logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Episode 4

Jihan menunggu di depan kamar yang akan dia huni, karena Mang Jaja sedang memasukkan tasnya ke dalam kamar.
“Tasnya sudah saya letak di dalam, Neng. Kalau Neng butuh apa-apa, panggil saya saja. Saya selalu standby di pos jaga.” Ujar Mang Jaja sopan.
“Terima kasih ya, Mang.” Balas Jihan.
“Kalau begitu saya permisi dulu.”
“Iya, sekali lagi terima kasih ya, Mang.”
“Sami-sami, Neng.”
Mang Jaja pun berlalu dari hadapan Jihan, setelah lelaki paruh baya itu pergi, barulah Jihan melangkah masuk ke dalam kamar.
Netranya memperhatikan setiap sudut ruangan bercat putih itu, ada ranjang king size, sebuah lemari tiga pintu, meja hias dan sebuah pintu yang dia yakini adalah kamar mandi. Kamar ini jauh lebih bagus dari kamarnya di rumah, mudah-mudahan juga sama nyamannya.
Jihan pun segera menanggalkan pakaiannya dan seluruh aksesoris yang dia kenakan, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya terasa gerah dan lengket.
☘️☘️☘️
Setelah selesai mandi dan Shalat Magrib, Jihan keluar kamar dengan memakai gamis rumahnya beserta jilbab instan. Dia tak terbiasa melepas jilbabnya jika di luar kamar, apalagi di depan lelaki yang bukan mahram.
Jihan melangkah turun, dia akan melaksanakan tugas pertamanya sebagai seorang istri yaitu memasak makan malam untuk sang suami. Baru saja dia mulai menyiapkan bahan-bahan, Ammar turun dengan setelan rapi dan wangi. Lelaki berparas rupawan itu berjalan begitu saja melewati Jihan, tanpa sedikit pun berniat untuk sekedar meliriknya.
“Mas, mau ke mana?” Jihan bergegas mengejar langkah suaminya.
Ammar menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Jihan dengan tatapan malas. “Bukankah sudah jelas aku katakan tadi, jangan mencampuri urusanku! Jadi kau enggak perlu tahu aku mau ke mana!”
“Tapi aku sedang membuat makan malam, apa Mas akan makan di rumah?”
“Kau makan saja sendiri! Aku akan makan malam bersama kekasihku.” Ujar Ammar ketus dan berlalu pergi.
Jihan terdiam, matanya memanas dan dengan segera dipenuhi cairan bening yang tanpa aba-aba turun membasahi pipinya.
“Ya Allah, beri aku kesabaran.” Ucap Jihan lirih sambil memandang punggung Ammar yang semakin menjauh.
Akhirnya Jihan tetap melanjutkan memasak makan malam, tapi porsinya dia kurangi sebab tak ingin Mubasir. Jihan memasak sambil berulang kali mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes, hatinya terasa perih mendengar kalimat Ammar tadi.
Setelah selesai memasak, Jihan mengantarkan seporsi nasi dan lauk pauk untuk Mang Jaja.
“Ya Allah, Neng. Kenapa repot-repot buatkan untuk saya? Pakai diantar segala.” Tutur Mang Jaja sungkan sembari menerima piring yang disodorkan Jihan.
“Enggak apa-apa, Mang. Tadi masaknya kebanyakan, dari pada Mubasir enggak ada yang makan.” Sahut Jihan dengan senyum yang mengembang.
“Memang Den Ammar ndak makan?”
“Katanya dia makan di luar, Mang. Ya sudah, aku masuk dulu ya, Mang.”
“Oh. Iya, Neng. Terima kasih ya.”
“Sama-sama.”
Jihan melangkah masuk. Wanita berhijab itu membesarkan hatinya dan segera menuju meja makan, karena perutnya sudah merasa lapar dan minta diisi. Malam ini Jihan makan sendiri dalam keheningan di rumah besar itu, rumah tangga yang harmonis dan pengantin baru nan romantis seolah hanya angan-angan.
Malam pengantin yang syahdu serta suami yang seharusnya ada disisinya, kini seakan menjauh dari takdirnya. Apa yang Allah rencanakan untuk gadis sebaik Jihan? Kenapa terasa menyakitkan?
☘️☘️☘️
Setelah makan malam dan membereskan dapur, Jihan kembali ke dalam kamar dan segera mengerjakan Shalat isya.
Sesudah itu barulah dia membaringkan tubuhnya yang lelah, tapi tidak mudah bagi Jihan untuk terlelap, dia masih memikirkan perlakuan Ammar kepadanya.
Dia tak menyangka jika lelaki yang sudah lama dia sukai itu akan memperlakukannya dengan buruk dan tak menganggapnya sebagai istri.
Padahal Abi dan Umminya sangat senang Jihan bisa menikah dengan Ammar, mereka yakin Ammar bisa menjadi imam yang baik untuknya, tapi ternyata itu cuma khayalan.
Mata Jihan kembali memanas demi mengingat semua itu, kedua orang tuanya mempercayakan dirinya kepada seseorang yang sama sekali tak menginginkannya. Ternyata Ammar bukan lelaki yang dia kenal dulu, dia berubah.
“Abi .... Umi ... aku kangen.” Ucap Jihan dengan suara bergetar bersamaan dengan air matanya yang kembali menetes.
Dan jadilah malam pengantin yang seharusnya penuh kehangatan, kini hanya berteman sepi dan air mata. Hingga Jihan yang lelah menangis, akhirnya terlelap dalam kesedihannya.
Sementara itu, Ammar sedang menikmati makan malam bersama Miranda di sebuah restoran sederhana.
“Maaf, ya. Aku cuma bisa ajak kamu makan di sini, soalnya ATM dan kartu kreditku belum dikembalikan Papa. Sedangkan gajiku enggak seberapa.” Ucap Ammar dengan wajah yang kesal.
“Enggak apa-apa, kok. Santai saja.” Balas Miranda sambil menggenggam tangan Ammar.
“Terima kasih, ya, Mir.”
Miranda hanya tersenyum manis.
“Oh iya, jadi bagaimana dengan wanita itu? Dia cantik enggak?” Miranda mengalihkan pembicaraan.
“Lumayan. Tapi enggak secantik kamu.”
“Seksi mana sama aku?” Tanya Miranda lagi.
“Seksi kamu lah! Dia berhijab, aku bahkan enggak pernah melihat rambutnya.”
“Pasti dia pakai gamis kebesaran dan kampungan, malas banget lihatnya.” Cibir Miranda.
“Iya, kamu benar.”
“Tapi awas saja kalau kamu sampai tergoda!” Ancam Miranda.
“Kamu ini bicara apa, sih? Ya, enggak lah! Kamu kan tahu aku akan selalu menjagamu, jadi mana mungkin aku berpaling.”
“Syukurlah kalau kamu masih ingat dengan janji itu.” Ucap Miranda sambil tersenyum penuh arti.
☘️☘️☘️

Komentar Buku (228)

  • avatar
    afrinaqaireen

    sangat best dan sngat berpuas hati best sangat Nanti ada episode lain saya Nak baca lagi

    3d

      0
  • avatar
    AmiraNoor

    padam muka Ammar

    21d

      0
  • avatar
    Iksanfauzi

    keren

    18/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru