logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Mulai Merasa Aneh

“Kau kenapa?” tanya Duma yang heran melihat Dika terus saja menggerutu.
“Tadi aku terjatuh dari tangga dan rasanya ada orang yang berkata sesuatu padaku, tapi herannya saat aku bangkit orang itu sudah pergi!”
“Orang? Siapa? Rumah sudah kosong sejak aku naik tadi dan ayahku belum pulang!” jelas Duma membuat Dika menyatukan kedua alisnya ke tengah kening.
“Jadi siapa wanita berbaju perawat tadi?”
“Mana aku tau!” jawab Duma lalu melangkah kembali ke kamarnya.
Dika yang masih binggung lalu menghapus rasa penasarannya, dia kembali ke kamarnya dan mulai membaringkan tubuhnya.
Rasanya banyak sekali keanehan di hidupnya belakangan ini terutama soal kata-kata aneh yang dia jelas-jelas dengar tapi tak nampak dari mana asal suara itu.
“AH, paling aku hanya melamun!” tutur Dika lalu meletakkan tangannya menutupi kedua matanya.
“Mas, kamu jahat!” Suara tak bertuan itu kembali terdengar begitu jelas di telinga Dika.
“Sudahlah, aku pasti hanya melamun!” ujar Dika lalu melangkah menuju kamarnya untuk tidur karena tubuhnya sangat lelah setelah kejadian tadi malam hingga siang ini.
***
Keesokan Harinya.
“Dika, kau mau kemana?” tanya mertua Dika siang itu.
“Aku harus kembali bekerja, Bu!” tutur Dika meraih sepatunya lalu bergegas memasukkan kunci mobil pick up ke dalam sakunya.
“Oh, kau sudah mulai bekerja lagi. Ibu kira kau dapat cuti paling tidak sampai seminggu meninggalnya, Yunia?”
“Mana bisa begitu, Bu. Dika pamit dulu ya, Bu!” pamit Dika lalu pamit kepada mertuanya kemudian melangkah menuju garasi rumah yang berada tak jauh dari tempat tubuh Yunia terjatuh.
Semua terasa sama saja sampai akhirnya Dika menyalakan mensin mobil pick upnya dan...
Kreeeeek.... Kreeeek...
Mesin mobil ini tak mau menyala, Dika mulai bingung dan berkali-kali memutar kunci mobilnya yang tak juga berhasil menghidupkan mesin.
“Ada apa? Tumben!” celetuk Dika lalu turun dari kursi kemudinya.
“Kenapa, Nak?” tanya Ibu yang memang masih menunggu menantunya itu di halaman rumah.
“Entahlah, sepertinya mesin mobilku rusak!” ujar Dika yang dengan kesal segera mengangkat jok yang tadi dia duduki.
“Kenapa? Rasanya mobil ini masih baru dan kau tak pernah terlambat membawanya ke bengkel!”
“Iya, mangkanya. Aku cek dulu saja!” Saat jok berhasil terangkat, Dika langung melihat wajah Yunia di bawah jok mobilnya, “Aaah!” teriak Dika kaget.
“Ada apa, Nak?” tanya Ibu bingung sambil menghampiri Dika yang jadi pucat karena melihat wajah Yunia.
“Ah, aku... sepertinya, aku...,” Dika mulai gugup dan menyadari arwah istrinya masih menghantuinya.
“Kenapa?” tanya Ibu berusaha menenangkan Dika.
“Sepertinya aku harus meminta maaf kepada, Yunia. Toh dia sudah mati!” batin Dika lalu mencoba menenangkan dirinya agar Ibu tak semakin curiga kepadanya.
“Tak apa, hahahaha. Hanya kaget, tadi, Dika, kaget lihat cicak!” tutur pria bertubuh tinggi besar itu.
“Oh, Ibu pikir ada apa?”
Dika lalu mengembalikan jok mobilnya di posisi semula dan melempar senyum pada ibu mertuanya.
“Yunia, maafkan aku. Aku menyesal akan apa yang aku lakukan, jadi aku mohon ijinkan aku untuk bekerja!” bisik Dika sebelum memutar kembali kunci mobilnya dan benar saja kali ini mesin mobilnya menyala dan dia bisa pergi bekerja.
Dalam perjalanan menuju pabrik peti mati, Dika terus saja merasa Yunia duduk di samping jok kemudi, sesekali pria 31 tahun itu merinding karena ketakutannya sendiri tapi dia tetap berusaha tenang karena dia sadar semua ini juga terjadi karena kesalahannya.
**
Pabrik Peti Mati.
“Dika!” panggil kepala produksi saat supir pengantar peti mati ini tiba di gudang pabrik.
“Iya, Pak! Maaf saya terlambat!” sahut Dika lalu turun dari kursi kemudi.
“Sudah terlambat kalau kita harus berbincang lama, cepat naikkan peti mati itu dan antar ke Araya-Malang!” perintah kepala produksi yang langsung di jawab Dika dengan gerak cepat menuju gudang untuk menanda tangani surat jalan peti.
“Sudah, Pak!” ujar Dika sambil menunjukkan surat jalan di tangannya membuat kepala produksi yang tadinya cemberut kembali tersenyum.
“Baiklah, sekarang pergilah, peti ini menunggu untuk diisi!”
Dika menangguk lalu menurunkan penutup bak pick upnya agar beberapa teman kerjanya bisa dengan mudah menaikkan peti mati berbahan kayu dengan cat putih di sekelilingnya.
“Dika, sudah!” seru dua orang teman Dika yang membuat Dika bergegas menarik penutup bak pick up dan menutup bagian atas pick up dengan terpal hitam untuk melindungi peti dari sinar matahari siang itu.
“Baik, Pak. Saya pamit!” ujar Dika lalu kembali memutar kunci mobilnya berharap mesin mobilnya tak rewel seperti saat akan dihidupkan di garasi rumah Yunia tadi.
Kreeeek.... greeng...
Dika menginjak pedal gas dan mobil mulai melaju meninggalkan gudang peti mati, “Yunia, terima kasih. Maafkan aku jika aku membuatmu menderita seperti ini!” sesal Dika dalam hati namun tentu semua penyesalan ini sudah tak berarti bagi Yunia yang kini sedang duduk di samping Dika.
Mobil Dika berjalan perlahan menuju rumah sakit tak jauh dari pintu masuk perumahan Araya, dia tak menemukan sedikitpun masalah selama pengantaran kali ini meski sesekali dia tetap saja merinding jika mengingat kejadian tadi siang saat dia melihat wajah mendian istrinya di bagian bawah jok mobil.
“Bapak, pengantaran peti sebelah sana, ya!” tunjuk petugas keamanan rumah sakit saat Dika tiba di pintu masuk parkiran.
“Iya, Pak!” jawab Dika dengan nada datar lalu menuruti peringah.
Tanpa banyak berkata Dika kemudian belajukan mobilnya perlahan hingga tiba di pintu masuk peti mati rumah sakit yang disana sudah menunggu beberapa petugas dengan pakaian perawat.
“Biar kami bantu turunkan!” tutur salah seorang perawat pria lalu membuka terpal bak pick up Dika.
“Silahkan!” sahut Dika lalu duduk di kursi kayu tak jauh dari mobilnya di parkirkan.
“Eh, Pak. Kok ada darah di terpalmu!” seru seorang yang membuka terpal.
“Ha, darah?” ujar Dika yang baru saja akan menyalakan rokok di sela jarinya.
Dika lalu bangkit dan memeriksa terpalnya dan benar saja, ada darah menetes dari terpalnya.
“Apa kau baru saja menabrak burung atau kucing?” tanya perawat itu terheran.
“Tidak!” jawab Dika lalu mengingat ingat asal darah yang terlihat masih segar itu.
“Tak apa, biar kami bantu bersihkan. Mungkin kau sedang tertimpa sial saja!” lanjut perawat itu kemudian menggulungn terpal hitam milik Dika lalu mengucurkan air ke atasnya.
“Kalau kau baru saja menabrak hewan, bagusnya kau kembali ke tempat itu dan meletakkan sekedar air untuk menghapus darahnya, jadi dia tak akan mengikutimu terus!” tutur perawat itu lagi.
Dika langsung tau apa maksud dari perawat itu, memang sejak kematian Yunia beberapa hari lalu, dia bahkan belum sempat membasuh tempat jatuhnya mendian Yuni dengan tangannya sendiri tapi justru dia ketakutan dan memilih untuk menyuruh ayah mertuanya.
“Terima kasih, biar kau bersihkan tempat aku menabrak kucing itu!” Dika tersenyum lalu bergegas menggulung kembali terpalnya dan menarik penutup pick up agar bisa segera pulang.

Bình Luận Sách (34)

  • avatar
    KasmisantyAndi

    semangat nulisnya thor... sy suka ceritanya gak serem2 amat

    24/02

      0
  • avatar
    Darma Darma

    bagusss

    03/04/2023

      0
  • avatar
    Claudya Sawai

    good

    03/03/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất