logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Part 2 Madu itu ...

CUKUP SATU TAHUN AKU DI SISIMU, MAS
Wulan," pekikku kaget
"Jangan lakukan ini sama mbak Safa, Mas,"
Ujar seseibu muda yang sangat ku kenal. Suaranya halus. Lembut, khas ibu-ibu penyabar. Dia Wulan, sahabatku.
Ibu menarik lengan Wulan, untuk menepi.
"Jangan ikut campur Wulan, biarkan Ardi kasih pengertian sama istrinya. Biar nggak belagu. Dia harus tahu, surga istri, ada di suaminya. Nyesel, aku dulu kasih restu. Kalau tahu istri Ardi kayak gini. Nggak bakalan, kurestui. Udah nggak bisa punya anak, agama cuma di KTP saja. Nggak paham ajaran," ujar Ibu mertua panjang lebar.
Wulan terdiam.
Sepuluh jemariku saling bertautan. Takut. Baru kali ini, Mas Ardi mau menamparku.
"Pilhannya hanya itu, Fa. Kalau kamu nggak mau. Cerai, mungkin lebih baik,"
Duar ....
Perkataan Mas Ardi, serasa guntur di siang bolong.
Cukup setahun. Bagiku itu waktu yang sangat lama.
"Diammu. Kuanggap, iyamu,"
Tes ...
Air mata menetes. Hati remuk. Sakit tak terkira.
"Kalau kamu masuk surga. Ya, turuti suamimu. Atau, sebenarnya, kamu ingin masuk neraka, iya? Belajar agama yang bener. Jangan islam KTP, saja. Sudah ilmunya sedikit. Nggak ada rahim, pula," hardik keras ibu mertua.
'Sesakit itu kah, jalan masuk surga' ujarku hanya dalam hati.
Selama ini aku diam, mendengar cacian dan makian Ibu.
Mengapa? Mengapa harus Wanita islam KTP tanpa rahim, yang ia gelarkan padaku.
Padahal. Aku sangat menghormatinya. Berhak, kah dia mencampuri urusan rumah tanggaku.
Seharusnya, dia juga tidak berhak mencampuri urusanku dengan Allah. Masalah Islam di KTP atau tidak, biarlah menjadi urusanku dengan Tuhanku.
Selama ini. Aku sudah berusaha menjadi hamba yang lebih baik.
Sudah cukup juga, aku merawatnya selama ini. Memberinya tempat untuk berteduh, makanan enak dan bergizi, serta baju branded terupdate, selalu ku hadiahkan padanya. Sebagai bentuk rasa hormat dan sayangku pada mertua.
Tapi, kini saat aku ditimpa masalah. Di mana rahimku terpaksa diangkat. Dia malah memojokkanku, menghina bahkan membuang.
Bahkan, gelar wanita tanpa rahim, yang hanya islam KTP, ia sematkan padaku.
Seolah ibu mertuaku lupa, akan kebaikanku. Dia pikun, dari mana dapatkan kemewahannya selama ini.
Air susu dibalas dengan air tuba.
"Oke. Aku setuju. Tapi, dengan Wulan, dan itu cukup satu tahun. Setelah setahun, dan anakku sudah lahir. Ceraikan Wulan. Secepatnya" ucapku akhirnya.
Wulan di sampingku terperangah. Kaget.
Namun, sepertinya dia tidak bisa berkutik. Dia selalu menggapku sebagai, malaikat penolongnya. Penolong dari mantam suami yang dzolim.
**********
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan.
Program bayi tabung anakku dan Mas Ardi di rahim Wulan, akhirnya berhasil.
Aku sangat senang. Tapi, aku tetap tak bisa menyembunyikan rasa sedih. Sedih atas kenyataan, kalau pada akhirnya pernikahanku, harus mengundang madu.
Sementara hanya bisa bersabar. Aku terus berusaha melayani Wulan dengan baik, dan hati yang lapang.
Pagi ini, kata ibu mertua. Wulan tidak enak badan.
"Kamu antarkan makanannya sama si Wulan. Kasihan, dia. Sedari malam urus anaknya. Belum juga janinmu. Eh, kamunya malah enak-enakan. Tidur ngorok di kamar. Jadi istri tua harus perhatian. Kasih contoh yang baik. Jika, madumu sakit. Kamu yang harus layani. Paham," sungut ibu mertua.
"Ya. Bu," pasrah. Namun, dongkol di hati.
"Nanti Kafa. Anaknya si Wulan. Ajak main. Sekarang, kamu tugasnya, selama Wulan hamil, jagain Kafa. Ganti kan posisi Wulan. Siapin makan, minumnya. Mandikan, juga. Ya, tugasnya nggak jauh beda sama baby sitter,"
Baby sitter. Dari wanita Islam KTP tanpa rahim. Sekarang di tambah baby sitter. Why?
"InsyaAllah. Kalau kamu, turutin apa kata Ibu. Ardi bakalan meridhoimu. Ridho, kalau kamu istri sholikhah. Dapat surga-Nya Allah. Paham? anggap saja. Ibu memberi kamu ilmu. Biar islam KTP mu cepet luntur," Ujarnya. Lagi. Di iringi dengan Lafadz Amin dari bibir keriputnya.
Tes ....
Tak terasa air mataku menetes. Namun, segera ku usap. Takut terlihat Ibu mertua. Nanti, dia akan semakim lebih mengolo-ngolokku.
*********
Tok ... tok ...
Aku mengetuk kamar Wulan.
"Wulan, ini sarapan buat kamu. Kata Mama, kamu sakit," panggilku. Tak ada sahutan.
"Ish ... aku masuk saja. Gimana, ya," lirihku nyaris tanpa suara.
Kakiku melangkah masuk. Pintu kamar mandi tertutup. Mungkin wulan di sana. Pikirku kemudian.
Ku letakkan nampan sarapan. Biasanya ini pekerjaan Mbok Sumi. Namun ia juga sakit.
"Istri kamu memang bodoh Mas, Mau nya kita kibulin,"
Suara Wulan dari kamar mandi. Seperti sedang berbicara dengan sesorang lewat ponsel. Membuat hatiku penasaran. Siapa yang di maksud.
"Padahal kita udah nikah. Udah punya anak pula. Jauh sebelum kau mengenalnya. Memang bodoh banget si Safa," tambahnya lagi.
Astagfirulloh ...
Dia berbicara dengan siapa? Mas Ardi, kah?
"Nggak mungkin banget, aku mau mengandung anaknya. Ogah, Mas. Kalau bukan karena kamu ingin kuasai hartanya, lewat anak yang ku kandung ini. Jelas. Aku sangat malas. Kamu tahu, kan? Aku deketin dia, juga cuman pura-pura. Pura-pura baik. Biar numpang hidup enak, hahaha"
Allah ....
Apa mungkin. Awal bertemu denganku, dia pura-pura di aniaya, untuk menarik simpatiku.
Hening sebentar.
"Sebenernya, aku nggak mau mengandung anak Safa secara gratis, ya sayang ... Keenakan dia nanti kalau punya anak. Apalagi dari suamiku. Sebagai gantinya. Selama aku hamil anaknya. Kujadikan dia, jongosku. Kusuruh dia yang urus Kafa, sama keperluanku. Hebat, kan, istri Mas Ardi!"
Istri Mas Ardi? jadi, suamiku dibalik semua ini? dia ingin kuasai hartaku, lewat anak yang di kandung, wanita murahan itu.
"Wulan, udah sarapan belum?" teriak ibu mertua dari depan kamar.
Aku tersentak. Kaget. Itu suara ibu mertua.
Aku bergegas mengambil sarapan Wulan dan segera bersembunyi, di samping kasur mahal yang kubelikan untuk dia.
Ibu mertua masuk bebarengan keluarnya Wulan.
"Loh ... belum dianterin sarapanmu? kayaknya tadi menantu bodohku mau antarkan, Lan,"
Menantu bodoh. Dia sebut aku, menantu bodoh.
"Haha ... Ibu ada-ada aja. Ada gunanya lho bu, anak menantu ibu itu. Ya, walaupun islamnya KTP dan nggak punya rahim. Setidaknya harta dan tenaganya bisa kita kuras, ya, kan?" mereka tertawa. Tergelak bersama. Menari-nari diatas penderitaanku.
"Mbok Sumi, udah masak, kan, Bu. Anak si safa rakus banget. Buat aku sering lapar. Makan, yuk,"
"Hayuk, ah," sahut Ibu mertua.
Aku masih bersembunyi.
Usai kepergian mereka. Aku terduduk. Masih di samping ranjang Wulan. Tanganku terkepal di samping. Marah melihat orang-orang yang ia sayangi. Tulus. Bermain api di belakangnya.
Ku usap air mata. Agar segera susut dari Netraku.
Aku tak boleh menangis. Mulai hari ini.
Mereka nggak pantas di tangisi.
"Jadi ... kalian mau bermain-main denganku. Oke! aku layani kalian. Tunggu pembalasanku,"
"Cukup setahun aku di sisimu, Mas. Setelah anakku lahir. Ku pastikan kalian kembali ke asal. Orang ndeso, sok agamis nan mlarat,"
"Tunggu permainanku. Banyak kejutan buat kalian," tutupku lirih. Sambil tersenyum licik.

Bình Luận Sách (226)

  • avatar
    WawanfoldWawanfold

    kerja bagus

    9d

      0
  • avatar
    AzkaZakaria

    kasian

    12d

      0
  • avatar
    LegendKamil

    bagus

    28d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất