logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Lagu Pernikahan

Tema kostum berikutnya kebaya model merak warna ungu muda. Ini baju teribet yang harus aku pakai. Bayangkan aku harus menyeret kebaya ungu yang menjuntai hingga dua meter. Belum lagi slayer panjang yang mengalir dari mahkota sanggul di kepala. Cukup menyesal memilih baju ini. But show must go on! Jadi keluarlah aku dengan orang-orang yang ikut membantu memegang ujung kebaya.
Dan aku menyesal tiga kali lipat karena sudah telanjur bilang pada sesi terakhir ingin perform di atas panggung dengan gitar. Menyanyikan sebuah lagu ciptaan sendiri sebagai kado pernikahan untuk suami. Sekali lagi aku harus merepotkan banyak orang yang membantu naik ke atas panggung agar bajuku tidak tersangkut.
Tepuk tangan bergema riuh mengiringi petikan pertama gitarku. Aku mulai konsentrasi pada lagu. Maklum, lagu baru. Liriknya masih belum hafal benar sehingga aku memejamkan mata untuk membaca teks lagu melalui penglihatan mata pikiran.
Inti dari lagu ini adalah aku ingin pernikahan ini menjadi pernikahan pertama sekaligus terakhir. Sebuah pernikahan yang akan berlanjut hingga ke surga. Sentimental sekali bukan? Itulah aku di balik sikap yang sedikit cuek, aku ini seorang yang romantis.
Selesai membawakan satu lagu berjudul “Pernikahan di Surga” dengan penuh 'penghayatan', aku langsung menoleh ke arah suami untuk melihat reaksinya. Ah, ekspresi itu lagi. Dia nampak seperti patung lilin menawan menatap panggung. Aku tak paham arti tatapannya. Tersentuhkah dia dengan laguku? Akan aku tanyakan nanti.
Suara tepuk tangan yang lebih meriah mengiringi langkah turun dari panggung. Cukup sulit, karena bajuku melambai kemana-mana. Aku sedikit berharap Mas Ros akan menyambut di sisi panggung sambil mengulurkan tangan membantuku turun. Tapi tangan yang kuraih malah tangan Pak Tejo yang mengurus sound system.
"Aku baru membuatnya lima hari yang lalu." kataku saat duduk kembali ke pelaminan.
"Pantas kamu belum hafal." ucapnya langsung tahu kekuranganku.
"Apa begitu kelihatan belum hafal?" tanggapku. "Kupikir tadi cukup meyakinkan dengan memejamkan mata sambil mengingat teks bukankah tampak sedang menghayati lagu?"
"Tapi bagiku itu bukan penghayatan. Sangat terlihat kamu sedang berusaha menghafal."
"Ya, baiklah. Yang pasti aku banyak mendapat tepuk tangan meriah kecuali dari kamu." kataku tersenyum ke arah para tamu yang sudah menghargai usahaku.
Waktu terus bergulir. Jam menunjukkan pukul dua siang, tamu mulai menyurut. Membuatku bisa duduk dengan tenang, tanpa harus sering bangun duduk setiap detiknya. Lututku sudah seperti habis menjahit ribuan kain.
Sesi selanjutnya foto-foto keluarga. Lagi-lagi aku harus berdiri tanpa mengenakan alas kaki. Untung baju yang aku kenakan panjang hingga bisa menutupi kaki yang telanjang.
Malam pun segera tiba. Hatiku tambah berdebar tidak karuan. Malam ini adalah malam pertamaku dengan Mas Ros. Apa malam ini dia akan langsung menyerangku? Atau dia bisa sedikit bersabar menunggu besok malam ketika badan sudah tidak terasa remuk redam seperti sekarang. Ah, membayangkan saja sudah membuatku semakin kikuk di hadapannya.
Aku menunggu Mas Ros di kamar sambil mondar-mandir seperti setrikaan. Jika bolak-balik di aspal, aku rasa petugas perbaikan jalan tidak memerlukan stum atau silinder untuk meratakan aspalnya. Cukup panggil aku saja, ditanggung semua jalan bakal halus dan licin tidak bergelombang seperti jalanan yang biasa aku lalui.
Ini sungguh menegangkan. Tanganku terasa dingin. Aku mulai berlari-lari di tempat untuk mengurangi tekanan di dada. Berusaha merilekskan tubuh dengan sedikit peregangan. Ya Tuhan, ada apa denganku? Apa sebaiknya aku keluar saja agar tidak terlalu tegang. Dengan mengobrol mungkin bisa menyusut cemasku. Tapi, bukankah aku ingin menunggu di kamar dan memberinya kejutan kecil.
Aku teringat sesuatu dan segera membuka lemari pakaian. Tanganku gemetar ketika meraih seonggok kain tipis transparan berwarna merah. Sebuah lingerie satu paket dengan g-string dalam sudah tergenggam di tangan. Resah antara ingin memakai dan tidak.
Lingerie warna merah dengan renda hitam pada bagian bawah dan tali atasnya. Aku membelinya atas saran dua sobat tengilku itu. Untuk warna mereka juga yang memilih. Kata mereka, warna merah akan menimbulkan kesan menggairahkan dan hitam memberi efek seksi. Dan aku harus tampil seksi di malam pertama agar meninggalkan kesan yang tidak terlupakan. Kadang aku tidak mengerti dengan yang mereka katakan.
Aku mengintip keluar melalui celah jendela kamar. Mas Ros masih asyik mengobrol dengan kerabat laki-laki dari keluarga orangtuaku. Ini kesempatan bagus, aku bisa berganti lingerie dan bersiap menyambutnya dengan asmara yang menggelora.
Bergegas kumenuju kamar mandi yang berada dalam kamar untuk mengganti baju tidur biasa dengan lingerie seperti saran Cecil dan Nita. Sebelum keluar kamar mandi aku melongokkan kepala memastikan bahwa situasi masih aman. Perlahan dengan malu-malu seolah sedang ada yang melihat, aku langkahkan kaki sedikit demi sedikit mendekati cermin.
Aku tercengang melihat tubuhku dalam balutan lingerie. Ada rasa malu mendapati tubuh terbungkus sesuatu yang transparan dan minim. Ini pengalaman pertamaku berpakaian seksi. Akhirnya aku tersenyum sendiri mulai terbiasa dengan penampilan kali ini. It's show time part IV!
Anganku me-reka posisi paling tepat menyambut kedatangan Mas Ros di kamar nanti. Tiduran di ranjangkah? Berdiri menyambutnya dengan tangan terentang atau duduk di kursi meja rias dengan posisi menantang. Berkali-kali aku memandang ke cermin sambil mencari pose mana yang paling mengesankan.
Kira-kira pikiran apa yang akan bersemayam di otak Mas Ros jika melihatku memakai baju seperti ini. Apa dia akan memuji dan langsung menyergapku? Apa dia justru melabeli aku sebagai gadis penggoda. Hei, bukankah sekarang aku ini istrinya. Sah-sah saja bukan jika aku menggodanya. Segalanya telah halal kecuali berhubungan melalui lubang yang tidak wajar.
Jangan-jangan dia akan mengejek tubuhku yang kerempeng ini. Dada rata, pantat juga tidak ada. Kulitku juga tidak mulus, warna sawo matang yang nyaris busuk. Kami jelas tampak bagai koran hitam putih bila menempel satu sama lain.
Aku mendengar suara Mas Ros di depan pintu. Panik! Aku segera berlari naik ke ranjang dan menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Entah apa yang ada dibenakku, antara ingin tampil seksi dan malu berbaur membuatku bertingkah aneh macam ini. Apa gunanya coba pakai lingerie kalau kau malah bersembunyi di balik selimut.
Masih dalam pergolakan batin, pintu kamar terbuka. Aroma Mas Ros langsung menyergap indera pembau meski aku berada dibalik selimut. Aku semakin mencengkeram erat selimut yang menutupi kepala. Jantungku sungguh mau copot. Nafasku mulai sesak. Apalagi ketika Mas Ros memanggil namaku. Lidah terasa kelu tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kamu sudah tidur, La?" tanyanya sekali lagi lalu terdengar dengusan nafasnya.
Mulutku terkunci. Sebenarnya aku ingin mengatakan kalau masih terjaga dan sedang menunggunya. Tapi yang ada aku makin terkubur dalam selimut berteman diam.
Masih dari bawah selimut aku mendengar Mas Ros masuk kamar mandi. Aku semakin panas dingin tidak karuan. Dan yang paling menyebalkan adalah mendadak aku kebelet pipis. Begitu dia keluar dan merebahkan tubuhnya di sisiku, tubuhku meremang tegang.
Aku masih menunggu di balik selimut apa yang akan Mas Ros lakukan padaku. Berharap dalam cemas. Menanti sentuhan lembut yang akan meluruh ketegangan yang membara.
Sayangnya, apa yang aku khawatirkan sekaligus aku dambakan tidak terjadi. Apa karena aku terlalu menutup diri? Mungkin juga Mas Ros tidak ingin mengganggu tidurku. Dia begitu pengertian rupanya. Membiarkan aku melewatkan malam ini dengan beristirahat tanpa gangguan.
Aku merutuki diri sendiri. Harusnya kau sedikit memberi celah, jangan kau tutup seluruh tubuhmu! Setidaknya berilah dia kesempatan untuk menciummu. Sedikit membelai wajahmu atau mengendus aroma tubuhmu. Aku mendesah merasa bodoh sekaligus bersalah.
Ini sungguh mengerikan! Aku bahkan sama sekali tidak sanggup keluar dari balik selimut meski sangat ingin pipis. Aku menunggu sampai Mas Ros terlelap agar bisa keluar dari kurungan yang kubuat sendiri.
Detik demi detik hingga menit ke menit aku hitung dengan cermat. Setidaknya pada menit ke lima belas dua detik akhirnya terdengar suara dengkuran halus dari arah samping. Perlahan aku membuka selimut yang hampir membuatku pingsan. Perut bagian bawah juga mulai sakit akibat menahan air seni. Aku mengintip pada sosok yang tertidur pulas yang meringkuk membelakangiku.
Lega sekaligus kecewa menyergap. Lega karena akhirnya aku bisa segera menuntaskan hasrat pipis yang semakin menyiksa. Kecewa, karena sejatinya aku berharap dia akan sedikit saja menyentuhku, setidaknya menciumku sebelum dia pulas tertidur. Ah, bagaimana dia mau menciummu coba, kau menutup rapat seluruh tubuhmu! Terdengar suara kata hati mengutuki.
Aku bergerak sangat pelan menuruni ranjang. Sesekali menoleh ke belakang memastikan mata Mas Ros masih terpejam. Aku tidak mau ketahuan mengendap-endap seperti maling dalam balutan baju seksi ini. Syukurlah aman!
Sepertinya Mas Ros benar-benar lelah hari ini. Saat aku kembali dari kamar mandi, dia masih tenang dalam dengkuran dan tetap pada posisi miring ke kiri membelakangi sisi pembaringanku. Berjingkat aku mendekati Mas Ros lalu duduk tepat di hadapan wajahnya.
Aku mengamati wajah Mas Ros yang meski tidur tetap menawan. Setengah ragu-ragu aku mulai meraba wajahnya, dari alis tebal yang berbaris rapi, hidung yang berdiri tinggi, dan sekuntum bibir lembut yang seolah minta dikulum. Ah, aku hanya berani meraba antara kena dan tidak kena ke kulitnya. Aku takut tanganku akan melukai wajahnya yang halus sempurna. Sementara itu tangan kiriku meraba wajah sendiri, mencoba membandingkan kekontrasan wajah kami.
Hidungku tidak terlalu mencuat, bibirku sedikit tebal, kemudian pipiku tidak mulus akibat bekas jerawat yang pernah menjajah. Wajahku benar-benar seperti penampakan rembulan yang dilihat melalui teropong luar angkasa. Aku sangat beruntung mendapatkan Mas Ros yang bisa mengimbangi kekuranganku.
Hanya dua hal yang aku unggul darinya. Kepintaran? Bukan. Kalau pintar aku tentu sudah jadi guru matematika atau Bahasa Inggris seperti Mas Ros. Kekayaan? Mana mungkin. Orangtuaku hanya pegawai negeri golongan menengah. Sementara orang tua Mas Ros, papanya pengusaha sukses, mamanya bekerja sebagai pegawai negeri. Gambaran keluarga sejahtera lahir batin. Terlebih dari sisi materi.
Lalu apa keunggulan seorang Ilalang? Baiklah, akan aku beritahu. Pertama adalah dari segi umur. Saat ini umurku 33 tahun sedangkan umur Mas Ros baru 28 tahun. Yaah, meski aku lebih tua aku tetap memanggilnya Mas Ros sebagai bentuk penghormatan dan sayang padanya. 
Keunggulan kedua, dari segi fisik_postur tubuh. Ini cukup menghibur karena aku punya sisi yang masih bisa aku banggakan yaitu tinggi badan. Untuk ukuran perempuan Indonesia, aku cukup tinggi. Setidaknya aku bisa menjadi model dengan tinggi 175 cm tersebut. Sayang tidak ada kesempatan untuk itu. Sementara tinggi Mas Ros cuma 165 cm, ukuran rata-rata pria Indonesia. Terpaut 10 cm sehingga perias pengantin tidak memperkenankan aku memakai selop hak tinggi saat bersanding dengannya apalagi saat sesi foto-foto tadi.
Aku menatapnya lekat-lekat. Masih kurang yakin dengan pemandangan di depan. Pria yang aku puja ternyata bersedia menikahiku dengan begitu tiba-tiba.
"Mas Ros, terimakasih sudah menjadi suamiku." bisikku padanya.

Bình Luận Sách (14)

  • avatar
    Joanna San Patricia

    keren.

    18/02/2023

      0
  • avatar
    TrianVahri

    good

    29/12/2022

      0
  • avatar
    123Kaubohong

    bguss

    17/07/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất