logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Laki-laki Buruk Rupa

Karma Dibayar Kontan
Part 4
***
Keesokan harinya, sekitar pukul delapan pagi Devi datang dengan beberapa orang perempuan ke rumahku. Mereka bermaksud akan membantu memasak dan menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan acara selamatan rumah baruku ini nanti malam.
Kami kemudian memasak di halaman samping rumah dengan memakai beberapa buah tungku yang dibuat dari tumpukan beberapa buah batu bata yang disusun. Kami sengaja membuat tungku seperti itu, agar semua masakan cepat matang, sebab aku hanya mempunyai sebuah kompor gas saja. Tentu akan memerlukan waktu yang cukup lama jika hanya mengandalkan sebuah kompor gas tersebut, sedangkan waktunya hanya tinggal beberapa jam saja.
Sembari meracik bumbu dan mengolah masakan kami mengobrol. Aku dan Meli lalu memperkenalkan diri, begitu juga dengan para perempuan yang datang bersama Devi tadi. Dari obrolan mereka akhirnya aku tahu, kalau ternyata letak perkampungan penduduk desa ini malah berada lebih ke dalam sana. Berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahku.
"Kenapa bisa begitu ya, Bu? Kok rumah penduduk malah banyak di dalam sana? Kenapa mereka nggak bikin rumah di sekitar sini saja biar lebih dekat ke jalan aspal?" tanyaku dengan rasa heran, sembari menautkan kedua alis.
"Soalnya lahan di sekitar rumah Bu Bidan dan Mbak Devi ini tadinya yang punya orang Jakarta, Bu. Dan dia nggak pernah datang ke sini. Mungkin saking kayanya dan punya banyak tanah, dia sampai lupa kalau punya lahan yang sangat luas di daerah sini. Sedangkan tanah yang ada di tempat tinggal kami itu memang milik penduduk asli desa ini. Namanya Pak Sukir. Jadi begitu dia menjual tanahnya secara kavlingan, kami bisa langsung menghubungi dia dengan mudah. Dan orang-orang yang sudah membeli tanah Pak Sukir itu langsung membuat rumah di tanah milik mereka masing-masing setelah urusan surat menyurat selesai," jawab Bu Umi, istri Pak RT.
Aku manggut-manggut. "Ohh … jadi gitu ceritanya. Tadinya saya bingung, kenapa di sekitar sini hanya ada rumah saya sama rumah Devi, dan pusat perkampungan penduduk malah ada di dalam sana," kataku.
"Iya, Bu. Makanya waktu kami tahu orang Jakarta pemilik lahan ini menjual tanahnya secara kavlingan dan ada bidan yang mau bikin rumah di sini, kami sangat senang. Soalnya nanti bakalan ramai daerah sini," imbuh Bu Umi.
"Aamiin … semoga saja ya, Bu. Jadi bukan cuma rumah saya dan Devi saja yang ada di sekitar sini," ucapku.
***
Sekitar pukul 5 sore, kami sudah selesai memasak semua makanan yang akan dipakai untuk acara selamatan rumah baruku nanti malam. Ada beberapa macam menu masakan yang kami buat. Mi goreng ditambah irisan daun sawi hijau, kol, bakso daging sapi dan udang. Lalu ada sambal goreng kentang yang dicampur dengan irisan ati dan ampela ayam serta petai, tempe kering yang dicampur dengan kacang tanah dan teri medan, ayam goreng, telur rebus dan kerupuk udang. Ditambah dengan buah pisang muli dan jeruk, juga irisan timun dan kacang panjang mentah. Kami tinggal menyusun semua makanan itu di dalam sebuah besek (wadah yang terbuat dari anyaman bambu)
Devi dan para ibu itu melaksanakan salat zuhur dan asar di rumahku secara bergantian dengan aku dan Meli. Jadi mereka tak pulang dulu ke rumah. Mereka bilang agar pekerjaan cepat selesai, sebab waktunya tak lama lagi.
"Bu Bidan, sekarang kami mau pamit pulang dulu, nanti malam setelah salat magrib insya Allah kami akan datang lagi ke sini," kata Bu Iroh, ibu yang umurnya paling tua di antara yang lain. Dia adalah istri Pak Bayan.
"Oh … iya, Bu. Terima kasih banyak sudah berkenan membantu kami," ucapku. Aku dan Meli kemudian mengantar Bu Bayan, Bu RT dan ibu-ibu yang lain sampai di depan pintu pagar rumahku.
"Mbak, aku juga mau pulang dulu ya. Nanti malam habis magrib aku datang ke sini lagi," kata Devi, setelah rombongan Bu Bayan dan Bu RT sudah berjalan agak jauh meninggalkan halaman depan rumahku.
"Iya, Vi. Makasih banyak ya aku sama Meli sudah dibantuin," kataku, sembari melihat Devi sampai di depan halaman rumahnya.
***
Malam harinya, selepas waktu isya acara selamatan rumah baruku pun dimulai. Dipimpin oleh Pak Ustadz langsung. Ada 20 orang bapak yang hadir, termasuk Mas Dayat, suami Devi. Aku dan Meli lalu memperkenalkan diri. Tak lupa aku mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka, karena telah bersedia untuk datang di acara selamatan rumah baruku ini.
Sekitar satu jam acara selamatan rumah baruku berlangsung dengan tertib. Setelah itu, para bapak dan ibu yang datang, pamit pulang ke rumah mereka masing-masing, sambil membawa sebuah besek berisi nasi beserta lauk pauknya yang sudah kami persiapkan, sebagai tanda terima kasih.
***
Satu minggu berlalu. Aku dan Meli beserta Satria dan Rizki telah tinggal di desa ini dan menempati rumah baru. Tapi, belum ada satu orang pasien pun yang datang berkunjung ke rumah baruku. Mungkin warga di kampung ini belum banyak yang tahu, kalau sekarang sudah ada bidan yang membuka praktik di desa mereka, pikirku. Meskipun waktu acara selamatan rumah kemarin ada Bu Bayan dan Bu RT. Atau warga kampung desa ini memang belum memerlukan pelayanan kesehatan. Entahlah.
Selama satu minggu itu setiap hari aku dan Meli hanya mengerjakan pekerjaan rutin rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, dan menyuapi anak kami masing-masing, Satria dan Rizki. Sambil sesekali kami mencari tanaman bunga untuk kami tanam di dalam pot bunga yang masih kosong.
***
"Yu, sambil nunggu ada pasien yang datang, aku mau coba jualan ya. Nanti aku titipin di tukang sayur. Biar kita ada kegiatan selain kerjaan rutin tiap hari," kata Meli suatu hari.
"Memangnya mau jualan apa kamu, Mel?" tanyaku heran. Karena merasa aneh saja dengan ucapan Meli barusan. Selama ini aku belum tahu atau melihat secara langsung kalau Meli bisa membuat kue, apalagi berjualan.
"Jualan makanan ringan, Yu. Yang gampang-gampang aja. Kayak risoles, dadar gulung, tahu isi, peyek, bolu panggang."
"Apa nanti nggak bakalan repot kamu, Mel? Jualan makanan kayak gitu kan harus tiap hari bikin," tanyaku. Sebab semua makanan yang dia sebut tadi adalah makanan yang paling lama bertahan hanya satu hari, setelah itu akan basi, kecuali peyek. Secara otomatis kami harus membuatnya setiap hari, yang tentu saja akan memerlukan waktu khusus.
"Kan cuma sementara aja, Yu. Sebelum ada pasien yang datang, daripada aku nggak ada kerjaan, kan mendingan sambil jualan. Jadi ada uang yang masuk untuk beli keperluan sehari-hari."
Aku menarik napas panjang mendengar perkataan Meli. Menunggu memang hal yang paling membosankan. Selama kami pindah di desa sini, memang tak ada kegiatan yang kami kerjakan selain melakukan aktivitas pekerjaan rumah sehari-hari. Menyapu, mengepel, mencuci pakaian, menyetrika, membereskan rumah, dan menyiram tanaman. Selebihnya aku dan Meli hanya duduk sambil mengobrol dan menonton acara TV. Terkadang kami berdua main ke rumah Devi. Itu pun hanya sebentar, karena merasa sungkan jika terlalu lama berada di sana, khawatir akan mengganggu.
"Kalau gitu terserah kamu aja, Mel. Yang pasti, aku nggak pernah nyuruh kamu untuk kerja di sini. Aku hanya minta kamu untuk nemenin aku."
"Iya, Yu. Aku tahu kok. Justru karena aku cuma nemenin kamu di sini, aku ingin punya kesibukan, sebelum ada pasien yang datang."
"Jadi kapan rencana kamu mau mulai jualan?" tanyaku.
"Mulai lusa, Yu. Besok aku mau belanja bahan-bahan-nya dulu di pasar," jawab Meli.
Aku kemudian memberikan uang sebanyak 1 juta rupiah pada Meli, untuk modal dia berjualan. Aku tahu, dia sedang tak memegang uang saat ini. Pasti dia merasa tak enak hati jika aku yang memenuhi semua kebutuhannya. Termasuk susu formula untuk anaknya, Rizki. Padahal sebenarnya bagiku tak masalah. Karena aku sudah menganggap dia seperti keluarga sendiri.
***
Dua hari kemudian, Meli mulai membuat makanan untuk dijual. Pagi hari setelah selesai salat subuh, aku dan Meli mulai membuat adonan. Sesuai rencana, dia akan menjual risoles, dadar gulung, tahu isi, bolu panggang dan peyek. Aku membantunya membuat risoles dan dadar gulung. Sementara Meli membuat yang lain. Beruntung Satria dan Rizki belum bangun, jadi kami berdua bisa membuat makanan itu tanpa harus terburu-buru.
Sekitar pukul 8 pagi, Bu Karti, tukang sayur langgananku lewat di depan rumah. Meli kemudian menitipkan makanan buatan kami tadi pagi. Bu Karti mendapatkan upah 10 persen untuk setiap makanan yang laku terjual. Meli juga meminta izin untuk menitip makanan setiap hari dan Bu Karti tak merasa keberatan.
"Kalau risoles, dadar gulung sama tahu isi ada yang nggak kejual, untuk Bu Karti aja. Atau tolong bagikan ke tetangga Bu Karti ya," kata Meli, begitu selesai menyusun makanan yang dia titipkan di keranjang kue miliknya.
Bu Karti tertegun sejenak sembari menunggu Meli selesai menyusun beberapa jenis kue basah tersebut.
"Loh … kok dibagikan, Bu? Apa nanti Bu Meli nggak rugi?" tanya Bu Karti, dengan nada heran.
"Nggak apa, Bu. Daripada kebuang percuma, kan malah sayang. Jadi mendingan tolong dibagikan saja," jawab Meli seraya tersenyum.
Bu Karti manggut-manggut, tapi raut wajahnya masih menyiratkan rasa bingung.
***
"Assalaamu'alaikum."
Terdengar suara orang mengucapkan salam, sembari mengetuk pintu depan. Saat aku dan Meli sedang menemani Satria dan Rizki bermain di ruang tengah. Kami lantas saling berpandangan.
"Siapa itu yang ketuk pintu, Mel?" tanyaku.
"Nggak tahu. Mungkin pasien, Yu," jawab Meli.
Kami segera beranjak dari tempat duduk lalu berjalan menuju ke depan. Aku segera membuka pintu. Tampak seorang laki-laki berumur sekitar 30 tahun, sedang berdiri di depan pintu, begitu pintu terbuka. Aku mengernyitkan kening, sambil melihat laki-laki itu.
Terus terang, aku merasa takut saat melihat wajah laki-laki itu. Mukanya bopeng bekas jerawat batu. Terlihat kasar dan hitam. Matanya juling dan mulutnya tonggos. Untuk beberapa saat aku bergeming.
Siapa ya orang ini? Rasanya aku baru pertama kali melihatnya, aku membatin. Aku lalu melihat ke arah Meli. Dia pun sepertinya terkejut dengan kedatangan laki-laki 'menyeramkan' yang sedang berdiri di depan pintu.
"Maaf kalau mengganggu. Saya mau bertemu dengan Bu Bidan Ayu," kata laki-laki itu, setelah beberapa saat kami saling diam.
***
Bersambung

Bình Luận Sách (646)

  • avatar
    SaputraRamli

    bagus sekali

    13h

      0
  • avatar
    KhansaAdinda nabillah

    Cintaku

    2d

      0
  • avatar
    Mhmmd Asril Syarif

    sangat bagus

    15d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất