirannya.
"Huh" dengusnya dengan tatapan menantang pada wanita muda yang tak sekalipun ia anggap putrinya. TIDAK SEKALIPUN!
Hanya karena ia menikah dengan ayah dari wanita muda itu, tidak lantas menjadikannya ibu.
"Kau pikir, kami takut tak lagi mendapat sokongan darimu, hah?" begitu angkuh perempuan paruh baya ini berucap, "aku dan putriku akan baik-baik saja tanpa bantuanmu." Ujung matanya yang berwarna biru menggoda, melirik pada putrinya yang tak bisa mengikuti kemana arah pembicaraan.
Ia lalu mengangkat salah satu sudut bibirnya yang sudutnya sempurna, "apalagi ...," jedanya dengan sengaja, "sekarang ada janin yang sedang tumbuh dalam rahim putriku."
Perempuan paruh baya itu, mengangkat ujung bibirnya semakin tinggi. Seluruh pembawaannya menunjukan kemenangan setelah mengatakan apa yang ia banggakan.
"Dan Nara," tatapan bangganya kembali tertuju pada wanita muda yang tak ingin memotong ucapannya, "kau tentu tahu anak siapa yang sedang putriku kandung bukan?"
Nada mengejek yang penuh kemenangan terus ia perdengarkan, sorot mata birunya yang sewarana dengan gadis bodoh disampingnya bahkan merendahkan. Ia juga terlihat begitu senang melihat sorot mata wanita muda yang baru saja mengusirnya menunjukan ekspresi lain.
"Sulit kupercaya, tapi apa boleh buat jika Hans lebih memilih wanita yang sedang mengandung darah dagingnya. Bukan begitu, Nara?"
Terlukakah wanita muda itu dengan ucapannya? Seharusnya begitu, karena memang hal itu-lah yang diharapkan sang ibu tiri yang menggebrak meja dan nyalang menatap anak dari suaminya yang sudah lama mati.
Brak!!
Meja yang tak bersalah sedikitpun itu, tak bergeming meski apa yang ada di atasnya bergetar namun hanya bisa diam tanpa protes. Begitu mirip sang kepala pelayan yang rambutnya sudah bercampur uban.
Tenang, diam, memperhatikan.
Memperhatikan wanita muda yang duduknya tak berubah sedikitpun setelah mendengarkan ucapan ibu tirinya meski pelayan setia itu tahu, sedang seburuk apa rasa sang majikan detik ini, hari ini, saat ini. Tapi, wanita muda yang sikap dan sifatnya jauh lebih dewasa dari usia itu, begitu pandai membawa diri. Hal yang memang harus Nara miliki sejak usia dini, bahkan sebelum ia lancar bicara.
Wanita muda itu, wajahnya tak menunjukan ekspresi apapun kecuali kesombongan yang ia pertontonkan pada perempuan paruh baya tak tahu malu juga putrinya yang masih tak mengerti.
"Tentu saja kau tak perlu sokongan dariku, Mother," ucap Nara yang suaranya sama sekali tak berubah. Ia seperti menganggap ucapan istri kedua ayahnya ini, layaknya angin lalu yang hanya menyapa kemudian  menghilang tanpa jejak terlihat.
Sorot mata Nara yang bisa membekukan apa saja, bahkan mampu membuat sang ibu tiri menelan salivanya sendiri saat manik mata Nara yang lebih gelap dari malam pekat, lurus menatap manik matanya yang secerah langit di siang hari. Kemenangan dan kebanggan yang ia rasakan jadi benar-benar berkurang, bahkan lenyap setelah mendengar ucapan Nara selanjutnya.
"Saat kau bisa mencari pria macam ayahku yang mau menampung kalian," tak perduli pada rasanya, wanita muda itu melanjutkan ucapan, "pria seperti ayahku yang hanya perduli pada isi dalam celananya, tak perduli wanita macam apa yang ia tiduri."
BRAKK!!
Sekali lagi meja itu bergeming mendapat pukulan tangan terawat wanita paruh baya yang tak lagi bisa menjaga amarahnya. Sementara, pelayan setia yang hendak mendekat mundur lagi saat tangan sang majikan terangkat. Iori patuh tanpa kata, kembali pada tempatnya semula. Memperhatikan dalam diam tanpa melewatkan apapun.
Perempuan paruh baya yang dipanggil 'mother' itu, menatap tajam wanita muda dingin yang tak memiliki hubungan darah setetes pun dengannya. Wanita muda yang bersikap seakan dirinya tak penting, bukan siapa-siapa kecuali istri dari sang ayah. Lelaki bodoh yang akan luruh dengan ucapan manis dan sentuhan penuh perhitungan pada selangkangan dan perempuan paruh baya ini, begitu pandai memainkan jari dan mulutnya di sana. Dalam selangkangan pria yang hanya hidup untuk memuaskan segala dahaga wanita paruh baya ini, sampai pria itu mati.
Namun, pria yang mati itu tak meninggalkan apapun karena pria kaya itu, memang tak meliki hak atas apapun dari gemerlap dan kilauan yang selalu perempuan paruh baya itu damba seumur hidupnya.
Perempuan paruh baya ini, sungguh-sungguh 'gold digger' yang terjebak pada apa yang tak bisa membuatnya lari. Karena itu, ia bahagia mendengar pengusiran dari wanita muda yang wajahnya sama sekali tak berubah meski ada sorot kemarahan di sana.
Sorot kemarahan yang hanya sesaat dan itu sama sekali tak membuat wanita paruh baya itu puas.
"Kau tau, Nara," ucap sang ibu tiri yang ketenangannya kembali meski sorot matanya seolah ingin membakar kebekuan dalam pandangan Nara, "kau harus belajar menurunkan egomu supaya tak akan adalagi pria yang meninggalkanmu untuk wanita lain. Ayahmu mencintaiku lebih dari apapun bahkan saat kematiannya ia terus menyebut namaku. Begitupula Hans, yang lebih memilih putriku daripada kamu, tunangannya sendiri."

Komentar Buku (63)

  • avatar
    WarningsihPuji

    24569

    3d

      0
  • avatar
    EfendiErpan

    novel gratis download

    19/08

      0
  • avatar
    Ayu Setia Ningsih

    SERU

    18/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru