logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Tujuh

Perjalanan kami menuju Malang tidak mengalami hambatan yang berarti, kecuali insiden yang terjadi saat aku bertatapan mata dengan Bu Nike. Aku nggak tahu mana yang lebih aman, kami nggak usah saling menatap, Bu Nike yang seharusnya pakai kacamata saja supaya tak lagi sering-sering bersirobok pandang denganku, atau aku yang harusnya pakai kacamata kuda biar mataku nggak terus-terusan memandangnya.
Semula kukira kami akan langsung diajak ke rumah Bu Nike, tapi ternyata tidak. Bu Nike mengajak kami ke Oceanic's Cafe, yang terletak di Jl.Borobudur.
"Kita mau kemana, Bu?" tanya Ken, seakan bisa mendengar isi pikiranku.
"Makan dulu ya? Saya nggak mau kalian sakit. Kebetulan saya kenal baik dengan yang punya cafe ...," senyum Bu Nike sembari membuka pintu mobil.
Kami bergegas mengikuti langkah Bu Nike memasuki cafe dan mengambil tempat duduk di salah satu sudut yang masih longgar. Pengunjung cafe malam itu lumayan ramai, dan sementara teman-temanku sibuk membaca menu, aku mengamati interior cafe. Pastilah ada sentuhan tangan arsitek untuk mendesain ruangan sekeren ini. Mulai dari ruangan, dekorasi nuansa laut, komplit dengan peralatan seperti lampu gantung berbentuk kerang. Aku mengagumi cafe ini. Serasa kami masuk ke dalam lautan, terlebih karena kami juga ditemani ikan-ikan yang sedang berenang dalam jajaran akuarium yang ditata dengan artistik.
Aku mengikuti langkah Bu Nike yang sedang menghampiri seseorang. Laki-laki muda berambut gondrong sebahu, dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima senti, atletis, dan luar biasa tampan. Melihat Bu Nike berbincang akrab dengan laki-laki itu, tertawa ceria dan menatap ke arahnya dengan sayang, menimbulkan perasaan tidak nyaman bagiku. Apalagi saat mereka berjalan berendengan, menghampiri meja kami, aku semakin nggak nyaman, dan bergerak-gerak dengan gelisah di kursiku...
"Students ... kenalkan ini kakak saya. Dia yang punya cafe ini ...," Bu Nike menatap kami satu persatu. Entah kenapa, aku langsung lega luar biasa.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke arah Galang. "Saya Eureka, panggil saja Eka, kakaknya Nike ..."
Galang menyambut uluran tangan Mas Eka. "Saya Galang ... ini teman-teman saya, Friza, Esa, Ken, dan Topan ..."
Saat Mas Eka menoleh ke arahku dan menyalamiku, terlihat jelas laki-laki itu menatapku dengan terkejut, lalu berpaling ke arah Bu Nike dengan tatapan bertanya. Tapi Bu Nike hanya mengangkat bahu sambil tersenyum lemah. Gantian aku yang mengerutkan kening. Ada apa?
Tapi aku tak sempat memikirkan jawabannya karena jelas, sibuk dengan pikiranku sendiri akan sangat menyinggung keramahan tuan rumah. Jadi aku mengikuti saja obrolan teman-temanku dan Mas Eka, sementara mataku tak mau lepas dari Bu Nike. Dari sudut mata kulihat beberapa pengunjung cowok yang terang-terangan menatap Bu Nike. Huh! Bikin aku kesal saja.
Makan malam lezat itu hampir tak menarik perhatianku, kecuali seseorang dengan kaus putih bergambar pemandangan Bunaken yang sedang duduk berseberangan denganku ...
Lamat-lamat kudengar suara Mas Eka bertanya pada Ken. "Jadi kapan festivalnya?"
"Besok siang, Mas ...," jawab Ken. "Wah Mas, menunya sip banget nih!"
Mas Eka tertawa. "Kalau gitu kalian semua nginap saja di tempat saya. Besok siang kebetulan saya luang, jadi bisa nganter kalian. Sudah lama pengen lihat festival band pelajar."
"Tapi nggak ngrepotin kan, Mas?" tanya Friza.
"Enggaklah, nyantai saja. Memang rencananya kalian mau menginap dimana?"
Esa menoleh ke arahku. "Dimana Pan, alamat Om Haris?"
"Di Araya, Mas Eka. Cuma dari kemarin saya hubungi, nggak bisa juga ...," jawabku.
Mas Eka mengangguk. "Nggak apa-apa. Nginap di tempat saya saja. Malem minggu besok setelah pulang dari festival kita bisa jalan-jalan. Terserah kalian mau kemana. Gimana, Ke?"
Bu Nike tersenyum. "Memangnya nggak ada yang dikunjungi nih?"
Mas Eka nyengir. "Kan doski lagi studi di Sydney sekarang. Kayaknya malah sering ketemu sama Mami tuh. Sering belanja bareng, katanya."
"Oh iya, aku lupa. Memangnya yang bule mana? Ganti lagi nih, sekarang?"
"Bule apa? Enggaklah, dari dulu kan cuma dia. Saya kan tipe setia ...," Mas Eka tertawa ringan.
Bu Nike ikut tertawa. "Oke deh, kayaknya anak-anak perlu istirahat. Kunci rumah di bawa Mas Eka?"
"Ada Pak Karto di rumah. Langsung saja ke sana. Paviliun samping juga tetap seperti biasa kok. Oke, saya pamit dulu ya, silakan beristirahat di rumah."
"Mas Eka nggak ikut pulang juga?" tanya Galang.
"Saya pulang, kalau semua karyawan saya pulang, kecuali saya ada keperluan, Galang. Hati-hati di jalan ya?" Mas Eka bangkit berdiri. "Sampai jumpa besok."
"Terima kasih untuk semuanya, Mas ...," aku menyalami laki-laki itu.
"Sama-sama, Topan."
**
Perjalanan dari Oceanic's menuju rumah Bu Nike memakan waktu setengah jam.
Rumah Bu Nike terletak di pinggiran kota. Mempunyai halaman yang luas, rumah yang lumayan besar dan terletak di dataran tinggi, membuat rumah itu terlihat seperti vila megah buatku.
"Oke ... kita sampai," Bu Nike mematikan mesin mobil dan menoleh ke belakang.
"Kayaknya teman-teman sudah kecapekan semua, Bu ...," komentar Ken. "Kecuali satu itu tuh, masih hidup," tunjuk Ken ke arahku dengan dagunya.
Aku tersenyum masam. "Sialan!" umpatku pelan.
Bu Nike tertawa melihat Friza, Galang dan Esa terlelap di kursinya. "Tolong bangunkan mereka, Topan."
Aku meregangkan badan sejenak, lalu membangunkan Esa. "Woi bro ... ayo bangun. Sudah nyampe nih! Apa mau molor di mobil?" aku turun dari mobil sembari mengangkut perlengkapan kami menuju rumah. Sebodo mereka nggak mau bangun, biar saja tidur di mobil.
Ken mengekor di belakangku membawa keyboard dan perlengkapan lain. Sepuluh menit kemudian ketiga temanku berjalan tersaruk-saruk mengikuti kami masuk ke dalam rumah. Tampak olehku Bu Nike sedang berbincang dengan seorang laki-laki tua yang wajahnya amat sabar.
"Topan, kamar kalian di ruang depan ya? Sudah siap kok, kalian bisa membawa perlengkapan kalian ke sana dan istirahat. Sampai jumpa besok pagi ..."
"Sensei mau ke mana?"
"Saya di paviliun samping, Topan. Kalau pulang, itu tempat tinggal saya. Saya jarang tidur di sini. Ini tempat tinggal Mas Eka. Saya lebih suka punya privasi sendiri."
"Sensei, terima kasih buat semuanya ..."
Bu Nike tersenyum manis. "Sama-sama, Topan. Sekarang, ajak teman-temanmu istirahat. Kalo ada apa-apa, minta tolong saja sama Pak Karto."
Aku mengangguk. "Ya, Sensei. Terima kasih banyak."
Malam itu kami semua nggak sempat untuk ngobrol, karena kelelahan. Aku mengamati interior kamar tidur untuk tamu, yang berukuran lumayan besar. Teman-teman bandku semuanya sudah terkapar, sementara aku sendiri nyaris belum bisa memejamkan mata. Aku hanya berpikir tentang hari ini, tentang semua kejadian ini, dan betapa kami, aku dan teman-teman bandku mendadak sangat dekat dengan Bu Nike.
Aku nggak ingat jam berapa aku terlelap, tapi dinginnya udara membuatku terbangun lagi. Aku melihat jam di dinding, jam lima subuh. Akhirnya aku bangkit, menuju kamar mandi. Awalnya aku hanya ingin mencuci muka, tapi saat merasakan dinginnya air, aku jadi tergoda untuk mandi sekalian.
Balik ke kamar, aku mengaduk-aduk ranselku dan menemukan stelan baju olah raga yang kebetulan kemarin kujejalkan. Kupakai sepatu ketsku dan mulai melangkah ke halaman. Aku melakukan pemanasan sejenak, lalu mulai berlari menyusuri jalanan setapak dari rumah menuju jalanan pedesaan. Hari masih gelap, udara yang berkabut menemani langkah kakiku berlari.
Diam-diam aku mengagumi pemandangan dan lingkungan di sekitar rumah Bu Nike. Amat indah dan udara masih bersih. Bebas polusi. Baru sekitar dua ratus meter aku berlari, tampak sosok dengan setelan baju olah raga warna putih, juga sedang berlari di depanku. Tampak belakang, sudah kelihatan olehku posturnya yang semampai, dengan rambut diikat ekor kuda, tampak lincah melangkahkan kaki, berlari dengan irama yang stabil. Penasaran, aku mempercepat langkah dan menyusul sosok itu.
Alangkah kagetnya saat kusadari siapa sosok itu.
“Sensei? sapaku.
Bu Nike menoleh dengan terkejut. "Topan?"
"Sensei bangun pagi sekali ..."
Bu Nike tertawa. "Enggaklah ... biasa saja. Mana yang lain?"
"Masih molor, Sensei. Anak-anak mana bisa disuruh bangun pagi?" aku nyengir.
"Kok Topan bisa?"
"Saya nggak bisa tidur, Sensei. Lagipula, sudah kebiasaan, saya juga suka jogging ..."
Bu Nike menghentikan langkah, dan berjalan dengan langkah biasa. "Maaf ya Topan, mungkin di rumah saya kurang nyaman, jadi Topan nggak bisa tidur dengan nyenyak ...," suara Bu Nike sarat dengan penyesalan.
Ganti aku yang merasa menyesal, sudah terlanjur ngomong seperti itu. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya bahwa aku nggak bisa tidur karena memikirkan dia?
"Enggak, Sensei. Rumah Sensei kelewat nyaman buat kami yang numpang istirahat. Kalau terlalu capek kadang saya memang nggak bisa tidur, bukan karena enggak nyaman. Saya nggak bermaksud ...," tak tahu lagi harus bilang apa, kalimatku menggantung sampai disitu.
"Jangan pernah lagi bilang kalian cuma numpang. Oke? Oh iya saya lupa, di pojokan jalan itu ada tukang jual bubur ayam yang enak. Kita sarapan dulu yuk, Topan ..."
"Tukang bubur ayam langganan ya, Sensei?" candaku.
Bu Nike mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Tiap saya pulang, saya selalu menyempatkan diri untuk mampir disitu..."
"Pas setelah selesai jogging begini ya Sensei?"
Mendadak hatiku panas saat memikirkan guruku yang satu ini, bisa saja jogging dengan seseorang yang spesial, dan makan bubur ayam bareng ...
Ya, mana mungkin perempuan secantik dia enggak punya pacar?
"Iya ... biasanya sama Mas Eka. Kalau nggak ada temannya ya saya sendirian, Topan ..."
Diam-diam aku tersenyum dalam hati, dan mensyukuri bahwa meski tadi malam aku nggak bisa tidur, nyatanya sekarang berbuah manis. Aku bisa jogging berdua Bu Nike.
"Naah ... tuh dia warung bubur ayamnya. Kebetulan kayaknya masih sepi, Topan," Bu Nike menuju sebuah warung bertenda hijau yang tampak bersih dan rapi.
"Topan mau minum apa?" Bu Nike menoleh ke arahku.
"Sensei minum apa?" tanyaku balik.
"Teh hangat saja yaa ..."
"Mantap," sahutku. "Apa saja saya mau, Sensei. Yang penting enak."
Bu Nike tertawa ringan, dan segera menyampaikan pesanan kami pada Pak Tukang bubur.
Sementara menunggu pesanan kami datang, aku dan Bu Nike mengobrol ringan tentang festival nanti siang.
"Jadi kalian sudah persiapan matang ya, sebelum festival ini? Nama band Topan apa ya?"
Aku menatap Bu Nike. Pemandangan pagi yang indah, ditemani makhluk manis yang sedang duduk di depanku, dan bertanya dengan antusias soal bandku. Adakah yang lebih sempurna dari momen ini? Untuk sementara, jelas tidak.
"Symphony, Sensei. Kami sudah persiapan sekitar satu bulan sebelumnya. Kami nggak terlalu ngoyo latihan, karena kami memang udah biasa latihan juga, jadi tinggal review dan melengkapi harmonisasi doang ..."
Obrolan kami terputus sesaat dengan datangnya dua mangkok bubur ayam yang masih mengepul.
"Ayo Sensei, kita makan dulu," ajakku.
"Sebentar, Topan, saya harus mengabari Mas Eka kalau saya masih jogging, dan nanti akan membawa pesanannya," Bu Nike masih sibuk dengan ponselnya.
Aku mengamati raut wajahnya yang serius sembari tersenyum.
Hening sesaat, dan Bu Nike sepertinya baru menyadari kalau aku belum menyentuh mangkok bubur ayamku.
Bu Nike mendongakkan kepala. Sepasang matanya yang bagus menatapku bingung.
"Kok bubur ayamnya belum dimakan, Topan?"
Aku tersenyum. "Saya makan, kalo Sensei juga makan ..."
Sekilas Bu Nike memandangku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Tapi itu hanya sesaat, karena raut wajahnya seperti biasa lagi. Malah sekarang balik memandangku dengan tatapan sok polos.
"Hah? Waduh ... tahu begitu, saya lama-lamain deh, nulis sms ke Mas Eka," Bu Nike nyengir.
Aku tetawa melihat gayanya. "Ayo Sensei, kita makan dulu ..."
Maka kami berdua pun dengan lahap menyantap bubur ayam itu, diwarnai dengan obrolan ringan seputar desa dekat kediaman Bu Nike.
Balik ke rumah Bu Nike, jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh. Kulihat teman-temanku sudah rapi jali, dan sedang membongkar perlengkapan musik kami di ruang tengah. Desain rumah Bu Nike lagi-lagi membuatku terpesona. Desain rumah yang dibuat dengan gaya old house, menimbulkan suasana nyaman dan tenang. Pemilihan perabot dan pernik warna yang digunakan amat harmonis.
Entah kenapa, ada sesuatu dari rumah ini yang membuatku serasa di rumah sendiri. Tentu saja aku nggak mengutarakan hal ini pada teman-temanku. Aku bisa dikira gila sama mereka. Tapi memang nggak ada yang normal lagi sejak aku bertemu Bu Nike. Semuanya absurd!
"Emang mau kemana?" tanyaku sembari menghempaskan badan di samping Esa.
"Mas Eka mengijinkan kita untuk latihan sebentar. Ada ruang kosong dibagian belakang rumah yang bisa dipakai. Kamu darimana? Nglayap mulu, dari pagi udah ngilang ..."
Aku nyengir. "Aku nggak bisa tidur semalem. Akhirnya pagi-pagi menyiksa diri dengan jogging seputar sini."
"Muter ke mana? Ngiter seluruh desa?" tanya Galang.
"Ada pemandangan yang bagus nggak? Kali aja kamu tadi ketemu bunga desa atau apa ..."
Aku tertawa. "Aku jogging ya jogging lah bro...bukan mau cari pemandangan cewek manis ..."
Iya lah, kalau tadi pagi aku bisa melewatkan waktu dengan makhluk tercantik, ngapain juga aku repot-repot jelalatan cari mangsa?
Galang mendengus. "Heran! Sejak putus dari Riri kamu jadi alim begini. Sudah nggak tertarik sama lawan jenis ya?"
Friza berdecak kaget. "Waduh! Kalau emang beneran begitu, gawat! Cewek-cewek di sekolah kita bakalan patah hati, bro ..."
Aku tertawa lebar. "Aku baru tau, Lang. Ternyata kalau soal beginian kamu perhatian banget ya sama aku. Kuatir aku berubah ya? Tenang bro ... nggak ada yang perlu dirisaukan. Aku masih tetap seperti yang dulu kok ..."
Spontan Galang mengumpat dengan fasih. "Sial!"
Teman-temanku serentak menertawakan raut muka Galang yang berubah kecut.
Mendadak, saat Bu Nike memasuki ruang tengah, kami sontak menghentikan canda dan gurauan.
"Boys, ayo latihan dulu ... ruangannya sudah siap tuh di belakang," ajak Bu Nike.
"Bu Nike mau lihat kami latihan?" tanya Ken, seakan tau jalan pikiranku. Huh, kenapa dia duluan yang tanya?
Bu Nike tersenyum manis. "Sepertinya tidak, Ken. Saya mau pergi ke suatu tempat hari ini. Banyak keperluan yang harus saya urus ...,"ujarnya dengan nada separuh menyesal. "Tapi nanti siang, saya yang akan mengantar kalian ke festival, karena Mas Eka harus menyelesaikan pekerjaannya di kafe ..."
"Sip Bu ...," sahut Galang. "Kalau ada Bu Nike kami jadi semangat nih ..."
"Emang Bu Nike mau ke mana?" tanya Esa.
Sebelum Bu Nike sempat menjawab, Galang sudah menyerobot duluan. "Kamu nih bawel amat yah, tanya-tanya urusan orang. Emang mau ngikut?"
Esa langsung nginyem mendengar komentar Galang, sementara aku hanya menahan senyum.
Bu Nike hanya tertawa, tak menjawab pertanyaan Esa. "Sudah ya, saya tinggal dulu. Sampai ketemu nanti siang ..."
Diam-diam aku mengikuti langkah Bu Nike dengan sudut mataku. Aku suka melihat gayanya. Otomatis, pikiranku mengembara kemana-mana, terutama kejadian tadi pagi ...
Suara Galang yang menertawakan kekonyolan Ken membuatku tersadar dari lamunan sesaatku tentang Bu Nike. Tak lupa aku memasang tampang acuh dengan susah payah. Hanya Esa yang sepertinya bisa merasakan perubahan suasana hatiku. Pelan aku memaki dalam hati. Aku sudah berusaha untuk tidak gampang mengekspresikan apapun yang kurasakan pada orang lain. Aku sudah terbiasa untuk tidak mudah 'dibaca'.
Latihan kami berjalan lancar, dan kami merasa cukup percaya diri untuk menaklukkan panggung festival. Jam sebelas siang kami mulai bersiap. Pak Karto menyilakan kami untuk makan siang dan saat kami hampir selesai, Bu Nike memasuki ruangan.
Mengenakan kemeja katun putih polos yang lengannya tergulung hingga siku, ikat pinggang kepang dari kulit, celana jeans dan sepasang flat shoes yang nyaman, Bu Nike tampak amat luar biasa menarik dimataku. Cantik.
"Halo Boys ... sudah siap ke festival?" senyum manisnya terkembang.
Aku berdiri. "Sudah, Sensei ...," aku beranjak menuju ruang tengah. "Ayo teman-teman, kita angkut barang-barang ..."
Sidoarjo, 130122

Bình Luận Sách (38)

  • avatar
    LUTFILKS

    bagus banget

    5d

      0
  • avatar
    mlmnovita

    bagus banget

    26/06/2023

      0
  • avatar
    FizHafiz

    ini agar luar biasa a

    30/03/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất