logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Kamar Nomor 13

Kamar Nomor 13

Putri Soejitno


BAB 1 Tamat SMK

Matahari bersinar terik, tepat berada di atas kepala. Panasnya serasa membakar kulit, teramat menyengat. Arin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul 12:05, berjalan pelan menyusuri jalan dengan menenteng map berisi surat lamaran pekerjaan. Sudah berapa kali dia keluar masuk perusahaan dan menemukan tulisan ‘Tidak ada Lowongan.” Sesekali dia menyeka buliran keringat yang menetes dari dahinya. Seperti putus asa kemudian berhenti sejenak di sebuah warung. Rumah berlantai 3 bercat putih nampak berdiri megah di seberang jalan .
Rumah itu terlihat begitu mewah, dikelilingi pagar setinggi 2,25 meter dengan ornamen klasik terbuat dari ukiran kayu jati. Persis di depan pintu gerbang berdiri dua buah pos Security yang siap menghadang siapa saja yang ingin bertamu ke pemilik rumah. Sebuah tempat yang penuh privasi jelas terpampang di depan Arin.
‘’Bu beli air mineralnya satu,yang 600 mililiter’’katanya kepada pemilik warung.
‘’Ya Neng.’’kata pemilik warung ramah , tak lama kemudian mengambil sebotol air mineral dan menyerahkannya ke Arin.
‘’Ini neng lima ribu rupiah.’’katanya lebih lanjut.
Arin mengangsurkan uang sepuluh ribuan, menunggu kembalian dan menerima sebotol air mineral yang dipesannya.
Sejenak kemudian dia masuk ke emperan warung seraya meminta izin kepada pemilik untuk istirahat sejenak.
Bismillahirrahmanirrahim... .
Glek glek glek.. diminumnya air mineral itu hingga terasa segar kerongkongannya.
Sejurus kemudian dia menghela nafas, pelan.
Warung terlihat sepi, hingga dia leluasa untuk sekedar berbincang sembari melepas lelahnya.
‘’Itu rumah siapa Bu?’’tanya Arin kepada pemilik warung seraya menunjuk rumah megah di sebelahnya.
‘’Oh itu milik Tuan Acung Neng, pengusaha terkaya di kota ini.’’jawabnya.
‘’Neng orang baru ya di daerah sini?’’tanyanya lebih lanjut.
‘’Panggil saya Mpok Maryam.’’ katanya sambil mengulurkan tangan mengajaknya berkenalan.
‘’Aku Arin, Mpok.’’jawabnya menjabat erat tangannya sembari tersenyum ramah.
Ada secercah harapan di hatinya manakala dari percakapan dengan pemilik warung diketahui kalau di perusahaan itu sedang membutuhkan karyawan bagian administrasi.
‘’Saya akan mencoba mendaftar di sana Mpok.’’ucap Arin penuh semangat kepada pemilik warung yang diketahui belakangan bernama Mpok Maryam.
Perempuan paruh baya yang ditaksir berusia sekitar 25 tahun namun nampak begitu dewasa dari umurnya memberinya semangat. Bahkan dia akan berusaha membantu dengan menanyakannya ke mang Diman teman baiknya. Mang Diman sopir pribadi keluarga Acung yang sudah begitu setia mengabdi bertahun- tahun, dari selepas SMA nya.
‘’Yaaa dicoba saja Neng, siapa tahu jadi rezekinya Eneng, tapi....’’dengan tiba-tiba Mpok Maryam menghentikan ucapannya.
“Tapi kenapa Mpok?’’tanya Arin penasaran.
‘’Aaah tidak kenapa-kenapa Neng.’’kata Mpok Maryam seperti berusaha meralat ucapannya.
‘’Neng benar ada niatan mau kerja di sana? Biar itu surat lamarannya tinggal saja di sini, besok pagi balik lagi ke sini ngadep langsung ke Tuan Acung soalnya tadi Mpok lihat dia pergi pakai mobilnya yang disopiri Mang Diman.
‘’O gitu ya Mpok? Ya sudah saya pamit ya Mpok.
‘’Besok Insyaa Allah pagi-pagi saya balik lagi ke sini, terima kasih sebelumnya ya Mpok.’’pamit Arin sejurus kemudian.
#######
Arin beranjak dari warung Mpok Maryam, berjalan pelan mencari angkot yang bisa digunakan untuk pulang ke rumah bibinya.
Setelah menunggu beberapa saat, nampaklah angkot berwarna oren terang melaju pelan ke arahnya. Arin melambaikan tangan
‘’Sukadamai Neng?’’ tanya kernet angkot yang dijawab anggukan kepalanya.
Sopir menghentikan angkotnya tepat di sampingnya, Arin kemudian duduk di sebelah penumpang dua orang ibu-ibu yang terlihat seperti asyik bercakap-cakap tentang sesuatu.
‘”Eeeh kasihan si Ndun ya Mpok, padahal sebentar lagi mau menikah loo..ternyata tragis gitu nasibnya yaa..’’kata si Ibu berbaju merah menyala , bergincu selaras dengan warna bajunya.
‘’Iyyaaa..yang kudengar sich karena dia kena jantungnya, kaget lihat penampakan hantu di rumah tuan Acung.’’jawab lirih orang yang kemungkinan besar adalah temannya.
Deeeg.. Jantung Arin serasa copot mendengar perbincangan dua orang tersebut. Dia sepertinya tidak asing dengan nama tuan Acung yang tadi jadi topik pembicaraan hangat oleh dua orang ibu itu.
‘’Jangan-jangan orang yang sama yang tadi aku dengar dari Mpok Maryam?’’batin Arin.
Sebetulnya dia ingin sekali mendengar lebih jauh obrolan dua orang itu tapi sejurus kemudian beberapa meter di depannya sudah terlihat jalan setapak menuju rumah bibinya.
‘’Kiri –kiri-kiri, Bang.’’ teriaknya keras.
Ciiit...angkot itu tepat berhenti di depan gang yang dimaksud Arin. Benar-benar sudah lihai sopir angkot itu kelihatannya, begitu tepat dia menghentikan angkotnya sesuai yang diminta penumpangnya.
‘’Terima kasih Bang, ini ongkosnya.’’kata Arin sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan dan menerima kembalian dua ribu rupiah dari kernet.
‘’Hati-hati Neng.’’kata kernet yang disambut anggukan dan senyum ramah oleh Arin.
Turun dari angkot Arin masih harus berjalan sekitar satu koma satu kilometer menuju rumah bibinya.
‘’Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.’’ucapnya sesampainya di depan pintu rumah.
‘’Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.’’jawab bibinya yang terlihat sedang duduk melepas lelah di depan teras.
‘’Baru pulang Rin?’’tanyanya ramah.
‘’Iya Bi, maaf ya..agak kesiangan.’’jawab Arin setelah diketahui jarum jam di dinding rumah sudah menunjuk ke angka 13:15.
‘’Belum salat Duhur kan? Buruan gih salat dulu terus makan siang. Jangan sampai telat makan, takut mag.’’kata bibinya lebih lanjut.
‘’Ya Bi.’’jawabnya gegas masuk rumah, menuju ke kamar mandi mengambil wudu dan menunaikan kewajiban 4 rakaatnya,.
Beberapa saat kemudian Arin terlihat menikmati hidangan makan siang yang sudah ada di meja makan. Dia sangat bersyukur, meski hanya berstatus kemenakan ipar dari bibi Isah namun dia diperlakukan sangat baik bak anak sendiri olehnya.Suami bibinya adalah adik dari ibu kandung Arin.
Setelah meninggalnya ayah Arin satu tahunan yang lalu bertepatan dengan kelulusan Arin dari sekolahnya, bibi dan paman memintanya untuk hidup di kota bersamanya. Ibu Arin yang bekerja sebagai pedagang kecil di desanya tidak mampu membiayainya kuliah. Apalagi setelah meninggal suaminya, praktis tanggung jawab membesarkan dan menyekolahkan dua adiknya ada di pundaknya.
Arin sebagai anak tertua merasa tersentuh dan merasa ingin segera membantu perekonomian keluarganya. Atas seijin ibunya pula pada akhirnya dia memilih tinggal di kota bersama paman dan bibinya. Meski berat meninggalkan ibu dan adik-adiknya tapi tekadnya sudah bulat, demi masa depan adik-adiknya dia rela berjuang sekuat kemampuannya.
Dua adik laki-laki Arin kembar, bersekolah di SMP kelas dua. Praktis begitu membutuhkan biaya yang besar karena bersekolah di waktu yang bersamaan.
Meski berumur belasan tahun namun terlihat begitu dewasa dia. Tinggi semampai dengan kulit putih berwajah khas desa menjadikan Arin Eka Pertiwi kembang desa dan menjadi incaran para pemuda bahkan duda beranak sekalipun. Tapi Arin tetap tak bergeming pada pendirian yang diyakininya.
Arin memilih mencari pekerjaan ke kota, tinggal bersama bibi dan pamannya yang memiliki satu anak yang sudah beranjak remaja pula sepertinya.
#####
Selesai makan siang dan membereskan meja makan, Arin membuka pintu beranjak masuk ke kamar dan menutup kembali pintu kamarnya. Duduk di tepian ranjang.
Tiba-tiba,
Cekleeek...pintu terbuka selebaran muka , terlihat bibinya melongok ke dalamnya.
‘’Rin, boleh bibi masuk?’’ izinnya ke Arin.
Meski itu rumah milik bibinya, namun beliau begitu menjaga privasi Arin. Bibi tidak akan sembarangan keluar masuk kamar tanpa seizinnya, Benar-benar baik hati perlakuan bibi Isah kepadanya.
‘’Masuk saja, Bi...silakan.’’jawab Arin mempersilakan bibinya masuk.
Menjejeri Arin duduk di tepian ranjang sembari bertanya
‘’Bibi perhatikan hampir tiap hari kamu pergi pagi pulang siang, Rin...apa ngga capai? tanyanya penuh kasih.
“Maafkan Arin ya Bi, sudah bikin bibi kepikiran.’’jawab Arin sembari tersenyum.
‘’Arin Cuma ingin segera bekerja Bi, kebetulan tadi ada orang yang bilang kalau tuan Acung sedang butuh karyawan bagian administrasi. Mudah-mudahan pas sama ijazahku yang jurusan Administrasi perkantoran di SMK.’’terangnya.
Bibi Isah mengerutkan dahi, seperti berpikir keras.
‘’Tuan Acung pemilik bisnis kerajinan karet di ujung daerah Merawai sana apa?’’ tanya bi Isah sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah utara.
‘’Iya itu Bi,..yang terkenal sangat kaya raya itu.’’jawab Arin lebih lanjut.
‘’Yakin kamu mau kerja di sana Rin?’’tanya bi Isah lebih lanjut.
Kabarnya setiap karyawannya harus menginap di mess yang memang sengaja disediakan.
Karyawannya banyak, sekitar ratusan. Bagian produksi sebagian besar adalah laki-laki karena pekerjaannya yang berat cenderung membutuhkan tenaga berlebih.
Untuk bagian administrasi dan pemasaran onlene dilakukan oleh perempuan yang jumlahnya puluhan.
Mereka diharuskan menginap di mess yang disediakan, karena sistem bekerjanya yang berupa sift-sift’an. Pagi dari 07:30 sampai dengan pukul 15.00,, berlanjut sift kedua dari pukul 15:30 sampai dengan pukul 22:00 Sebagian besar karyawan berasal dari luar kota, atau setidaknya luar wilayah Merawai. Entah mengapa Tuan Acung lebih suka memilih karyawan yang bukan satu daerah dengannya. Sepertinya ada rahasia yang tak terkuak dibalik bisnis yang dijalaninya.
Pada masa krisis ekonomi di era 1998n, di mana kala itu banyak perusahaan yang gulung tikar dalam kebangkrutan, perusahaan tuan Acung justru mengalami kejayaan yang sungguh luar biasa. Dalam sekejap dia bisa beli rumah, tanah, bangunan, kendaraan tanpa henti, hingga kekayaannya serasa tidak ada yang menandinginya.
Orang-orang di sekitar Merawai seperti tidak ada satupun yang berani membicarakannya. Hanya dari kasak-kusuk yang sering terdengar namun hingga detik ini belum ada satupun yang berhasil menguaknya, tuan Acung memelihara jin yang membantunya memperlancar bisnisnya. Tapi entahlah, karena kabar itu sedikit demi sedikit tertelan kesibukan masing-masing mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka pada akhirnya cenderung tidak peduli pada apa yang dilakukan tuan Acung untuk memperkaya dirinya. Yang terpenting menurut mereka, dia tidak merugikan orang-orang sekitar Merawai, cukuplah.
Bibi Isah berusaha mengetahui kemantapan hati kemenakannya untuk bekerja di perusahaan tuan Acung. Di lubuk hatinya yang terdalam dia tidak ingin Arin menjadi korban seperti yang pernah didengarnya tentang peristiwa meninggalnya si Ndun tetangga desanya.
Tapi sepertinya tekad Arin teramat bulat. Dia hanya meminta bibi dan pamannya mendoakannya biar semuanya lancar dan tidak ada halangan apapun.Arin hanya berharap dia bisa diterima bekerja di perusahaan tuan Acung agar bisa segera membantu ibunya di desa dan setidaknya bisa membantu ekonomi bibinya sebagai ucapan terima kasih telah menampung, memberikan tempat berteduh bahkan makan gratis sehari tiga kali selama ini.
*******

Bình Luận Sách (147)

  • avatar
    AzisAbdul

    wow

    8d

      0
  • avatar
    FauziahNada

    menarik

    03/08

      0
  • avatar
    Ayam RacerKentut

    woow

    28/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất