logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 3, diantar pulang

Bismillah
     "SUAMI DARI ALAM LAIN"
#part_3
#by: R.D. Lestari.
  
     "Sudah siap semua?" Kak Bima menatap kami bergantian. Rena dan Sri salah tingkah, aku pun juga. Gimana ga salah tingkah gitu, ni orang gantengnya kebangetan. Bakalan terjadi perebutan di antara kami kayaknya.
     Kami mengangguk serentak. Perlahan mobil berjalan. Kami mulai melalui jalan tanah yang bergelomang dan berbatu. Sebenarnya dalam hati menyimpan keanehan. Bagaimana bisa di dalam hutan begini ada jalan yang cukup bagus seperti di daerah perkampungan. Walaupun di kanan kiri pepohonan tinggi dan lebat menjulang. Seingatku selama perjalanan menuju basecamp tak pernah melihat ada jalan.
   "Hei, ngapain ngelamun, In?" suara Sri membuyarkan lamunanku. Aku segera berpaling padanya.
   "Ah, nggak, Sri. Aku hanya menikmati pemandangan aja," bohongku.
    Beberapa kali kepalaku terantuk karena jalan yang di lalui kemungkinan melewati jalanan berbatu.
    "Aww!" tak sengaja mulut ini menjerit. Semua mata lansung tertuju padaku. Aku salah tingkah sambil memijat pelipis yang lumayan sakit.
   "Sabar, ya, In. Sebentar lagi kita ketemu jalan bagus. Kira-kira sepuluh menit lagi," ulas Kak Bima. Ia menatapku iba.
   "Sakit, ya?" Ia melirikku dari kaca, aku hanya mengulas senyum tipis sambil menggeleng pelan.
   Hatiku berdebar amat kencang mendapat perhatian darinya, wajahku pun bersemu merah . Sempat menatap wajah Rena yang berubah masam. Apa ia cemburu padaku?
   Benar kata Kak Bima, jalani yang kami lalui perlahan mulai mulus dan mobil pun melaju lebih kencang. Pepohonan lebat mulai memasuki perkampungan rumah penduduk.
    Rena dan Sri tak henti mencari perhatian dengan cara mengajak berbincang Kak Bima terus menerus, hingga kulihat lelaki itu mulai jengah dan banyak diam. Hanya anggukan sebagai responnya.
    Aku sama sekali tak tertarik dengan obrolan mereka dan lebih memilih melihat pemandangan yang di lewati. Rumah-rumah penduduk di sini adalah rumah berbentuk panggung dengan ciri atap yang sama dan bermaterialkan kayu.
   Walaupun terbuat dari kayu tapi rumah di sini tertata rapi dan nampak amat kokoh. Halaman nya pun asri dan bersih. Amat nyaman.
   Padahal letaknya tak jauh dari hutan malah sepertinya berada masih dipinggiran hutan,tetapi yang aku herankan penduduk di sini punya mobil dan motor yang bagus. Sepertinya keluaran terbaru.
    Sepanjang perjalanan pun tak nampak satu orangpun berada diluar . Padahal matahari sudah menampakkan diri dan sinarnya mulai terik.
   Detik berikutnya mobil mulai memasuki jalan aspal yang amat mulus. Pemandangan kanan dan kiri kembali ke pepohonan lebat dan tinggi menjulang. Aku menikmati pemandangan ini dan mencoba bertanya dalam hati. Dimanakah sebenarnya kami? karena seumur hidup baru kali ini melewati jalan yang kanan kirinya hanya nampak pepohonan. Tak ada rumah satupun terlihat.
    Kira-kira tiga puluh menit perjalanan, barulah kami melihat ada satu dua rumah di sisi kanan dan kiri jalan. Namun, herannya sedari tadi aku tak melihat satupun kendaraan yang lewat kecuali mobil punya Kak Bima ini.
    Satu jam perjalanan kami memasuki jembatan yang lumayan panjang, sekitar sepuluh menit kami akhirnya sampai di ujung jembatan dan inilah kali pertama kami bisa melihat hilir mudik kendaraan dan aktifitas orang-orang di sekitar. Hatiku mulai merasa lega. Dan jalan ini sepertinya sama dengan jalan yang kami lewati sebelum masuk hutan. Tapi, aku merasa dulu tak selama ini perjalanannya.
     Sekitar tiga puluh menit akhirnya kami sampai di depan kampus. Kak Bima akhirnya berpamitan setelah kami turun dari mobilnya. Ia sempat mengulas senyum yang teramat manis hingga wajahnya tampak semakin tampan.
    Ia mengangguk dan mobilnya berjalan begitu kencang hingga dalam hitungan detik sudah tak nampak dari pandangan.
***
    "Indri! kamu kemana saja, Nak?" Ibu meraung sembari memeluk erat tubuhku.
     Bapak dan Kakek menuntunku masuk kedalam rumah begitupun dengan Ibu. Ibu tak henti melepas pelukannya.
     Aku dengan lugas menceritakan dengan detail semua kejadian yang aku dan kedua temanku alami selama kami berada di dalam hutan. Dan juga penyebab kami bisa tersesat disana.
   Bapak, Ibu dan Kakek mendengarkan dengan seksama. Hingga ku jelaskan berapa hari kami tersesat dan di tolong oleh sekelompok tentara yang berperawakan seperti orang asing.
    "Tiga hari kami tersesat, dua hari kami menginap di basecamp tentara," ungkapku di akhir cerita.
     "Jadi, maksudmu lima hari, Nak," Bapak menatapku tak percaya.
   "Iya, Pak. Sekitar lima harian lah, Pak," aku menjawab sejujur-jujurnya.
   "Tapi, kamu hilang hampir sebulan, Nak!" tukas Bapak dengan wajah yang tegang.
     "Sebulan? aku hilang
 
    "Sebulan? aku hilang sebulan?"
    "Ya, Nak. Ibu, Bapak, Kakek, Paman dan semua keluarga sudah putus asa mencarimu. Bapak mengadakan tahlilan tujuh hari karena Bapak kira kamu sudah tiada," jelas Bapak.
   "Ya Allah, Nduk--Nduk," Ibu tak henti mengusap pipiku dengan tangannya yang kulitnya mulai mengeriput. Terisak tak henti.
   Tak menunggu lama ruangan rumah sudah sesak oleh kerumunan orang. Mereka semua berbondong-bondong menuju rumahku karena tak percaya jika aku sekarang pulang dengan selamat sampai rumah.
   Ada pula yang mengira jika aku ini arwah yang gentayangan. Pantas sewaktu perjalanan pulang ketika aku berjalan, banyak orang yang melihat lari tunggang-langgang. Berarti mereka mengira jika aku ini hantu?
   "Kamu beneran Indri, tah?" seseorang berkulit hitam dengan memakai peci mengintrogasiku, aku kenal jika itu adalah kepala desa kami, Pak Mukmin.
   "Ya, Pak. Saya benar Indri," aku mengangguk guna memastikannya. Ia tampak sedikit ragu.
   "Iya, Pak. Ini benar anak saya," timpal Ibu.
   "Alhamdulillah, apapun yang terjadi dengan Nak Indri, kita jadikan sebagai pelajaran dan tetap hati-hati di manapun berada,"
   "Sekarang kita bubar, biarkan Nak Indri istirahat ," Pak Mukmin memberi perintah. Tangannya mengibas menyuruh semua orang pulang. Aku sedikit bernapas lega. Sesak dengan kerumunan dan banyaknya pertanyaan.
   "Nak, ayo makan.Ibu masak enak untukmu," Ibu menarik tanganku menuju ruang makan. Aku makan dengan lahap. Ibu tak henti memandangiku, ya, aku tahu Ibu takut kehilanganku kembali. Dan aku bersyukur bisa kembali pulang dengan selamat sampai kepangkuan Ibu.
***
    Bukan cuma di kampungku saja yang heboh dengan kepulanganku, sekampus pun heboh dengan kedatangan kami bertiga. Mereka menganggap kami hantu. Seketika cerita kami menjadi tranding dan viral di semua berita.
    Jadi selebriti dadakan, istilahnya. Bukannya senang, aku malah teramat risih mendapat banyak pertanyaan.
    Sri tampak sumringah dengan keadaan kami sekarang, tapi aku melihat gelagat aneh pada diri Rena. Entah kenapa Rena seperti dalam keadaan tertekan dan ketakutan.
   "Ren ... kamu kenapa?" aku berusaha menyelidiki sikap Rena yang berubah menjadi pendiam dan matanya selalu menyorot ketakutan.
    "In ... tolong aku, In...," ia menjawab dengan bibir gemetar.
    "Kamu kenapa?" aku bertambah khawatir ketika Rena menatap ke arah seberang kampus dengan tajam. Tubuhnya mendadak dingin. Ia meremas tanganku kuat.
    "Sri! sini!" aku memanggil Sri yang masih sibuk menjawab pertanyaan beberapa wartawan di halaman kampus. Diantara kami memang Sri yang pandai berkomunikasi dengan orang banyak.
     Sri menatapku heran. Namun, seketika ia menghentikan wawancaranya dan berlari ke arahku dengan tatapan panik.
    "Rena kenapa, in?" Sri menatap kami dengan panik.
      Aku hanya bisa menangis melihat Rena yang tak merespon ucapan kami. Tatapannya kosong. Dan ...
      Tiba-tiba Rena kejang. Tubuhnya bergetar hebat. Mata nya melotot ke atas hingga putih semua. Mulutnya menganga.
     Aku panik, begitu juga Sri. Semua orang panik hingga berbondong-bondong membawa Rena ke klinik kampus.
    "Ini sepertinya bukan penyakit biasa," seseorang nyeletuk. Ku pandangi seseorang itu, seorang lelaki bertubuh tinggi. Ia kak Firman, Kakak tingkat kami. Ia berjalan mendekati kami.
    "Maksud Kak Firman , apa?" sahutku.
    "Dia kemungkinan di ganggu makhluk halus,"  pemuda itu mengerutkan dahinya dan menatap  Rena sekilas.
    "Lebih baik kalian segera panggil orang tua dan keluarganya jika tak mau berakibat fatal pada dirinya," tukasnya.
    "Sri! cepat telpon keluarga Rena, biar aku urus Rena!" seruku.
     Sri dengan berderai airmata menjauh dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ia mencari ruang yang lebih lapang agar bisa bercerita dengan keluarga Rena dan segera membawa Rena pulang.
     Tubuh Rena menjadi kaku dan panas. Aku semakin panik ketika mata Rena tiba-tiba terpejam. Sebenarnya apa yang terjadi pada Rena?
***
    Tak berselang lama , keluarga Rena datang dengan raut muka cemas. Ibunya tak henti meraung memeluk Rena. Rena di gendong dan segera di bawa pulang. Tubuhnya masih kaku dan juga panas.
   Aku dan Sri tak di bolehkan untuk ikut. Kami melangkah mundur ketika sorot mata tajam keluarganya tertuju pada kami. Seolah kamilah biang penyakit yang diderita Rena.
***
     "Sri, kabari jika terjadi hal yang penting soal keadaan Rena. Aku harus segera pulang, tubuhku amat lelah," ujarku.
     "Iya, In. Aku juga mau pulang. Nanti aku kabari,ya," ia menjawab dengan menganggukkan kepalanya .
    "Oia, Sri. Ini apa ada hubungannya dengan kepergian kita ke gedung di hutan itu? kenapa aku tak merasa ada yang aneh? aku biasa saja ," kupandangi wajah Sri.
     "Aku juga, In, biasa saja," tegasnya.
    "Apa kita masuk ke alam lain, ya?  kok bisa kita hilang selama sebulan?" ungkapku bingung.
     "Ah, entahlah In, aku tak mau memikirkannya . Yang penting kita sekarang selamat," Sri melambaikan tangannya dan berlalu pergi.
    Aku tersenyum getir. Sri bisa setenang itu? padahal keadaan kami tidaklah baik-baik saja. Keadaan Rena pasti ada kaitannya dengan kejadian saat kami hilang. Aku yakin itu.
***
     Aku menjatuhkan tubuhku keras di atas kasur. Lelah yang tak terhingga menjalari tubuhku. Mataku amat mengantuk dan tak lama kurasakan lelah itu menggerogoti tubuh dan membuat mataku menjadi amat berat. Tak lama aku pun tertidur.
    "Dimana aku?" lidahku berdecak kagum melihat hamparan rumput hijau dengan taburan bunga beraneka warna. Wangi bunga semerbak memanjakan indra penciuman. Di atas, langit berwarna jingga seolah menambah keindahan alam. Benar-benar indah . Apakah sekarang aku berada di surga?
     "In ... Indri ," aku menoleh ketika seseorang memanggil namaku. Seseorang itu ternyata ...
***

Bình Luận Sách (200)

  • avatar
    Gustriana

    cerita nya bagus

    05/07

      0
  • avatar
    MontokDurian

    ag suka sangat menyenangkan

    11/05

      0
  • avatar
    Satria Dewi Zllu Ada

    Benar2 bagus..jadi ngehalu pengen sangat pengen brtemu dengan pemuda uwentira😍

    04/04

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất