logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Bertemu Kakak

Tukijo terbangun oleh suara bel yang berbunyi tiga kali menandakan waktu pulang. Dia melirik jam dinding tertera pukul 13.00 WIB. Anak itu kaget dan langsung bangkit keluar UKS menuju kelasnya.
"Ah tidak, aku harus segera ke restoran!" gumam Tukijo sembari berlari tanpa menghiraukan siapapun.
Setelah sampai di kelas, dia menjumpai tas dan buku-bukunya berserakan di lantai dengan banyak cap sepatu. Tidak hanya itu, tempat duduk dan mejanya juga penuh dengan tulisan spidol, antara lain; 'ANAK MISKIN MATI SAJA', 'UDAH JELEK, MISKIN, HIDUP PULA', 'GOBLOK' dan 'TOLOL'.
Tukijo berjongkok membereskan tas dan buku-bukunya yang berserakan. Udin tiba-tiba muncul menyandarkan bahunya di ambang pintu kelas. "Ngenes banget nasib lo, Jo! Wkwk ...," ejeknya. Kemudian dia menghilang  seperti jaelangkung yang datang tidak diundang pergi pun tidak diantar.
Disaat Tukijo sedang membersihkan mejanya, dia melihat sebuah handphone jadul Nokia 1202 berada di laci meja Markonah. Karena handphone itu menyala dengan nada silent, Tukijo mengambilnya.
Di handphone itu tertulis nama 'My Love' sedang memanggil. Tidak lama kemudian, Markonah masuk ke kelas melihat Tukijo sedang memegang handphonenya. Tukijo dibuat kaget olehnya.
"Maaf, apa ini handphonemu?" tanya Tukijo sambil menyodorkan handphonenya. "Aku melihat handphone ini menyala di laci. Jadi aku mengambilnya."
"Iya, ini punyaku," jawab Markonah mengambil handphonenya.
"Tadi ada panggilan dari seseorang," timpal Tukijo.
Lalu Markonah segera mengecek ponselnya dan tersenyum. "Makasih ya Jo, Aku pulang dulu!" ucapnya beranjak pergi meninggalkan Tukijo.
Dalam hati Tukijo berkata, "Apakah yang menelpon adalah kekasihnya?" Pikirannya terbang mencari-cari suatu kejelasan.
"Ah, apa hubungannya denganku?" gumam Tukijo menggelengkan kepala membuang pikirannya jauh-jauh.
Setelah membersihkan tempat duduknya, Tukijo meninggalkan kelas menuju tempat parkir. Dia mengambil sepeda dan mengayunnya sampai Restoran Mas Agus yang terletak di Perempatan Mojing samping Toko Roti Sukesi.
Tanpa sengaja, Tukijo melihat Markonah masuk ke toko roti dengan seorang lelaki paruh baya. Dia mengernyitkan dahinya sembari bergumam, "Markonah? Sedang apa dia di sana?"
"Jo! Cepetan! Lagi rame nih ...," teriak Agus (pemilik restoran) memanggil Tukijo. Seketika pikiran Tukijo dibuyarkan oleh teriakan Agus.
"Iya ... iya Mas," Tukijo berlari memasuki restoran dan mengerjakan pekerjaannya.
"Mas ... mas!" panggil seorang wanita.
"Iya, Mba?" jawab Tukijo menghampiri wanita itu.
"Mi ayam ceker dua, dibungkus ya ...," pintanya.
"Siap Mba," timpal Tukijo.
Beberapa menit kemudian.
"Ini Mba." Tukijo menyodorkan dua porsi mie ayam ceker yang telah dibungkus.
"Terima kasih!"
__________
Pukul 17.30 WIB.
"Ini Jo!" Agus memberikan sebuah amplop. "Ini gajimu minggu ini."
"Wah! Makasih banyak Mas Agus ...." ucap Tukijo tersenyum lebar mengambil amplonya dan memasukkannya ke saku celana.
"Iya, sama-sama," balas Agus. "Eh, ngomong-ngomong kenapa mukamu babak belur begitu? Kayaknya kamu bukan tipe anak yang suka berantem."
"Anu Mas, em ini ... tadi ... jatuh dari tangga waktu di sekolah," jawab Tukijo tersendat-sendat. Dia lebih memilih berbohong daripada membuat orang lain khawatir.
"Owalah Jo ... Jo. Makanya lain kali hati-hati," tutur Agus.
"Iya Mas Agus," ujar Tukijo.
"Ya udah, sana pulang ... Simbahmu pasti nungguin," ucap Agus.
Tanpa Tukijo sadari, ada seseorang yang mengawasinya di seberang jalan.
Tukijo kembali mengayun sepeda ontelnya. Jarak antara Restoran Mas Agus dengan rumahnya sekitar 500 meter sedangkan jarak Restoran Mas Agus ke sekolahnya sekitar 2 km. Rasa sakit di tubuhnya hilang sesaat ketika dia mengayun sepedanya sambil membayangkan, ingin membelikan makanan enak untuk neneknya dengan uang gajinya.
Di pertigaan gang kecil dekat rumah, Tukijo dihadang oleh teman-temannya semasa SD.
"Berhenti!" bentak Ucup.
"Kenapa Cup?" tanya Tukijo menghentikan sepedanya.
"Serahin amplop yang ada di saku celana lo!" sela Soib.
"Amplop? Sebentar ...," Tukijo merogoh celanannya. Dia mengeluarkan uangnya dan hanya memberikan amplopnya saja. "Nih!"
"Buahahahaa ...." Mereka tertawa.
"Goblok!" bentak Soib menendang sepeda Tukijo.
Tukijo yang masih menaiki sepeda, terjatuh mengenai kerikil aspal. Tangannya sedikit berdarah tertindih setang.
"Ugh ...," Tukijo bangkit dan menyandarkan sepedanya ke pohon. Dia merasa geram dan menonjok muka Soib dengan kepalan tangan. Soib sedikit terhempas mundur.
Tiba-tiba Budi meraih rambut Tukijo ke depan, dan menendang perutnya dengan lutut. Lagi-lagi Tukijo jatuh ke aspal. Lukanya yang sempat membaik, sekarang bertambah karena goresan kerikil yang tajam. Dia terjatuh dalam posisi tengkurap. Ucup menginjak kepalanya sedangkan Soib menginjak badannya.
"Aaaaaaaaargh ...," jerit Tukijo kesakitan. Dia tidak sadarkan diri terkapar di jalan.
Kemudian Soib mengambil uang yang berada di saku celana Tukijo.
"Dapat Bro!" Soib menjabarkan uang sejumlah seratus lima puluh ribu rupiah.
"Mantap!" Ucup dan Budi mengacungkan jempol. Mereka bertiga pergi meninggalkan Tukijo begitu saja.
Hari menjelang malam, matahari sudah hampir menutup wajahnya. Namun, belum ada seorangpun yang melewati jalan dimana Tukijo pingsan.
"Ugh," Tukijo terbangun dan melihat sebuah mobil mewah berhenti di sampingnya. Keluar seorang wanita cantik elegan berambut panjang terurai, ditemani oleh bodyguard dan sopirnya.
Dia adalah Ningsih, wanita jenius yang berhasil mengembangkan perusahaan ayahnya sampai ke puncak. Rumor menyatakan bahwa dia telah membunuh ayahnya demi mendapatkan harta warisan, sehingga dia dicap sebagai wanita yang kejam.
Wanita itu membuka kacamata hitamnya seraya bertanya kepada sopirnya, "Benar, di sini?"
"Benar, Nona. Namanya adalah Tukijo," jawab Teguh (sopir Ningsih) sambil menunjukan foto pemuda itu di ponselnya.
Ningsih baru menyadari bahwa di depannya ada seorang pria yang terkapar di jalan, dia sedang berusaha untuk bangkit. Pria itu memakai seragam pramuka. Di sampingnya ada sepeda ontel yang disandarkan ke pohon dan tas sekolah di kranjang.
Kemudian Ningsih mendatangi pria itu, lalu berjongkok sambil mengulurkan tangannya. "Mau ku bantu?" tawar Ningsih.
Tukijo mendongakan kepalanya menatap wanita itu. Dia merasa wanita di depannya sangat familiar. Pada akhirnya dia meraih uluran tangan Ningsih, lalu berdiri dibantu olehnya.
Teguh yang masih memegang ponsel, melihat lelaki yang berada di depan majikannya sangat mirip dengan foto di ponselnya.
"Nona!" teriak Teguh menghampiri Ningsih. Dia memperlihatkan ponselnya. "Lihat Nona, dia sangat mirip dengannya."
Ningsih melihat ponsel Teguh sembari melirik Tukijo beberapa kali. "Apakah namamu Tukijo dan ibumu bernama Siti Hayati?" tanya Ningsih.
"Iya ...," jawab Tukijo. "Darimana wanita ini tahu namaku?" batinnya.
Tanpa pikir panjang Ningsih langsung memeluknya dan berkata, "Akhirnya aku menemukanmu."
"Aargh," rintih Tukijo merasakan sakit di sekujur tubuh.
"Ah, maaf ... maaf. Aku terlalu senang bisa bertemu denganmu," ucap Ningsih melepas pelukannya.
Tukijo berkata, "Bukankah Anda adalah wanita itu ..."
"Wanita itu siapa?" sela Ningsih cepat.
"Wanita yang wajahnya sering terpajang di surat kabar dan media masa. Menurut rumor, wanita itu telah membunuh ayahnya sendiri demi mendapat warisan," jelas Tukijo.
"Apakah kamu percaya dengan rumor itu?" tanya Ningsih.
"Entahlah, aku terlalu sibuk dengan masalahku," jawab Tukijo.
"Masalahmu ..." ucapan Ningsih terhenti. Dia memegang pipi Tukijo yang terlihat seperti hanya tulang yang dibalut kulit. 
"Ya ampun, ternyata kamu sangat kurus. Siapa yang menyiksamu sampai seperti ini?" tanya Ningsih melihat memar di wajah Tukijo.
"Maaf, kenapa Anda melakukan ini kepadaku? Aku bahkan tidak mengenalmu." Tukijo menepis tangan Ningsih.
"Kamu adalah adikku, apakah salah jika aku memelukmu dan memperhatikanmu?" Ningsih menarik nafas dan kembali berkata, "Aku melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Cilacap hanya untuk mencarimu, dan itu tidak mudah. Aku mencarimu dari setiap kecamatan ke kecamatan, desa ke desa, Rw ke Rw, Rt ke Rt, dari setiap jalan ke jalan, gang ke gang selama satu bulan dan akhirnya aku menemukanmu."
"What? Apakah Anda bercanda?" tanya Tukijo ragu.
Ningsih menyingkap rambut Tukijo ke belakang. Dia melihat wajahnya yang dekil, kusam dan penuh memar.
"Aku akan menjelaskannya nanti. Ayo pergi ke rumah sakit dan obati lukamu!" Ningsih menggenggam pergelangan tangan Tukijo dan menariknya ke mobil.
"Tunggu!" Tukijo menahannya. Dia merogoh saku celananya. "Tidaaaaak! Gajiku satu minggu, ludes sudah! Sialan!" Tukijo menggertakkan gigi dan mengepal kedua tangannya. "Lihat saja! aku akan menagihnya suatu saat nanti," gumam Tukijo.
"Apa yang terjadi?" tanya Ningsih.
"Ah, tak apa. Hanya saja, aku harus segera pulang. Simbah sedang menungguku, ia pasti mengkhawatirkanku."
"Kalau begitu, ayo kita pulang dan temui Nenek!" pinta Ningsih. "Teguh, kamu belikan obat untuknya!" Kemudian Ningsih memapah Tukijo berjalan ke rumah, sedangkan bodyguardnya yaitu Marno membawa sepeda Tukijo.
Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan tiang dari kayu. "Tukijo!" seru seorang nenek tua yang berdiri di depan rumah. Dia adalah nenek Tukijo, namanya Muhiroh.

Bình Luận Sách (437)

  • avatar
    WidyaningsihNi luh putu

    aku. bisa. mendapatkan. Damien. yang. sangat. banyak. sekali. dan. mendapatkan. daimen. 50000

    7d

      0
  • avatar
    AndaCantik

    bagus

    19d

      0
  • avatar
    FAIZ 08FZ

    bangus

    22d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất