logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Part 6 (Wulan bereaksi)

"Aku ke kamar Wulan, ya. Aku harap, secepatnya kamu mengerti. Semoga kamu menjadi istri sholikhah. Agar kita bisa sama-sama mendapat ridho Allah, dan masuk surga-Nya. Semoga aku bisa menuntunmu masuk ke sana," pamit dia seraya berjalan keluar kamar. Sedari tadi aku melengos. Tak menghiraukannya.
Ya Ampun. Bicara apa, sih ini orang. Kalau mau masuk surga. Ya, perbaiki dulu lah kelakuanmu.
Kelakuan kayak setan. Munafik. Pingiinnya masuk surga. Tidurmu terlalu miring, Bos. Bangun. Sadar!
Mungkin, aku dulu mau dengannya. Karena berpikir. Dia memang imam yang baik. Ilmu agamanya bagus. Bisa menuntunku masuk surga.
Tapi, kalau kenyataannya, seperti ini. Aku yakin, bukan surga yang akan dia tuntun padaku. Melainkan kebalikannya.
"Nggak usah muluk-muluk menuntunku ke surga. Ke pengadilan agama aja, udah cukup, Bang jago," lirihku geram. Nyaris tanpa suara.
********
"Diih ... jijik banget aku sama Risa," mulaiku berceloteh di depan Wulan, yang sedang nonton Televisi.
"Kenapa, Mbak? Risa siapa,sih?" kejarnya
"Masa kamu nggak tau kabar kemaren. Kabar berita ART tetangga sebelah. Booming beritanya. Bahkan, dia mau di gebukin sama Emak-Emak komplek. Ngeri tau,"
"Nggak tau mbak. Kan, kemaren aku, Kafa sama Ibu pergi. Mbak Safa, di rumah. Ya, jelas tau. Memang kenapa sih?" keponya.
"Nggak, Kok. Aku sama mbok Sumi pergi. Ikut Arisan RT, makanya aku tahu kabar-kabarnya. Yang di rumah sih, kemaren cuman Mas Ardi,"
"Oww," timpalnya ber oww saja.
"Dia selingkuh sampai hamil sama tuannya. Ngeri, kan?" mulaiku. Kemudian. Mengawali awal pembahasan, tadi.
"Kok bisa? gimana ceritanya Mbak?"
sergahnya antusias.
'Yes' girang hatiku.
Dasar barisan kepoers, orang-orang kepo .
"Nyonya bosnya, menemukan tes pack di kamar si Risa. Positif hasilnya. Awalnya si Risa nggak mau ngaku, setelah di desak dan diancam akan dimasukkan penjara, baru dia ngaku, Kalau dia hamil dengan suami sirinya. Dan, parahnya Suami siri si Risa, ya, juga suami majikannya, itu. Parah, kan?" ujarku semngat empat lima.
Tumben. Bersahabat.
"Jadi ketahuannya gara-gara tes pack itu, ya Mbak,"
"Kasihan si Risa, ya mbak," tandasnya menambahi, membuatku kaget. Bola mataku melotot, secara sempurna.
Gila, nih orang. Pelakor kenapa di kasihani. Wah ... jangan-jangan dia ketua geng pembela barisan pelakor. Kejamnya dunia.
"Why?" tanyaku. Penasaran.
"Salah nyonyanya sendiri, tidak bisa jaga suami. Kalau dia istri sholikhah, cantik, dan menarik, Pasti nggak bakalan begitu kejadiannya, kan?"
"Berarti kamu nggak sholikhah, nggak cantik, dan nggak menarik, dong!" ceplosku tanpa sengaja. Ups.
"Maksudnya, mbak?" kejarnya, ketua geng pembela pelakor.
"Eh ... nggak! maksudku, kalau mas Ardi sampai selingkuh. Berarti kita nggak sholikhah, ya," kilahku meyakinkan.
Dia mengerucutkan bibir. Warna lipstik bibir yang merah menyala, mengingatkanku pada pantat ayam.
Mirip banget dengan bibirnya, itu. Rasa-rasanya gemes. Gemes pengen di tabok sama pantat panci. Seru kali, ya.
"Kalau dia berani selingkuh. Ku potong sostelnya. Ku bakar. Lalu ku kasihkan ke si Meng," geramnya membuat hatiku tergelitik.
Ha? Dia bilang "anunya" Mas Ardi, sostel?wkwkwk. Lumayan menggelitik hatiku.
Idih ... kasian si Meng kalau di kasih makan "sostelnya" Mas Ardi. Langsung sakaratul maut kucing kesayanganku.
Mending di kasihkan ke tikus selokan saja. Kan, lumayan sedikit ada gunanya, itu si "sostel". Tega? jelas. Harus tega pokoknya.
********
"Udah, kan, Mbok?" bisikku pada Mbok Sumi. Takut terdengar Ibu mertua, yang sedang terpaksa asyik, menggosok mulut Wulan. Ups, maksudnya pantat wajan. Duh ... kasian Ibu Suri.
Mbok Sumi mengacungkan jempolnya.
Tok ... tok ...
Seseorang mengetuk pintu depan rumah.
"Bu ... ada tamu. Tolong, bukain, ya. Aku lagi sibuk, nih. Ngobrol sama si Mbok," teriakku halus namun menusuk hati, jantung, dan ususnya. Hahaha ...
"Iya," ujarnya ketus, sambil melangkah, sambil komat-kamit tak jelas, ke depan pintu rumah.
"Siapa, sih?" tanya ibu, sambil celingak-celinguk. Ke kanan dan ke kiri. Lalu dia terlihat bergegas mengambil amplop coklat berukuran sedang, di bawah. Usai dia menyadari, ada yang diletakkan oleh tamu misterius, itu.
"Apaan, Bu?" tanyaku. Mendekat ke mertua.
"Nggak tau, nih. Dibuka aja gimana, ya? Mungkin uang seratus juta. Rejeki nomplok. Lumayan. Alhamdulillah,"
Mata duitan. Apa-apa dihubungkan ke uang. Aku gedek dengan tingkahnya. Beliau, yang terhormat Ustdazah mata duitan.
"Bu ..."
Belum usai ku larang. Ibu mertua dengan semangat 45 langsung membuka. Tanpa permisi apalagi ba-bi-bu. Dia tau hukumnya, tapi tak di amalkan. Bagaimana, coba hukum manusia seperti itu?
"Astagfirulloh ..." pekik Ibu sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Sedangkan, tangan kiri, ia gunakan menggenggam beberapa lembar foto, yang ku perkirakan berukuran 4R.
"Foto apa, Bu," Mbok sumi yang di sampingku kepo. Karna kami memang berada di depan Ibu. Jadi, foto hanya terlihat oleh Mertua, yang ia genggam tepat di wajahnya.
"Nggak ada," kilah Ibu, sambil secepat kilat menyembunyikan Foto misterius dan amplopnya, di belakang punggung.
Membuatku penasaran.
"Apa, sih. Bu? kenapa di sembunyikan, sih?" tanyaku geram. Melihat tingkah ke kanak-kanakannya.
"Nggak, ada apa-apa. Safa," ucap ibu sambil tersenyum gugup.
Semakin buatku penasaran.
Astagfirulloh. Ini nenek-nenek. Pengen ku hiihh saja. Taubat. Taubat.
"Mas Ardi, kurang ajar kamu!" teriak wulan keluar kamar.
"Dasar laki-laki buaya. Awas, kamu!" imbuhnya lagi seperti kerasukan.
Aku, Ibu serta Mbok Sumi, terperangah kaget melihatnya. Melihat Wulan teriak-teriak kesetanan.
"Mana, anakmu, Bu?" tanya Wulan ketus. Mendekat ke Ibu.
"U_udah berangkat, lah," jawab Ibu gugup. Masih dengan tangan kiri mengeggam foto di belakang punggung.
"Itu apaan , Bu. Di belakangmu," sergah cepat Wulan. Dengan napas yang tersengal-sengal, persis seperti banteng yang mau perang. Ngeri-ngeri sedap lihatnya.
"Nggak ada,"kilah Ibu ketus. Aku dan Mbok Sumi hanya jadi penonton adegan antara menantu bermuka dua dan mertua sok jadi ustadzah.
"Sini," rebut wulan kasar pada mertuanya. Sampai Ibu mertua, terjungkal ke lantai.
"Wulan!" teriakku tak suka dengan tingkahnya. Aku membantu Mertua berdiri.
Masih ada sisa sedikit hati nuraniku, melihat Ibu terjungkal. Mendadak ingatanku, berputar ke masa lalu. Melihat ibu di dorong oleh Bapak, karena Bapak tak terima, Ibu melabrak selingkuhannya. Sial. Kenapa aku jadi selemah ini?
"Ibu. Apa-apaan Ini? jadi, selama ini Ibu tau hal ini, dan menutup-nutupinya dariku? Kalian ini memang keluarga Bre****k. Tak tahu diri," sungut Wulan berapi-api. Tanpa menghadapkan foto, itu, kepada Ibu dan diriku.
Aku semakin penasaran.
Dia berlalu ke ruang belakang.
Suara berisik terdengar dari keberadaan Wulan di sana.
"Mau buat apa? Wulan?" tanyaku usai dia keluar dari peraduannya.
Aku terheran dengan dia yang menggenggam gunting rumput jumbo, milik pak Joko, tukang kebun sekaligus merangkap sopir keluarga ini.
"Diam, saja. Kamu, Mbak. Biar aku kasih dia pelajaran!" sungut dia marah-marah. Berjalan cepat. Berlalu dari kami.
'Mau ke mana dia?' batinku sangat penasaran.
*******
kira-kira, mau di buat apa, ya. Gunting rumput itu, sama si Wulan? Sebenarnya itu, foto apa?
Tunggu next selanjutnya...
Tinggalkan jejak Next

Bình Luận Sách (226)

  • avatar
    WawanfoldWawanfold

    kerja bagus

    8d

      0
  • avatar
    AzkaZakaria

    kasian

    11d

      0
  • avatar
    LegendKamil

    bagus

    27d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất