logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Part 5 (Jangan tuntun aku ke surga)

Kami bertiga beranjak. Meninggalkan Ibu. Baru beberapa langkah saja...,
"Aaaa ... kucing sialan,"
"Dikasih makan apaan, sih. Bau, tau,"
Aku menengok ke belakang. Tertawa terbahak-bahak dalam hati. Benar-benar kucingku pintar. Dia tahu kemana harus membuang kotorannya.
Sedang Meng, kucing kesayanganku. Dia lempar sekenanya.
"Sukurin. Enak, kan!" lirihku.
Mbok Sumi yang tidak bisa menahan gelak tawa. Seketika tertawa terbahak-bahak. Sambil memegangi perutnya yang tak sakit.
"Habis maem jengkol, Bu. Haha ... sakit perutku, Bu,"
********
"Ardi ... Safa, makan malam sudah siap!"teriak ibu mertua dari dapur, kepadaku dan Mas Ardi yang sama-sama, sedari tadi di depan TV, menunggu makan malam.
Sedangkan, aku bak seorang ratu. Menunggui pekerjaan pelayannya, seraya menyeruput teh hangat, ditemani cemilan yang dibuatkan pelayan dan sesekali berkomentar tentang hasil kerja mereka.
"Jangan ke asinan, Bu. Aku nggak suka. Akhir-akhir ini, aku udah darah tinggi lihat tingkah benalu. Kalau nanti masak Ibu asin, diriku bisa masuk rumah sakit dan nanti benaluku merajalela, gimana?" sindirku teriak-teriak.
"Iya, Nak," jawab Ibu dari sana.
Dapur dan ruang tamu, jaraknya tak terlalu jauh.
"Apaan, sih, maksud kamu. Benalu-benalu dari tadi?" tanya Mas Ardi dengan tak santainya. Sedari tadi wajahnya sudah di tekuk, kayak pakaian kusut. Rahangnya mengeras, menandakan dia menahan amarah.
Dia tak terima Ibu dan istrinya, kuperlakukan seperti babu, sedari pagi. Terbukti dari caranya melihatku, dengan tatapan tak sukanya.
Ku pejamkan mataku. Sambil menghela napas panjang. Terasa rumah ini, seperti neraka. Yang kata orang-orang, rumahku adalah surgaku, entah dengan rumah ini.
"Ya. Benalu. Benalu aja, Mas! masa, nggak tau benalu, sih. itu loh yang selalu numpang hidup di tanaman anggrekku. Di depan rumah," kilahku. Masih dengan mata terpejam.
Ku buka kelopak mata. Sedikit. Mas Ardi terdiam. Tak ada suara dari mulutnya lagi. Jangan-jangan, merasa tersindir dia. Kalau iya, baguslah. Memang itu kenyataanya, kan!
"Emm ... Dek. Malam ini, aku tidur di kamar Wulan, ya. Menafkahi istri kan, nggak dzohirnya saja. Nafkah batin kan, juga perlu, Dek" ujar Mas Ardi mengawali acara makan malam ini.
Bagus sekali tutur katanya. Membuat perutku mendadak mulas tak karuan.
Mendadak makanan, di depanku. Tak ada rasa. Hambar usai mendengar ucapan Suami tak tahu malu, itu.
"Jangan ingkar janji, kamu, Mas! Bilangnya niat nikahin Wulan, agar anak kita nggak jadi anak zina. Kenapa sekarang niatnya melenceng," sungutku geram mengingat janji-janji manis dia. Hanya di bibir saja.
"Nak ... nggak boleh begitu. Jangan menghalangi seorang suami untuk mendatangi istrinya. Lagian, mereka sama sekali belum pernah merasakan malam pertama," ujar ibu halus bagi yang tidak tau akar masalahnya. Namun, terdengar bobrok di telingaku.
"Lagian, sunnahnya suami menetap dengan istri kedua, tujuh hari. Lha, Ardi sendiri sejam aja, nggak pernah loh," imbuhnya seolah dia sedang memberikan tausiyah. Padahal dalilnya salah. Nol besar, Bu Ustdzah.
Rasa-rasanya pingin tak kasih racun tikus mereka bertiga. Untung, aku masih takut masuk penjara.
"Yakin?Memang Wulan masih gadis? atau gadis rasa janda? tujuh hari itu buar yang masih gadis, USTADZAH," sengajaku menekan kata ustadzah.
Ibu terdiam kikuk . Malu mungkin. Menantu yang dikiranya, islam KTP. Bisa membantah tausiyah hoaknya.
"Maaf mbak Safa, kalau Wulan lancang ...,"
'Cwih ... memang lancang. Nggak usah ribet deh, Lo!' sungutku dalam hati.
"Sejujurnya. Wulan mulai mencintai Mas Ardi. Wulan ingin seperti pasangan-pasangan yang lainnya. Bisa merasakan kehangatan dekapan Suami," imbuhnya tak tahu malu. Wajah-wajah muka dua. Di depan aja sopan sama aku. Santun. Baik. Kalau di belakang. Beeh ..., gibahin diriku paling cepet. Seperti kereta api expres.
"Lalu? maksud kamu? kamu mau, ambil Mas Ardi, dariku? kemudian, setelah anakku lahir. Kau mau buat adiknya kafa, sama suamiku? lalu berlagak. Nggak mau cerai. Karena sedang mengandung! sambil cari pembelaan dari mertua ustadzahmu, itu, ya, kan? lagu lama Wulan. Mudah untuk ku tebak," sungutku tajam sambil berdiri.
"Dek ... bicaralah yang baik sama Wulan. Ingat! dia sedang hamil," hardik keras Mas Ardi. Membela istri, gadis rasa jandanya.
Benar-benar mereka ini. Membuat hatiku meradang. Emosi memuncak sampai ke ubun-ubunku.
"Kok. Rasa-rasanya aku di bohongin, ya. Mentang-mentang aku nggak bisa hamil. Harus rela di poligami, dan sekarang. Harus rela juga, berbagi tubuh dengan gadis rasa janda? mau kamu sebenarnya apa, sih, Mas!" selorohku melotot pada Mas Ardi. Hal yang selama ini nyaris tak pernah ku lakukan.
"Kamu nggak takut dosa, jika menghalangi aku kasih nafkah Wulan? nggak takut masuk neraka? seharusnya, kamu berterimakasih sama aku, Ibu dan Wulan. Kita menyelamatkanmu dari kejamnya api neraka. Aku sebagai suami, wajib bimbing kamu yang masih awam ilmu agama, ini"
MasyaAllah
Astagfirulloh ...
Ucapannya seolah dia paling suci, paling alim, dan aku, seorang pendosa di matanya.
"Dosa, kamu, Nak," timpal Mertua ikut-ikutan.
"Apa Ibu bilang? dosa? Anakmu Ibu, tuh yang dosa?Munafik. Pembohong," tajamku sambil melotot pada Mertua.
"Safa ...," panggil keras Mas Ardi. Rahang Mas Ardi mengeras. Marah.

Wulan serta Ibu, hanya terdiam. Melongo. Melihat pertengkaran kami.
"Terserah kamu, Mas dan silahkan, kapanpun kau mau mendatangi Wulan. Aku nggak peduli. Hatiku sudah mati rasa terhadapmu," tajamku pada Mas Ardi.
"Ambillah bekasku, Wulan! Kau, kan suka yang bekas-bekas. Cocok buat kamu. Permisi," pamitku ketus. Entah, dari mana aku mendapat kekuatan seperti ini.
Ku langkahkan kaki, menjauh dari ketiga manusia itu. Mas Ardi memanggil-manggilku. Tapi, tak kuhiraukan. Ku tulikan pendengaran terhadap Lelaki bergelar suami yang sekarang bahkan aku sangat membencinya.
'Barang bekas. Rongsokan, kamu, Mas. Munafik. Awas, kamu," geramku dalam hati. Jangan kaget kamu, melihat pembalasanku. Aku pastikan, akan lebih menyakitkan dari pada penghianatanmu ini.
*********
"Safa, jangan lupa minum obat," ujar Mas Ardi lembut. Mengingatkan jadwal minum obatku.
'Nggak salah, nih, orang. Sejam lalu bentak-bentak kayak kerasuka setan. Kenapa sekarang, melembut kayak malaikat? heran,' gumamku dalam hati. Saja.
"Aku ke kamar Wulan, ya. Aku harap, secepatnya kamu mengerti. Semoga kamu menjadi istri sholikhah. Agar kita bisa sama-sama mendapat ridho Allah, dan masuk surga-Nya. Semoga aku bisa menuntunmu masuk ke sana," pamit dia seraya berjalan keluar kamar. Sedari tadi aku melengos. Tak menghiraukannya.
Ya Ampun. Bicara apa, sih ini orang. Kalau mau masuk surga. Ya, perbaiki dulu lah kelakuanmu.
Kelakuan kayak setan. Munafik. Pingiinnya masuk surga. Tidurmu terlalu miring, Bos. Bangun. Sadar!
Mungkin, aku dulu mau dengannya. Karena berpikir. Dia memang imam yang baik. Ilmu agamanya bagus. Bisa menuntunku masuk surga.
Tapi, kalau kenyataannya, seperti ini. Aku yakin, bukan surga yang akan dia tuntun padaku. Melainkan kebalikannya.
"Nggak usah muluk-muluk menuntunku ke surga. Ke pengadilan agama aja, udah cukup, Bang jago," lirihku geram. Nyaris tanpa suara.
*******
Bersambung dulu kakak semua...
Ditunggu part selanjutnya ya...

Bình Luận Sách (226)

  • avatar
    WawanfoldWawanfold

    kerja bagus

    8d

      0
  • avatar
    AzkaZakaria

    kasian

    11d

      0
  • avatar
    LegendKamil

    bagus

    27d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất