logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

HILAL UNTUK HALAL

HILAL UNTUK HALAL

AY AUTHOR


Chương 1 Mengingat Mantan Pacar

“Kamu tahu, dia itu konyol sekali,” celetuk Fian saat membicarakan kejadian lucu yang pernah aku dan Fian lewati bersama.
Wajahku tertegun, aku bingung siapa orang yang dimaksud oleh Fian. Aku bertanya, “Dia siapa?”
“Ehhhkemm, maksudnya Bilqis. Iya, Bilqis itu konyol sekali kan? Kamu sendiri juga tahu kalau dia memang konyol sekali,” jawab Fian.
Seketika senyum dan tawa yang aku sunggingkan kepada Fian hilang. Aku merasa terganggu, mengapa bisa-bisanya ketika Fian sedang membicarakan hal-hal bahagia bersamaku masih sempat-sempatnya saja Fian mengingat hal-hal tentang Bilqis?
“Oh,” jawabku singkat seraya mengambil secangkir cappuccino late dihadapanku.
Aku yakin, Fian menyadari bahwa saat itu moodku hancur. Jujur saja, aku tidak membenci Bilqis dan semua kenangannya saat bersama Bilqis. Tapi, aku sangat tidak suka jika ditengah perbincangan hangat antara aku dan dirinya, ia masih saja mengingat Bilqis.
“Bisa tidak, sekali saja, saat bersamaku kamu tidak perlu membahas tentang Bilqis,” ucapku setelah menyeruput dan meneguk cappuccino late itu.
“Kita tidak sedang membahas tentang Bilqis, sayang. Kita sedang membahas semua hal lucu yang pernah kita lalui kan?” ucap Fian.
Sudah terlalu sering Fian melakukan hal ini. Fian tahu bahwa aku tidak menyukai hal itu. Tapi, tetap saja. Fian mengulangi hal yang tidak aku suka berkali-kali. Aku sudah sering mengingatkan tentang hal yang tidak aku sukai kepadanya. Tapi begitulah, Fian tetap saja mengulanginya.
Aku tahu, Fian pernah menjalin hubungan dengan Bilqis dalam waktu yang cukup lama dan bukan hal mudah untuk melupakan itu semua. Tapi, tolonglah ketika kamu sedang bersamaku, itu sudah beda ceritanya. Ingin rasanya aku mengatakan hal itu kepada Fian.
“Maaf,” ucap Fian seraya menyentuh telapak tanganku.
Dengan wajah memelas, ia meminta maaf kepadaku. Iya, inilah yang sering Fian lakukan ketika ia menyadari bahwa aku sedang tidak suka mendengarkan apa yang baru saja Fian ucapkan. Meminta maaf kemudian mengulanginya lagi, meminta maaf dan mengulanginya lagi, terus saja begitu.
“Sudahlah, aku mau pulang. Sudah sore, bunda pasti sudah menunggu,” ucapku kepada Fian.
Tanpa basa-basi lagi, Fian mengiyakan ucapanku. Aku dan Fian keluar dari coffee shop itu. Ketika aku hendak keluar dan mengejar langkah kaki Fian yang berjalan di depanku, aku tidak sengaja berpapasan dengan seorang laki-laki.
Seketika waktu terasa berhenti berjalan.
Aku dan matanya saling menatap. Aku melihat diriku yang ada di kedua bola matanya, begitupun laki-laki itu. Dengan kemeja berwarna merah maroon dan celana coklat susu, ia mengedipkan kedua matanya, setelah itu ia menunduk dan berkata, “Astagfirullah,”
“Maaf mbak,” ucapnya seraya berjalan masuk ke dalam coffee shop itu.
Mendengar ucapan yang ia katakan, aku juga ikut memalingkan pandanganku kepada laki-laki itu. Aku menoleh kepadanya ketika ia sudah lanjut berjalan dan masuk ke dalam coffee shop duduk di salah satu kursi yang ada.
Entah apa yang membuat aku tidak bisa melepaskan pandanganku kepada laki-laki itu. Aku terus saja melihat kepadanya. Walaupun tidak ada lagi tatapan mata yang diberikan oleh laki-laki itu kepadaku.
“Kak Zain!” teriak salah satu perempuan mengenakan pakaian muslimah berlari kecil mendekat pada laki-laki itu.
“Oh ternyata Zain, namanya,” gerutu hatiku.
Zain dan perempuan itu saling berpelukan, saat itu tanpa berpikir panjang lagi, aku merasa risih dan pergi menuju Fian yang sedari tadi sudah berada di atas motornya menunggu aku datang.
“Keliatannya saja baik-baik, nyatanya ya sama aja sih,” gerutuku.
Aku berjalan menuju parkiran motor, sementara di dalam coffee shop…
“Nisa? Tidak perlu seperti itu juga, tidak enak dilihat oleh yang lainnya,” ucap Zain seraya melepaskan pelukan Nisa saat itu.
Nisa melihat ke kanan dan ke kirinya, benar saja. Beberapa orang yang ada di coffee shop itu melihat kepada mereka.
“Biarkan saja, toh kita adik kakak. Bukankah wajar? Memeluk kakak kandung sendiri? Melepaskan rindu yang ada, lagian mereka juga tidak tahu kan, sudah 5 tahun lamanya adik ini ditinggal oleh kakaknya, biarkan saja kak,” ucap Nisa tidak memperdulikan.
“Walaupun sudah 5 tahun kakak tidak bertemu kamu, ternyata tetap saja ya, tidak ada yang berubah. Adik kakak ini tetap saja bawel,” ujar Zain seraya menarik hidung Nisa.
“Aduh kak,” ucap Nisa.
“Sudah, ayok, Nisa mau pesan apa? Setelah ini, kakak masih ada pertemuan di perusahaan yang menawarkan kerja sama dengan perusahaan kita, lagi pula bunda pasti sudah sangat merindukan kakak. Kakak belum sempat pulang ke rumah. Sesampainya kakak di bandara kakak langsung mengikuti pertemuan pertama dengan beberapa pimpinan perusahaan. Bunda pasti sudah menunggu,” ujar Zain yang membayangkan senyum di wajah Bundanya karena sudah lama tidak bertemu dan pada saat ini Zain belum pulang untuk menemui Bundanya karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dengan segera.
“Coccho late saja, benar sekali Bunda pasti sangat merindukan kakak,” ujar Nisa.
Ya, begitu. Nisa dan Zain adalah adik kakak. Mereka sudah lama berpisah, karena Zain harus melanjutkan pendidikan S2nya di Mesir. Zain adalah salah satu lulusan terbaik dari salah satu kampus yang memiliki jurusan ekonomi dan bisnis terbaik yang ada di Mesir.
Zain? Laki-laki tampan, pandai dan insyaallah juga beriman. Bisa dilihat dari pencapaiannya selama ini. Ia berkali-kali menjuarai lomba menghafal Al-quran di Mesir. Selain itu, ia juga pandai dari segi akademiknya.
Saat ini, Zain harus melanjutkan bisnis di perusahaan keluarganya. Perusahaan ayahnya dulu. Iya, ayah Zain sudah lama meninggalkan dirinya dan keluarga. Selama ini, perusahaannya di kelola oleh pamannya, adik dari ayahnya.
Sementara aku yang belum tahu apa-apa tentang Zain dan keluarganya malah menjudge Zain. Bodoh sekali memang.
Posisinya saat itu, aku dan Zain tidak mengenal satu sama lain.
Aku masih saja bisa melihat jelas tatapan mata yang Zain berikan kepadaku. Ini memang bukan untuk pertama kalinya, aku mendapatkan tatapan dari orang lain. Fian sudah terlalu sering menatapku. Tapi dari tatapan mata Zain, aku merasa ada yang berbeda.
“Zain?” ucapku seraya membayangkan dirinya.
Aku sadar, saat itu aku sedang bermain dengan hatiku. Yang seharusnya, aku tidak boleh memikirkan dan membayangkan orang lain kecuali Fian, pacarku. Tapi, aku malah membayangkan dan memikirkan Zain.

Bình Luận Sách (87)

  • avatar
    Uda Win

    mantap dan asik

    10d

      0
  • avatar
    Rizkiikilonek

    assalamualaikum

    12d

      0
  • avatar
    Fajrin Setyawan

    bagus

    19d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất