logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

part-07

Suara gebrakan meja yang begitu kuat membuatku langsung berjengkit kaget.
Posisi badanku yang tadinya sedikit miring dan membungkuk kini sudah berdiri tegak sambil bersandar pada dinding. Jantungku juga masih berdetak tak karuan. Gara-gara suara gebrakan yang keras tersebut. Aku juga sangat terkejut. Rasa penasaran juga semakin besar. Kira-kira apa yang terjadi di ruang tamu.
Ina dan Ery yang tadinya masih di dapur juga sekarang sudah berdiri di sampingku. Mungkin karna fokus dengan rasa kaget yang kualami. Sehingga, aku tidak menyadari keberadaan mereka berdua. Dari ekspresi mereka berdua sepertinya juga sama sepertiku. Kaget dan penasaran.
"Saya gak mau tahu ya Pak Rasyid. Meski hutang sampean belum jatuh tanggal tempo. Pokoknya sampean harus bayar hutang itu, sekarang, juga." ucap si tamu kepada Bapak. Sangat terdengar jelas karena suara yang dikeluarkan begitu besar. Ah, aku tahu suara siapa itu.
Meski berhasil mengetahui tamu yang datang. Lantas tak membuatku merasa senang. Karena mendengar apa yang tamu tersebut katakan ke Bapak.
"Malu, Pak. Bisa beli motor bagus dan mahal tapi punya hutang kok gak di bayar." Lanjut beliau lagi. Deg! Aku yang mendengar langsung terkejut dan kaget. Perasaanku juga langsung kacau sekarang. Jika aku saja sebagai anak merasa sangat malu. Bagaimana dengan Bapak?
Mendengar kata-kata yang menyakitkan itu. Aku, Ina, dan Ery langsung saling memandang satu sama lain. Ekpresi kita bertiga kompak untuk saat ini. Yaitu, sama-sama marah. Iya, rasa malu tadi langsung berganti dengan amarah. Bisa-bisanya Pak Sadikin berkata seperti itu kepada Bapak. Iya, tamunya bernama Pak Sadikin. Bahkan, kami juga masih bertetangga. Taulah ya, hidup di kampung masih berkelompok.
Aku yang mendengar ucapan menyudutkan yang diucapkan Pak Sadikin kepada Bapak itu sangat marah. Tanganku mengepal kuat karena sangking tidak terimanya bapakku disudutkan seperti itu.
Beraninya beliau berkata kasar kepada Bapak. Aku sangat mengenal sosok Pak Sadikin ini. Kita masih bertetangga juga. Rumah beliau hanya berjarak lima rumah dari rumah kami.
Datang bertamu ke rumah bukannya bersikap ramah. Justru beliau bersikap tidak sopan karena dengan berani menggebrak meja serta mengucapkan kata-kata kasar. Padahal, setiap berpapasan dengan beliau atau ketika aku lewat di depan rumahnya ketika hendak pergi ke sekolah, Pak Sadikin ini selalu menjawab atau menyahut jika kusapa.
Bahkan, tak jarang beliaulah yang menyapa atau yang menegurku terlebih dahulu.
Semua keributan ini ternyata karena perkara hutang. Mendengar Bapak disuruh membayar hutang, aku juga tidak terkejut. Karena, sebagai anak berumur belasan tahun aku cukup tahu Bapak dan Mama memang mempunyai hutang kepada Pak Sadikin.
Yang membuatku terkejut dan sangat marah adalah kata-kata Pak Sadikin yang menyinggung soal Bapak yang bisa membeli motor tapi tidak bisa atau bahkan tak mau membayar hutang kepadanya.
"Setiap kali lewat depan rumahku, apa sampean ini tidak malu. Bawa motor bagus, lewat di depan orang yang sampean punya hutang, ck ck ck." ucap Pak Sadikin lagi semakin berani. Karena, Bapak dan Mama hanya diam saja. Jadinya, Pak Sadikin semakin berjaya saja mengeluarkan kata-kata kejam itu dari mulutnya.
Aku yang sudah tak tahan mendengar kata-kata yang diucapkan beliau langsung melangkah menuju ruang tamu. Ingin sekali aku menyiram muka Pak Sadikin ini dengan air cucian piring bekas kami makan tadi. Namun, setelah satu langkah berjalan. Aku tidak bisa melanjutkan langkah lagi.
Setelah kulihat ke belakang. Ternyata Ina dan Ery menahan dan menarik bajuku. Pantas saja aku tidak bisa maju-maju dari tadi.
"Lepas!" ucapku dengan pelan namun dengan nada yang menggeram. Karena, aku sedang sangat emosi saat ini.
"Jangan ikutan," ucap, Ina sambil berbisik.
"Aku jengkel banget sama kata-katanya." ucapku lagi.
"Bapak sama Mama aja masih diam. Kamu gak usah ikutan nambah-nambahin masalah." ucap Ery ikut melarangku untuk memberi pelajaran kepada Pak Sadikin.
Meski aku masih muda dan seorang perempuan. Untuk orang sejenis Pak Sadikin ini aku tidak merasa takut. Meski beliau seorang laki-laki atau lebih tua dariku.
Membanting Pak Sadikin satu kali sepertinya tidak ada salahnya untuk memberi beliau pelajaran. Tanganku benar-benar gatal ingin mengangkat beliau lalu membanting ke depan rumah.
Jiwa bar-barku sepertinya telah bangkit saat mendengar kata-kata yang menurutku sangat menyudutkan bahkan merendahkan kedua orang tuaku.
"Jadi? Kalian berdua terima aja gitu orang tua kita direndahkan macam itu oleh orang lain. Lalu, untuk apa kita di sini, jika kayak gini aja kita gak bisa membela orang tua." balasku tidak terima dengan apa yang Ina dan Ery peringatkan.
"Bukan gitu, tau. Ish, susah banget sih bilangin kamu tuh, Kak. Sana, sudah! Kalau gak mau dinasihati." Ucap Ery marah sambil mendorongku ke arah ruang tamu.
Melihatku yang masih ngotot, Ery akhirnya malah balik marah. Yang tadinya sempat melarang. Kini justru dia yang menyuruh atau mendorongku agar pergi ke ruang tamu. Dasar adik emosian.
"Maaf sebelumnya Pak Ikin. Saya tidak membayar hutang kepada sampean kan karna saya ingin membayarnya sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan kita yang sudah kita tanda tangani. Bapak Ikin sendiri tahu jika tanggal jatuh temponya masih setahun lagi. Bukankah yang seharusnya malu itu sampean, bukan saya. Karna sudah jelas sampean tahu sekarang belum jatuh tempo malah datang ke sini menagih hutang. Sambil marah-marah, lagi." Ucap Bapak tenang.
Bapak akhirnya buka suara juga, setelah lama bungkam. Mendengar kata-kata Bapak yang sangat mewakili hatiku. Aku langsung saja manggut-manggut, tanda setuju dengan semua yang beliau sampaikan kepada Pak Ikin atau Pak Sadikin.
"Loh, terserah saya dong, Pak Rasyid. Menagih hutang kan hak saya. Kenapa saya harus malu. Sampean itu yang tidak tahu malu." balas Pak Sadikin tak mau kalah.
Ucapan beliau kali ini benar-benar membuatku meradang. Setelah mendengar itu aku langsung berjalan ke arah ruang tamu dengan penuh emosi.
Ina dam Ery yang tadi sempat melepaskan tanganku kembali berusaha memcegahku dengan memegang kedua lenganku lagi. Namun, usaha mereka berdua kali ini tidak akan berhasil.
Mendengar suara langkah kakiku. Mama, Bapak, dan si tamu langsung memalingkan kepala mereka dan menoleh ke arahku. Pak Sadikin langsung mengernyit keningnya ketika menatap kearahku. Mungkin beliau heran melihat ekspresiku yang bisa saja terlihat seperti hantu di matanya.
Sedangkan Bapak, langsung berdiri ketika melihat aku berjalan ke arah mereka. Pak Sadikin kembali menatap ke arah Bapak. Ekspresi semakin heran. Entah apa yang ada dipikiran beliau. Yang jelas sekarang, jarakku dengan beliau sudah semakin dekat. Ketika tinggal beberapa langkah lagi. Aku segera mengepalkan tangan. Bersiap memberikan tonjokan ke muka beliau yang sekarang sudah menatap ke arahku ku lagi.
Next

Bình Luận Sách (142)

  • avatar
    Rembez Rembez

    bagus menarik, saya suka dengan cerita novel

    3d

      0
  • avatar
    maewaJael

    bagus

    17d

      0
  • avatar
    HendiHusni

    nice

    20d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất