logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 8 Bertemu Alan

Jadi, Mas Ardi sudah tahu soal pertemuan itu. Pantas saja waktu itu Mas Ardi bersikap agak aneh dan begitu dingin ke mama. Ternyata, selingkuhannya sudah mengadu.
"Ayo kita pergi, Dek! Jangan dengarkan wanita ini!"
"Mas! Kamu nggak bisa ninggalin aku begini, dong!"
Mas Ardi menarik tanganku dan mengajak masuk ke mobilnya. Tingkah Leni seperti anak-anak. Dia terus mengikuti sampai memukul-mukul kaca mobil.
"Nggak ada malu sama sekali," batinku. Baru kali ini aku melihat wanita yang seperti Leni.
"Katanya mau makan di kafe pelangi, Mas? Jalan kaki saja bisa, 'kan?" tanyaku.
"Nggak jadi di sana. Leni pasti akan ngikut. Aku risih dan nggak enak dilihatin teman-teman. Dari tadi Leni terus mengikutiku. Kita makan di tempat lain saja nggak apa-apa, 'kan?"
"Ya, nggak apa-apa, sih. Terserah."
"Kamu masih marah soal semalam? Aku minta maaf! Aku benar-benar nggak sengaja dan nggak ada niat untuk berkata begitu. Kamu tahu sendiri, 'kan, bagaimana sikapku ke Leni barusan?"
"Ya, Mas."
"Iya apa, Dek?"
"Iya aku maafin."
Mas Ardi mengusap kepalaku. Sikap Mas Ardi kepada Leni tadi membuatku sedikit percaya kalau suamiku sudah berubah. Aku melihatnya sendiri kalau Leni yang mengejar-ngejar suamiku.
"Oh, ya, aku mau tanya sesuatu, Dek."
"Kenapa, Mas?"
"Mama habis nampar Leni, ya?"
"Em ...."
"Leni sudah kasih tahu sama aku kemarin."
"Wajar, dong, Mas, kalau mama marah."
"Iya, sih, Dek."
"Oh, ya, aku aku dapat undangan dari atasanku."
"Undangan apa, Mas? Nikah?"
"Bukan. Temanku ngerayain hari jadi pernikahannya."
"Oh, kapan, Mas?"
"Besok, Dek. Temani aku, ya!"
"Oke, Mas."
***
Hari ini aku harus bersiap-siap untuk menemani Mas Ardi ke pesta temannya. Dikarenakan aku tidak pandai berdandan, aku memutuskan pergi ke salon di mana mama pernah membawaku dulu. Aku pergi bersama mama karena mama khawatir aku bertemu Leni lagi.
"Tolong dandanin menantu saya secantik mungkin!" pinta mama kepada salah satu pegawai salon ini.
"Kalau bisa, lebih cetar dari yang sebelumnya, ya!" lanjut mama lagi.
"Ma." Aku tampak malu. Rupanya aku harus sering merias diriku sendiri agar terlatih.
Tiba-tiba aku teringat dengan ayah dan ibu. Aku sangat rindu dan ingin menemuinya. Selama ini kami hanya berkomunikasi melalui panggilan video saja. Ayah dan ibu berpikir kalau aku sangat bahagia dengan pernikahanku sampai belum sempat mengunjungi mereka.
Aku menutupi semua masalahku dari mereka. Tak mungkin jika aku memberi tahu masalah yang kualami. Sudah dipastikan ayah dan ibu akan sedih mengetahui pernikahan putrinya yang menyedihkan. Belum ada satu bulan menikah, sudah melalui banyak ujian.
[Dek, kamu di mana?] Mas Ardi mengirim pesan kepadaku.
[Aku di salon, Mas. Kenapa? Kamu sudah pulang?]
[Iya. Aku dan papa sudah di rumah. Kamu sama mama?]
[Iya, Mas. Aku sama mama.]
[Di salon mana biar aku jemput?]
[Salon Tiara, Mas. Jemputnya nanti saja, masih lama soalnya.]
Setelahnya dirias, aku memperhatikan diriku di cermin. Benar apa kata mama, aku harus tampil cetar. Aku tak mau membuat malu Mas Ardi. Beruntungnya aku memiliki Mama Diana. Mama mertua rasa ibu kandung. Sangat peduli dengan menantunya yang tidak pandai merias diri ini.
"Wah! Lily!" Mama sangat kagum dengan penampilanku saat ini.
"Elegan sekali! Cocok dengan gaun warna hitam ini," lanjutnya.
"Ayo pulang!"
"Ma, tadi Mas Ardi bilang mau jemput kita."
"Nggak usahlah. Biar jadi kejutan buat dia di rumah. Kita pesan taksi online saja."
"Emm ... ya sudah, Ma."
***
"Dek, kamu, kok ...." Mas Ardi memperhatikanku sampai tak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa, Mas?"
"Tak diragukan lagi, cantikmu sungguh luar biasa!" puji Mas Ardi.
Aku justru malu mendapat pujian darinya karena ada mama dan papa yang memperhatikan kami.
"Gimana? Menantu mama ini memang cantik, 'kan?" tanya mama sambil menyenggol Mas Ardi.
"Dia sudah siap untuk pergi ke pesta," lanjut mama.
Di dalam perjalanan, Mas Ardi tak henti-hentinya memujiku. Dari sini aku dapat menilai kalau suamiku memang suka wanita yang pandai merias diri. Mas Ardi suka wanita dengan wajah penuh polesan make up.
"Dek, nanti kita nggak langsung pulang, ya?"
"Memang mau ke mana, Mas?"
"Kita ke hotel."
"Ngapain, Mas?" Aku mengernyitkan dahi. Ada-ada saja suamiku ini. Dia mengajakku ke hotel.
"Kita akan melakukannya."
"Kenapa harus di hotel? Di rumah juga bisa, 'kan?"
"Biar lebih leluasa, Dek," ujarnya sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Nanti salah sebut nama lagi," sindirku. Aku masih mengingat kejadian itu. Hatiku kembali sakit ketika mengingatnya.
"Dek, aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud begitu. Nama kalian memang hampir sama."
"Beda, loh, Mas."
"Dek, sudah, dong! Aku minta maaf. Aku bilang kalau aku tidak sengaja. Masa', kita mau bertengkar lagi?"
Aku diam dan tak menjawabnya. Aku juga lelah jika bertengkar terus. Mungkin Mas Ardi terlalu lama mencintai Leni hingga ia belum bisa melupakannya. Aku akan memaklumi hal itu, yang penting Mas Ardi sekarang sudah berubah dan sudah berjanji tak akan melakukan itu lagi.
***
"Selamat datang, Pak Ardiansyah!"
"Wah, Bu Ardiansyah."
Aku dan suami menyalami mereka yang ada di pesta. Mereka menyambut hangat kedatangan kami. Aku mengedarkan pandangan dan tanpa sengaja menangkap sosok yang kukenal.
"Alan?" gumamku pelan.
"Kenapa, Dek?"
"Oh, nggak, Mas. Aku ke sana dulu, ya?"
"Iya, Dek."
Aku tidak salah lihat. Pria yang baru saja melintas di depan adalah Alan. Dia adalah pria yang pernah kutolak cintanya. Bukan karena aku tidak menyukai Alan, tetapi dia menyatakan cinta kepadaku saat dia berstatus menjadi calon suami orang. Saat itu aku pikir kalau Alan sudah tidak waras.
"Jangan bercanda, Alan! Kamu sudah akan menikah dengan Vina," kataku waktu itu.
"Tapi aku hanya mencintaimu, Lily. Aku tidak mencintai Vina. Aku dan dia hanya dijodohkan saja. Aku akan membatalkan perjodohan itu dan kamu akan menikah denganku," tutur Alan saat itu.
"Jangan gila kamu, Alan!" ucapku ketika itu kemudian meninggalkannya sendiri.
"Hei!" Seseorang menepuk pundakku.
"Vina?" Aku terkejut dengan wanita yang ada di hadapanku saat ini.
"Kenapa? Kaget, ya? Makanya, jangan melamun! Kamu Lily temannya Alan, 'kan?" Vina mengulurkan tangannya kepadaku.
"Iya. Kamu apa kabar?" Aku menjabat tangan Vina.
"Baik. Maaf, ya, waktu itu aku sama Alan nggak bisa datang ke pesta pernikahanmu. Waktu itu kita lagi di luar kota."
"Ah, iya, nggak apa-apa, Vin. Kamu datang sama siapa?"
"Aku sama suami aku. Itu di sana." Vina menunjuk Alan yang sedang berbincang dengan yang lain.
"Alan kerja di kantornya Pak Dio?" tanyaku penasaran. Pak Dio adalah pemilik acara ini. Beliau adalah direktur di tempat suamiku bekerja.
"Nggak, Li. Orang tuanya Alan saudaranya Pak Dio. Jadi, masih saudaralah. Makanya, kita semua kumpul di sini."
Tak lama kemudian, Alan berbalik dan melihat ke arah kami. Dia berjalan mendekat sambil sesekali menundukkan pandangan. Entah mengapa aku merasa gugup.
"Hai, Lily! Senang bertemu denganmu!" Alan mengulurkan tangannya. Ketika aku ingin meraih tangannya, tiba-tiba seseorang telah lebih dahulu menjabatnya.

Bình Luận Sách (587)

  • avatar
    Setyawati Setyawati

    Menarik

    5d

      0
  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼

    12d

      0
  • avatar
    Ferdonley Jasly

    is good

    27/04

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất