logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Dia, Menyebalkan

"Kamu tidak tahu siapa dirimu?" tukas pak Peno memastikan. Pemuda itu malah kebingungan.
"Aargh!" pekiknya memegang kepalanya.
"Y-ya sudah. Jangan dipikirkan. Istirahat saja."
Pemuda itu tercenung. Kelihatan sekali dia frustasi karena tak kunjung mengingat dirinya. Pak Peno memberi isyarat pada Dewi untuk keluar dari kamar.
"Dia memesia, Wik."
"Memesia apaan?"
"Itu loh. Yang gak ingat sama dirinya sendiri."
Dewi menepuk dahinya.
"Itu amnesia ayah sayang."
"Halah. Sama aja."
Sama darimananya coba?
"Terus gimana, Yah? Kalau dia gak ingat dirinya, lah gimana  kita nyuruh dia balik?"
Pak Peno terlihat berfikir.
"Kalau kita biarkan dia tinggal disini--"
"Ya nanti kita jadi omongan tetangga lah, Yah. Masak nyimpen cowok gak dikenal."
Pak Peno manggut-manggut. Iya juga.
"Embuhlah. Kita pikirkan besok lagi. Sekarang tidur saja. Capek ayah."
"Lah, kamar ayah kan ada dia. Ayah tidur dimana?"
Pak Peno menunjuk dipan di ruang tamu.
"Hah?"
"Gak papa. Wis sana tidur. Apa kamu mau yang tidur sama dia?"
"Hih! Ogah. Kenal aja enggak."
"Ya udah, sana. Wis malam itu."
Benar, sudah pukul sembilan. Kalau di desa, ini sudah larut. Lihat saja di luar sudah sepi dari orang-orang yang lewat. Jangankan jam sembilan, kadang habis maghrib saja orang-orang malas keluar.
Gadis itu melangkah ke kamarnya, namun menghentikan langkahnya.
"Ayah yakin tidur di dipan?" ujarnya.
"Wis to. Ayah juga udah bisa toh?"
Iya juga sih. Apalagi kalau musim kemarau, ayah malah pilih tidur di dipan. Katanya panas di kamar. Maklum gak ada kipas angin. Menggaruk kepalanya pelan, dan masuk ke kamarnya. Tidur.
******
Pagi datang. Kali ini, Dewi bangun lebih awal. Entah kenapa, dia gelisah. Mimpi buruk menghampirinya. Akhirnya dia bergerak turun dari kamar tidurnya. Padahal ini masih pukul empat pagi.
Dilihatnya ayahnya meringkuk di dipan luar. Dewi kembali ke kamarnya, mengambil selimutnya dan memakaikan pada ayahnya. Lalu dia meneruskan langkahnya ke belakang.
Layaknya di desa, kamar mandi ada di luar. Gelap dan sepi. Sesaat gadis itu mendongakkan kepalanya. Jajaran bintang tampak lebih berkilau saat dini hari begini. Ditambah beberapa meteor yang lewat. Menambah suasana indah langit dini hari.
Angin dingin menerpa kulit lengannya yang hanya tertutupi kaos pendek sesiku. Gegas dia ke kamar mandi, menimba air dan mengisinya ke bak penampungan air. Lalu mencuci wajah dan gosok gigi. Sekalian membawa seember air ke dalam.
Pagi hening Dewi memotong ikan yang mereka dapatkan kemarin. Yang lainnya sudah diantar ke Lek Wati dan Juragan Selamet serta beberapa orang yang beli. Menyisakan tiga ekor saja tapi yang paling besar.
Bunyi keributan di dapur rupanya memancing seseorang bangun dari tdiurnya.
"Ah! Astaga!" Pekik Dewi yang hendak berbalik mengambil baskom. Pemuda itu tengah bersandar di pintu dengan tatapan datarnya.
Dewi mendengkus.
"Kirain genderuwo tadi."
Pemuda itu balik mendengkus.
"Jorok sekali," tukasnya tapi masih di dengar Dewi.
"Apa katamu?" ucapnya melotot. Pemuda itu mendecis. Hampir saja dia limbung saat berjalan.
"Hati-hati bodoh!" tukas Dewi yang segera menghampiri pemuda itu. Membantunya memapah.
"Lepaskan tangan kotormu dariku."
Jleb.
Dewi sontak menarik tangannya.
"Jangan berani menyentuhku, atau kau akan tahu akibatnya."
Astaga... pria ini sombong sekali. Dewi akhirnya membiarkannya melangkah sendiri meski kelihatan sekali limbungnya.
"Bodoh! Dimana kamar mandinya."
Dewi merotasikan bola matanya malas. Ini orang menyebalkan sekali. Apa memang karakternya seperti ini.
"Sana. Diluar."
Dahi pemuda itu berkerut?
"Kenapa? Gak mau? Ya udah. Bodo amat."
Dewi kembali melanjutkan membuat bumbu. Api berkobar membakar kayu dalam tungku. Memberi kehangatan yang lumayan.
Sesekali Dewi melirik pemuda itu yang kesulitan membuka pintunya. Salah sendiri songong. Sudah tahu belum sehat betul tapi lagaknya jumawa sekali.
Dewi membiarkan pemuda itu kebingungan menatap luar yang gelap. Mampus! Melanjutkan saja aktifitas memasaknya. Daripada mengurusi orang aneh yang sombong itu.
Tak lama, terdengar dumelan dari luar. Dan nampaklah pemuda itu dengan badan basah kuyup. Dewi terbahak
*******
Dewi menggelengkan kepala terheran dengan pemuda sombong itu. Pantas saja mati enggan menghampirinya. Bahkan kalau ditilik dari luka di belakang kepalanya, harusnya butuh beberapa hari untuk membuat pria ini kuat jalan sendiri. Mungkin karena kepalanya yang keras itu akhirnya penyakit saja enggan menyapanya.
Dan lihatlah, dia terus-terusan menolak dekat-dekat dengan ayahnya. Menolak memakai perban karena menurutnya kain itu jelek. Tidak sesuai dengan derajatnya. Derajat apaan sih? Wong nama aja dia gak ingat. Aneh.
Begitu juga saat makanan tersaji, pemuda itu hanya diam saja tak berniat menyentuh. Malah terkesan jijik melihat makanan yang terhampar. Sumpah, ingin menggampar wajah songong itu. Pantas saja ada yang ingin membunuhnya, orang wajahnya bunuh-able gitu. Super ngeselin.
"Dimakan, nak. Supaya kamu cepat sehat," ujar pak Peno.
"Aku tidak selera," tukas pemuda itu memalingkan wajahnya.
"Eee... nyesel nyelametin kamu. Tahu gitu biarin aja mati." Pemuda itu melotot. Tapi Dewi bodo amat. Lagian ikan lele dumbo ungkep ini enak sekali. Bau harum sedap menggoda iman. Kok bisa-bisanya pemuda songong ini sok banget.
"Oh, aku tahu. Kamu minta aku suapi lagi?"
"Jaga mul--"
Hup!
Saat mulut itu membuka, Dewi menyorong satu suapan ke mulut pria itu.
"Sial--"
Rautnya berubah. Yang tadinya mau melepah, malah jadi mengunyahnya. Kok enak.  Dewi tersenyum sinis. Dasar, orang aneh. Gede gengsi doang. Dan lihatlah, sekarang dia mengambil nasi berikut lauknya. Enak kan? Huh!
Dewi mau meledek, tapi keburu diberi isyarat ayah untuk membiarkannya.
"Saya tidak mau makan pakai tangan. Tidak hiegenis."
Dewi merotasikan netranya malas. Beranjak mengambilkan sendok bersih.
"Dengar ya, lebih nikmat pakai tangan."
"Tidak. Banyak kuman. Apalagi tanganmu."
"Aiish--- terserahmu sajalah tuan muda."
Dewi malas berdebat. Melanjutkan makannya. Pak Peno tersenyum kecil melihat interaksi kecil antara keduanya. Tiba-tiba terselip ide---
******
Setelah menghabiskan tiga piring nasi, pemuda itu kini bersandar di dipan kekenyangan. Kepalanya masih terasa sakit, jadi dia hanya berdiam di dalam. Sementara di luar, gadis bar-bar itu tengah memeriksa kebun kecilnya dan tak jauh dari gadis itu pria paruh baya juga tengah mengobrol dengannya.
Pemuda itu, menghela napas panjang. Terpekur. Kiranya siapa dirinya. Dia merasa ini bukan tempatnya. Tapi dimana tempat tinggalnya yang asli.
*****
"Wik! Dia kan lupa sama namanya, gimana kalau kita panggil aja dia Giman?"
Dewi yang tengah mencabuti rumbut di sela tanaman kangkung sontak menoleh.
"Ya elah, Yah. Masak ya Giman, mbok yang keren dikit kenapa," tukasnya.
"Lah, siapa? Paijo? Kabul? Dirman? Piyan?"
Dewi menggelengkan kepala. Kok ya nama ndeso semua. Masalahnya kok ya ndak cocok dengan karakter pria itu.
"Ya wis lah, panggil aja Tukimin, panggilannya Kimin."
"Oo iya... mirip-mirip sama artis Korea yang mbok tempel di kamar itu ya, Nduk."
"Astaga Yah, itu Jimin. Mana ada mirip." Dewi menepuk dahinya. Ayah tergelak.
"Ya gak papalah. Itu aja. Pantas kok mirip sama artis Korea itu. Ganteng kan, Nduk?"
"Ganteng doang kalau stress buat apa?" Memikirkan sikap pemuda itu saja membuatnya kesal. Songong sekali.
"Nah, gini--"
Pak Peno duduk jongkok memasang wajah seriusnya.
"Ingat kan, kemarin bapak menang."
"Terus?" Sumpah Dewi padahal menghindari pembahasan itu. Merusak harga dirinya sebagai pemancing handal saja.
"Bapak mau kamu nikah sama dia."
Dewi yang sedang mencabuti rumput malah jadi mencabut satu dapuran kangkung saking kagetnya.
"A-apa? Nikah?"
Pak  Peno mengangguk.

Bình Luận Sách (109)

  • avatar
    Yaya Yayaa

    5 STARS

    12d

      0
  • avatar
    AviantinoAudy

    bagus

    26/05/2023

      0
  • avatar
    Tasya Caroline

    good

    03/01/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất