logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Part 4

"Papa gagal jadi Suami. Tapi, menjadi seorang ayah. Dia berhasil. Tetap hormati dan sayangi dia, Safa," ingatku lagi pada perkataan Mama. Membuatku bersedih.
Tak menyangka, aku dihadapkan kisah perselingkuhan lagi. Tetapi, ini lebih rumit dari pada Mama. Kalau Mama, lebih memilih pergi, tapi aku akan tetap bertahan. Demi anakku.
"Aku Safa Marwadina. Wanita kuat yang akan perang melawan kedzoliman Suami dan Mertua. Doakan aku kuat, Ma," lirihku.
Aku ingin solat. Bermunajat pada Allah. Ingin memgadukan nelangsa hidup ini.
Kelihatannya, diskusi mereka sudah usai. Mungkin, sebentar lagi, Mas Ardi, ke sini. Aku harus ke kamar mandi. Berwudlu lalu solat. Minta kekuatan pada Allah. Menghadapi setan berwujud manusia, itu.
******
"Mbok Sumi, kemana, Dek? sarapan kenapa belum siap?" tanya Mas Ardi padaku.
Di belakangnya, mengekor, dua makhluk benalu itu, Wulan dan Ibu mertua.
"Masih kosong?" kaget Ibu. Melihat meja masih kosong mlompong.
"Mbok Sumi. Aku undurkan diri jadi pembantu, Mas. Sekarang dia jadi baby sitternya Kafa," ujarku kemudian.
Sontak mereka melongo bebarengan. Kaget dan heran.
"Seriusan?" kejar Mas Ardi.
"Iyha. Serius. Mbok Sumi, sekarang aku tugaskan urus anak Wulan, kafa. Memang, Kenapa? masalah?" tembakku penuh kemenangan.
"Nanti, siapa yang urusin rumah, Nak," lembut mertuaku. Mendadak, perutku terasa mual. Ingin muntah. Mendengar suara lembutnya. Hweek ....
"Iya. Mbak. Apa kita cari, pembantu saja," Wulan ikut nimbrung.
"Wulan sama Ibu, kan, bisa. Ngapain cari pembantu. Berhemat sedikit, bisa, nggak, sih. Kalian pasti bisalah, kalau hanya sekedar nyapu sama masak. Lagian, kan, Kafa butuh baby sitter, kalau aku yang jadi baby sitternya, kan lucu. Masa Nyonya besar, jadi baby sitter anak madunya. Sedangkan madu dan mertuanya. Ish ... bisanyaa cuman rebahan aja,"
"Jangan menghambur-hamburkan uang ku, lah. Mendadak jatuh miskin, baru tau rasa! Bener, kan, aku, Mas?" ujarku kemudian, pada Mas Andi. Sambil melempar senyuman termanisku.
"I_iya, Dek," jawabnya bingung. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mungkin gusar. Ah ... sudahlah. Peduli amat.
Netraku melirik sebentar. Uh ... kasian. Mertua dan menantu benalu, sama-sama wajahnya di tekuk. Mungkin, dalam hati mereka marah. Ya, pasti jelaslah. Rasain penghinaanku.
"Bisa, kan, Bu. Wulan juga sebaiknya di suruh banyak gerak. Biar dedek janin, tambah sehat. Lagian, kan, selama ini kalian cuma rebahan. Nggak pernah olah raga. Ya, hitung-hitung. Pindahnya tugas mbok Sumi, bisa di petik hikmahnya. Kalian bisa gerakkan tubuh. Nggak cuman bibir aja yang olaharaga,"
Sindirku keras pada ketiga orang dzolim ini. Mendengar ucapanku. Mereka hanya bisa diam. Roda kehidupan selalu berputar, dulu aku yang kau injak. Sekarang, kalian yang ku injak.
Aku mengerti. Diamnya ketiga manusia itu, pasti takut. Takut tidak dapat jatah harta dariku. Matre.
"Ah ... gampang itu, mbak. Kalau masak, sih, kecil. Aku jagonya. Biar nanti mertua kita, yang bersih-bersih. Aku setuju dengan Mbak. Memang, sebaiknya kita banyak olahraga, ya, kan, Bu?" setuju Wulan, pura-pura ramah. Munafik.
"Iyalah, Nak. Ibu setuju," setujunya kemudian. Namun, dari raut wajahnya. Masih tersirat keragu-raguan.
"Baguslah, cepetan buat sarapan. Aku laper," dengkusku sambil melirik mertua.
"Cepetan!. Malah bengong!" perintahku. Membuat mereka kaget. Dengan langkah gontai, kedua benalu itu pergi ke dapur.
Rahang Mas Ardi mengeras. Wajahnya memerah. Jelas sekali menahan amarah. Rasain. Giliran Ibu sama istri tuanya, dibentak aja, marah. Giliran aku? No.
*********
Mas Ardi sudah berangkat. Giliranku memberi pelajaran ke kedua benalu itu.
Aku mengintip sedikit di belakang gorden. Mencuri-mencuri pendengaran.
"Bu. Ibu aja yang bersih-bersih. Wulan nggak mau. Ih ... kotor,"
"Heleh ... gayamu. Mantan tukang pijit aja, belagu. Balum jadi nyonya saja, belagunya selangit. Apalagi jadi nyonya beneran. Jijik aku," hina mertua.
Owalah ... mantan tukang pijit. Baguslah, lumayan ada tukang pijit gratis di rumah ini.
"Shutt ... Bu. Jangan teriak-teriak. Nanti Safa kedengeran, gimana?" Ingat Wulan, sambil menaruh telunjuk di mulutnya.
"Udah. Biar Ibu yang bersih-bersih. Nanti, tugas kamu, masak sama pijitin Ibu. Sana, cepetan!"
Wulan berlalu. Sambil memonyongkan bibirnya.
Aku berjalan santai, ke arah sofa depan Tv. Menunggui pekerjaan mertua benaluku, sambil menyeduh teh, yang sudah ku dinginkan dari tadi.
Ku nyalakan TV dan menyetel channel dangdut. Siaran ulang tadi malam. Dangdut, kesukaan Ibu Mertua. Niat hati ingin manas-manasin benalu itu.
Ku lirik sebentar Mertua. senyam- senyum mencuri-curi pandang ke arah TV, tak fokus dengan ngepel lantai.
Melirik ke TV sambil mengepel di satu titik aja. Antara pingin melihat TV atau ngepel. Kucebikkan mulutku melihat kelakuannya.
"Kalau kerja, yang betul," sindirku tanpa melirik. Sengaja.
"Jangan lupa! jendela-jendela di bersihkan. Debu banyak. Hidup memang begitu, sih, Bu. Akan ada debu yang berterbangan. Hinggap tanpa malu. Ya, tugas kita cuman ngebersihin. Mau gimana lagi, ya, kan, Bu?" sindirku lagi. Tanpa menatapnya.
"I-iya, Nak. Betul. Nanti biar Wulan yang bersihin, ya," ramahnya membuat perutku mual.
"Jangan ... Wulan biar masak, saja. Nggak boleh capek-capek. Ibu, saja, gimana?" tanyaku sambil senyam-senyum.
"Eh ... iya, deh. Apa sih yang nggak, buat menantuku yang baik ini,"
Ingin rasanya. Aku mengorek-ngorek telingaku. Takut, salah denger.
Katanya orang agamis. Tapi, bersikap baik aja, harus ada yang manis-manis. Kelakuanmu, bikin hatiku meringis, Bu.
"Segera!"
"Tante ...," Kafa berlarian ke arahku. Memanggil-manggil. Ah ... anak itu udah datang. Sialnya, dia anak Wulan. Andai, ketiga benalu itu tak menorehkan luka yang cukup dalam padaku.
Pasti, dengan tulus, ikhlas. Aku akan menyayangi Kafa.
Dari belakang Mbok Sumi mengekor. Dia membawa seekor kucing anggoraku, yang penuh lumpur.
"Haduh ... nggak lihat apa, sih Mbok. Aku lagi ngepel nih, kotorkan, jadinya. Harusnya di cuci dulu kaki kalian! capek, tau!" hardik Ibu keras pada Mbok Sumi. Dia uring-uringan. Merasa kerja kerasnya berakhir sia-sia.
Kafa takut. Dia berlindung di belakangku, sedangkan Mbok Sumi, hanya cengengesan. Kegirangan.
Sukurin ... Ngepel lagi deh. Bagus kerjamu Mbok. Mbok Sumi memang ku suruh, ngajak main Kafa dengan kucingku di tanah yang agak becek. Jadi, ketika mereka masuk. Tara ... kejutan buat mertua. Biar ngepel ekstra, dia.
Tega? jelas. Harus tega. Ini nggak sebanding penghinaanya, padaku.
"Ish ... jangan salahin Mbok, dong, Bu. Raba tuh, diri. Karma mungkin, selalu buat kesel, Mbok, dulu. Makanya, to. Kalau nggak ikut bersih-bersih, setidaknya jangan mengotori. Karma, kan jadinya, Bu. Maaf, ya, Bumi itu berputar," celetuk Mbok Sumi berani.
'Haha ... seratus buat kamu, Mbok,' girangku dalam hati.
Mbok Sumi, sudah kaunggap orang tuaku, sendiri. Usai aku menceritakan kelakuan ketiga benalu, itu, dia sangat marah. Ingin dicakar-cakar muka mereka. Tapi, aku suruh bersabar.
"Perlahan. Kita akan buat mereka menderita Mbok. Jangan langsung sekejap. Kita harus nikmati penderitaan mereka. Oke!" ucapku pada si Mbok.
"Ok, Non!" setuju dia. Girang.
"Pel lagi, kan bisa! kasihan, nih Kafa. Takut. Kayak nenek sihir, aja, ibu ini! cepetan, pel lagi. Aku nggak mau tau, ya. Pokonya harus bersih," sungutku tajam.
Ibu melotot. Kaget tak menyangka mendapat teguran keras dari menantu yang dulu lemah lembut kayak putri kerajaan, sekarang garang, seperti singa.
Bumi akan selalu berputar, Bu.
"Kasihkan kucingnya ke Ibu, Mbok. Kotor itu. Biar ibu mandikan. Mbok mandikan si Kafa, aja!" titahku membuat Ibu melongo. Lagi.
"Tapi ...,"
"Nih, yang bersih, Bu," belum usai Ibu berbicara. Mbok Sumi sudah memotongnya, sambil dengan tak berdosanya memberikan kucing kotor itu.
Kami bertiga beranjak. Meninggalkan Ibu. Baru beberapa langkah saja...,
"Aaaa ... kucing sialan,"
"Dikasih makan apaan, sih. Bau, tau,"
Aku menengok ke belakang. Tertawa terbahak-bahak dalam hati. Benar-benar kucingku pintar. Dia tahu kemana harus membuang kotorannya.
Sedang Meng, kucing kesayanganku. Dilempar dengan sekenanya. Keterlaluan.
"Sukurin. Enak, kan!" lirihku.
Mbok Sumi yang tidak bisa menahan gelak tawa. Seketika tertawa terbahak-bahak. Sambil memegangi perutnya yang tak sakit.
"Habis maem jengkol, Bu. Haha ... sakit perutku, Bu, hahaha ..."

Bình Luận Sách (226)

  • avatar
    WawanfoldWawanfold

    kerja bagus

    8d

      0
  • avatar
    AzkaZakaria

    kasian

    11d

      0
  • avatar
    LegendKamil

    bagus

    27d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất