logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

EPISODE 24

Markas Besar Polisi, Ruang Rapat
“Malam ini, tepat tengah malam, kita akan melakukan penyergapan ke markas Ghost Shadow,” ucap komandan.
“Dua ratus anggota diturunkan dalam misi ini. Kita bagi menjadi tiga tim. Pertama adalah Tim Alpha, berjumlah tiga puluh orang yang dipecah menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah sepuluh orang untuk melakukan attack. Total ada tiga kelompok yang melakukan attack. Kedua, Tim Bravo berjumlah lima puluh orang yang akan masuk untuk mem-back up Tim Alpha. Kita sterilkan dahulu bagian depan, setelah itu, perlahan Tim Bravo mulai merangsak masuk seperti langkah pertama. Ketiga, Tim Delta akan berada di bagian luar, mensterilkan setiap ruangan yang dilalui kelompok Alpha dan Bravo, serta menghalau
serangan dari luar jika terjadi. Jika hal terburuk terjadi, maka Tim Delta akan maju memberikan bantuan. Bisa dimengerti?”
“Siap, mengerti.” Semua anggota serentak menjawab, kecuali Mayang yang tampak melamun.
“Mayang,” panggil sang komandan.
Mayang tak merespons panggilan itu.
“Mayang!” bentak Komandan Ali.
Mayang terkaget, sadar dari lamunan.
“I-iya, siap, Komandan” jawab Mayang gugup.
“Ini misi besar. Jangan pernah lagi melamun saat rapat,” kata sang komandan marah.
“Siap, Pak.”
Markas Ghost Shadow
Puluhan ton sabu-sabu siap didistribusikan ke Thailand dengan menggunakan truk kontainer. Badra mengamati proses pengemasan untuk memastikan barangnya aman dari pemeriksaan. Seluruh sabu-sabu ditanam di kotak-kotak berisi rempah-rempah. Selama bertahun-tahun, cara tersebut belum pernah terdeteksi. Sebagai salah satu pemasok rempah-rempah terbesar,PT milik Luis Group ini bisa dengan mudah mendistribusikan barang haram itu tanpa dicurigai.

“Bagaimana?” tanya Dazo pada Badra.

“Aman, siap untuk didistribusikan,” jawab Badra.
Polisi sudah dalam perjalanan menuju markas Ghost Shadow. Mayang yang ikut dalam operasi itu bersama Tim Alpha tampak risau. Sulit baginya harus berhadapan dengan kakaknya di situasi hidup dan mati. Sesekali Mayang membuka kalung liontin berisi foto ayah dan ibunya. Dipandangnya foto itu.
'Aku sudah menemukan Kak Badra, Mak, Bapak' batin Mayang dengan mata berkaca-kaca.
'Maafkan Fefi kalau tak bisa membawa Kak Badra dalam kondisi baik. Air mata Mayang jatuh perlahan.'
Raka menggenggam tangan Mayang.
“Aku akan berusaha membawanya hidup-hidup,” ucap Raka.
Mayang tersenyum memandang Raka. Namun, tetap saja batinnya terus bergejolak. Tak ada yang benar-benar pasti di dunia ini kecuali kematian. Ia sudah merelakan semuanya jika harus kehilangan kakaknya atau justru dia yang harus pergi untuk selamanya.
“Aku sudah merelakannya,” kata Mayang tersenyum, tetapi dengan air mata yang mengucur.
“Hidup sering kali tak sejalan. Meski berat, aku harus bisa menerimanya” ucap Mayang.

Raka tersenyum.

“Aku akan mengupayakan yang terbaik. Tuhan tidak melarang untuk berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?” ucap Raka tersenyum.
Mayang memandang Raka.
“Kita sudah berada di radius satu kilometer. Persiapkan senjata kalian,” kata Komandan Ali menginstruksikan melalui handy talky (HT).
Sementara itu, di markas Ghost Shadow, truk-truk kontainer perlahan mulai keluar gudang satu per satu. Ada lima truk yang akan beroperasi malam ini menuju pelabuhan. Ratusan polisi sudah bersiap di posisinya.
“Turun! Angkat tangan!” Polisi menodongkan pistol ke arah truk.
“Jalan kemari, tetap mengangkat tangan!”
Para sopir itu keluar dari truk,berjalan menuju kumpulan polisi. Satu per satu dari mereka diborgol dan dimasukan ke dalam mobil tahanan.Tim Alpha mulai bergerak masuk. Pabrik utama tampak kosong dan lengang sehingga Tim Delta bisa langsung mensterilkan lokasi.
Tim Alpha yang dipimpin oleh Raka langsung merangsak menuju gedung kantor utama diikuti Tim Bravo. Mayang juga berada di garda depan bersama Raka.

“Kita kedatangan tamu,” kata Badra sembari mengamati CCTV.

“Berapa jumlahnya?” tanya Dazo.
“Lebih banyak dari yang kita duga,” jawab Badra.
“Habisi mereka.”
Belum sampai di gedung utama, Tim Alpha sudah mendapat sambutan. Hujan tembakan datang dari arah gedung utama. Beberapa anggota terkena tembakan. Tim Alpha membalas serangan dari balik kontainer-kontainer yang berjejer di depan gedung. Baku tembak tak terelakan. Beberapa anggota polisi meninggal dalam serangan itu. Tim Bravo maju untuk membantu. Pertempuran berlangsung cukup lama hingga akhirnya lapis pertama gedung utama berhasil dilumpuhkan Tim Alpha.
Tim Alpha kembali masuk lebih dalam. Sementara itu Tim Delta mulai mensterilkan lokasi awal penyerangan. Tim Alpha melanjutkan menyusuri setiap bagian di lantai satu. Beberapa penyerangan kembali diterima Tim Alpha. Dengan cepat serangan itu bisa langsung dilumpuhkan. Colt M4 menjadi salah satu senjata andalan dalam operasi ini. M4 dan M4A1 menggunakan peluru kaliber 5,56 x 45 mm NATO. Keduanya adalah senapan selective-fire, yang menggunakan sistem gas, air-cooled, memakai magazen box, dan mempunyai popor teleskopik. Sangat ampuh
untuk melumpuhkan musuh.

“Lantai satu clear,” ucap Raka pada anggota yang lain melalui telepon radio.
“Tetap fokus. Tim Alpha bersiap maju.”
“Mereka sudah menguasai lantai satu.”
Jeki mulai panik. Di ruang utama, ada Dazo, Badra, dan Jeki.
“Ayo kita lakukan peperangan di lantai satu.” Badra menekan sebuah tombol.
Seketika beberapa sektor di lantai satu mengalami ledakan tepat dititik di mana Tim Alpha berdiri. Banyak anggota yang tewas terkena ledakan. Raka yang sempat terkena ledakan terpental sejauh sepuluh meter. Sementara Mayang tak sadarkan diri setelah terpental dan membentur dinding. Tubuhnya tergeletak tak jauh dari Raka yang masih meringis kesakitan. Raka merangkak menghampiri tubuh Mayang yang tak sadarkan diri.
Situasi di lantai satu kacau. Beberapa personil dari Tim Bravo yang datang membantu juga harus terkena ledakan. Peledak dijatuhkan melalui langit-langit ruangan yang telah didesain sedemikian rupa.
“Bagaimana situasinya?” tanya Dazo.
“Cukup menyedihkan untuk mereka,” ucap Badra.
Komandan yang berada di luar semakin geram.
“Apa yang terjadi!?” Komandan Ali menghubungi anggotanya yang berada di dalam.

“Situasi kacau. Banyak anggota yang tewas” Raka menjawab dengan napas yang terengah-engah.
Dengan susah payah Raka menggapai tubuh Mayang, mengcek denyut nadinya. Ia bisa sedikit lega karena Mayang masih menunjukkan tanda- tanda kehidupan. Ia menepuk-nepuk pipinya berulang kali, berharap dapat menyadarkannya. Setelah beberapa kali tepukan, Mayang pun tersadar.
“Kau baik-baik saja?” tanya Raka.
“Ya. Hanya sedikit pusing,” jawab Mayang mengambil posisi duduk sambil memegangi kepalanya.
Di tengah situasi yang cukup kacau, tiba-tiba anggota polisi dikejutkan dengan berondongan tembakan dari balik kobaran api. Korban semakin banyak. Beberapa polisi yang mencoba mendekat justru terjatuh ke dalam lantai sedalam 2 meter berukuran 4 x 4 meter yang mendadak terbuka. Mereka yang terjatuh langsung tewas di tempat tertusuk besi-besi tajam menjulang yang sengaja dibuat untuk jebakan.
“Kita digempur. Jangan gegabah untuk masuk, banyak jebakan.” Raka menginstruksikan anggota yang masih berada di luar.
“Apa rencana kita?” tanya Mayang.
“Aku akan naik.”

“Aku ikut” Mayang menggapai tangan Raka yang bersiap melanjutkan penyerangan.
“Kau masih terluka.”
“Aku baik-baik saja,” kata Mayang meyakinkan.
Raka dan Mayang maju menyusuri lorong, mengendap perlahan, menenteng Colt M4. Beberapa CCTV ditembak untuk menghindari pemantauan. Setelah berjalan sekitar 200 meter, Raka berhenti di samping ruang elektrik.
“Tunggu di sini. Siapkan kacamata inframerahmu,” ucap Raka.
Raka masuk ruang elektrik, bergegas mencari sakelar utama. Mayang berjaga di luar dengan posisi siap siaga. Kondisi ruang elektrik sangat minim penerangan, berbekal senter pada helm, Raka menyusuri ruang tersebut. Tak lama kemudian ia berhasil menemukan sakelar utama.
“Bagus. Aku menemukannya,” ucap Raka.
Raka tak langsung mematikan aliran listriknya, ia terlebih dahulu memberi tahu rekan-rekannya.
“Masuk. Kepada seluruh personel, persiapkan kacamata inframerah kalian. Sebentar lagi aku akan mematikan seluruh listrik di gedung ini. Aku akan
mematikan dalam hitungan ketiga. Bersiaplah. Satu, dua, tiga."

Jegleg.

Tepat di hitungan ketiga, seluruh listrik padam, keadaan berubah gelap, semua kelistrikan tak berfungsi.
“Sial! Aku tak memikirkan ini sebelumnya” ucap Badra kesal.
“Apa yang bisa kita lakukan sekarang?” tanya Jeki panik.
“Apakah ada kemungkinan kita bisa menang?” tanya Dazo.
“Kita masih punya banyak orang di lantai dua. Hanya saja kondisi sangat gelap. Kemungkinan besar mereka akan kalah. Satu-satunya jalan adalah pergi secepatnya dari sini dan ledakan gedung ini,” kata Badra.
“Apakah itu satu-satunya jalan keluar?” Dazo memastikan.
“Tak ada cara lain. Untuk membunuh tikus yang menguasai lumbung, kita harus membakar lumbung tersebut.”
“Kau yakin mau menghancurkan gedung ini?” tanya Jeki.
Badra mengangguk.
“Ayo kita lakukan,” ucap Dazo mantap.
“Jeki. Hidupkan listrik darurat. Kita akan menggunakan jalan pintas,” kata Badra.
Di markas lantai tiga sudah tersedia sebuah lift darurat yang langsung terkoneksi ke ruang bawah tanah. Lift tersebut tak terkoneksi dengan ruangan lain, hanya dapat diakses melalui lantai tiga, di ruang inti dan ruang bawah tanah. Badra, Dazo, dan Jeki masuk ke dalam lift darurat, bersiap untuk pergi. Sementara itu di lantai dua, polisi tengah terlibat baku tembak dengan anggota Ghost Shadow.
Lift sudah membawa mereka ke ruang bawah tanah. Ruangan tersebut terkoneksi dengan gudang penyimpanan narkoba dan lorong menuju sebuah rumah yang berjarak 300 meter dari markas utama Ghost Shadow. Rumah tersebut sengaja dibangun sebagai tempat pelarian jika kondisi darurat terjadi. Badra memimpin pelarian itu menuju rumah tersebut.
Polisi masih beradu timah panas dengan anggota Ghost Shadow. Kondisi yang gelap menguntungkan polisi karena dibekali kacamata inframerah. Sementara dari pihak Ghost Shadow tampak kewalahan menghalau gempuran dari Raka dan kawan-kawan. Anggota Ghost Shadow banyak yang tumbang diberondong Colt M4. Kini polisi berada di atas angin, mereka menguasai pertempuran, meskipun beberapa angota juga harus gugur di tengah pertempuran gelap itu.
Badra keluar dari lantai rumah ruang tengah, diikuti Dazo dan Jeki. Ditutupnya kembali pintu bawah tanah itu rapat-rapat.
Badra berjalan ke ruang atas, melihat keluar jendela, menatap markas Ghost Shadow yang tepat berada di seberang. Jeki dan Dazo ikut mengamati di belakang.
“Setelah ini apa?” tanya Jeki.

“Dua menit lagi gedung itu akan hancur,” ucap Badra.
Sebelumnya, di lorong bawah tanah Badra telah mengaktifkan tombol peledak. Beberapa titik penanaman peledak di dalam gedung sudah aktif, hanya menunggu hitungan hingga semuanya hancur.
“Bagaimana kalau mereka menemukan jalan kemari?” Jeki bertanya kembali.
“Tak akan. Lift tersebut menggunakan kode.”
Waktu peledakan hanya menunggu hitungan detik. Badra melihat keluar jendela sembari mengamati detik jam tangannya sembari menghitung lirih, “Lima, empat, tiga, dua, satu.”
Booom!
Ledakan dahsyat terjadi di beberapa titik gedung. Badra tersenyum menyaksikan ledakan demi ledakan. Dalam sekejap, gedung sudah luluh lantak. Para anggota polisi yang berjaga di luar berhamburan menjauh dari lokasi ledakan. Warga sekitar yang terkaget langsung menghampiri lokasi, namun polisi meminta warga untuk kembali pulang.
Komandan Ali berdiri mematung, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Tidak mungkin.” Komandan menatap nanar puing-puing bangunan yang telah rata dengan tanah.
“Sekarang kita bisa bernapas lega. Tapi tidak untuk seterusnya,” ucap Dazo terduduk lesu di sofa abu-abu.

“Kenapa Anda bicara begitu, Tuan?” tanya Jeki.
Badra hanya berdiri sembari memandang Dazo yang tampak tak bersemangat.
“Kalian masih muda. Banyak hal yang ingin dilakukan dan dicapai. Tapi tidak denganku.” Dazo menatap wajah Jeki dan Badra satu per satu.
“Hiduplah dengan baik setelah ini,” kata Dazo berkata dengan penuh penekanan.
Badra tertegun mendengar perkataan Dazo. Ia tak merespons, hanya diam dan mencoba mencerna kalimat itu.
“Aku telah kehilangan banyak hal. Hartaku yang paling berharga telah pergi untuk selamanya,” lanjut Dazo.
Dazo diam sejenak.
“Badra, Jeki. Tolong hentikan megaproyek yang sedang aku bangun. Proyek tersebut sekarang dipegang oleh Holgado asal Amerika. Aku berafiliasi dengannya. Hanya ada satu cara menghentikannya—”
“Angkat tangan!” Mayang dan Raka datang sembari menodongkan senjata api.
Jeki spontan menarik pistol dari balik jasnya.
“Tahan!” Badra memalangkan tangan, melarang Jeki untuk menembak.
Situasi cukup menegangkan. Jeki dan polisi saling mengacungkan senjata. Mata mereka menatap tajam satu sama lain. Badra masih berdiri tenang tanpa mengeluarkan senjata.

“Dalam situasi seperti ini, hal terbaik adalah berunding,” ucap Badra.
“Katakan, kalian akan membawa kami hidup-hidup atau mati?” lanjut Badra bertanya.
Mayang menurunkan senjatanya dan perlahan membuka penutup mulutnya. Sontak Badra terkejut melihat wanita yang ada di depannya adalah Lisa, perempuan yang ia kenal. Jeki tak kalah kaget, wajahnya terperanga mengamati wajah Lisa.
“Kau rupanya,” ucap Badra tersenyum sinis. “Bagaimana kalian bisa sampai kemari?.”
“Sembilan-sembilan-tujuh-dua,” ucap Raka.
“Bagaimana kau bisa tahu kode lift itu?” tanya Badra.
“Seharusnya setelah makan kue kau harus segera membersihkan tanganmu. Terdapat bekas makanan yang masih baru, menempel pada tombol lift. Mengetahui kombinasi keempat angka bukanlah hal yang sulit,” kata Raka masih dengan pistol yang teracung.
Badra tersenyum.
“Polisi memang selalu memakai cara
aneh” ucap Badra.
Mayang mengeluarkan kalung liontin dari saku celananya dan menunjukkannya pada Badra. Liontin berbentuk hati tersebut berisi sebuah foto dirinya mengenakan seragam polwan berdiri bersama kedua orang tuanya. Badra terkejut untuk yang
kedua kalinya.

“Fefi?” Badra terheran-heran.
Badra seperti tak percaya sedang berhadapan dengan adik kandungnya. Sekarang posisi mereka bukan hanya sekadar kakak dan adik, melainkan aparat dan penjahat.
“Pulanglah, Kak. Hentikan semua ini,” kata Mayang mencoba membujuk kakaknya.
“Tempatku di sini. Pulanglah, jadilah anak yang baik.” Badra menolak tawaran itu.
“Emak kehilangan senyumnya semenjak Kakak pergi. Semakin hari tubuhnya semakin kurus. Senyum itu sempat kembali saat surat dari seorang pria bernama Edwin mengabarkan kalau ada seorang anak laki-laki bernama Badra Notonegoro tinggal bersamanya. Setiap bulan Edwin mengirimkan surat untuk Emak, mengabarkan tentang dirimu. Kadang aku merasa iri, Emak selalu menanti kabar tentang Kakak. Di lain sisi aku senang, senyum itu akhirnya kembali. Tak lama kemudian, surat tak lagi datang. Bulan demi bulan dihabiskan untuk menanti surat dari Edwin, tapi surat tak kunjung datang. Saat itu Emak tahu, sesuatu telah terjadi. Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengambil pendidikan di Akademi Kepolisian Semarang, sekaligus mencari alamat pengirim surat itu. Namun, harapan itu pun sirna. Laki-laki bernama Edwin rupanya sudah meninggal dan aku tidak menemukan Kakak di rumah itu.Seorang laki-laki mengatakan kalau Kak Badra sudah pergi entah ke mana. Sekarang Tuhan sudah mempertemukan kita lagi. Kembalilah,Kak.”
Badra tak bisa berkata apa-apa, hanya berdiri mematung dengan tatapan redup.
Prak!
Sebuah peluru menembus kaca jendela, menghunjam punggung Badra. Badra menggeser badannya, berlindung di balik tembok menghindari tembakan. Luka tembak yang ia dapat cukup dalam, tepat di punggung sebelah kiri, beruntung tak mengenai jantungnya. Tembakan tersebut berasal dari seberang gedung, polisi telah menyadari keberadaan mereka. GPS yang ada pada handy talky (HT) membuat sang komandan dapat mengetahui titik lokasi Mayang dan Raka.
Awalnya Komandan Ali mengira kalau seluruh pasukannya telah mati bersama ledakan dan puing-puing gedung. Namun, ia terkejut saat menyadari radarnya menangkap adanya sinyal dari rumah di seberang gedung. Komandan Ali lantas mengarahkan pandangan ke rumah tersebut. Terlihat sebuah punggung seorang pria yang tengah berdiri di balik jendela,tampak juga pantulan beberapa siluet orang di dalam gedung. Komandan memerintahkan untuk mengalihkan fokus penyergapan ke rumah tersebut.

Personel yang tersisa dibagi menjadi dua, kelompok pertama menginvestigasi dan mengevakuasi area markas Ghost Shadow, sementara kelompok kedua beroperasi melakukan penyergapan di rumah yang menjadi titik munculnya radar dari anggotanya.
Setelah Badra terkena tembakan, polisi terus menghujani rumah tersebut dengan tembakan.
“Tahan tembakan,” kata Raka.
“Raka, kau bisa mendengarku? Apa yang terjadi di sana?” tanya Komandan Ali.
“Kami disandera,” kata Raka berbohong.
“Berhenti menembak!” seru Komandan Ali.
Raka menatap Badra, melemparkan handy talky miliknya. Raka memberi isyarat untuk membuat skenario. Badra menerima ide tersebut. Diarahkan HT itu ke depan mulutnya, bersiap untuk bicara.
“Ikuti perintahku,” ucap Badra dengan nada berat.
“Shit!” umpat Komandan Ali kesal. “Apa yang kau mau brengsek?.”
“Biarkan kami pergi, maka kedua anak buahmu akan selamat.”
“Lepaskan mereka dan kau bisa pergi.” Komandan Ali mengajukan tawaran.

“Ini bukan sesi tawar-menawar. Jika kau mengabaikan tawaranku, itu artinya kau membunuh anak buahmu,” kata Badra memberikan tekanan.
Komandan mulai bimbang. Ini adalah kesempatan besar menangkap kelompok mafia terbesar di negara ini.
“Sepertinya, komandanmu lebih memilih sebuah penghargaan ketimbang nyawa anak buahnya,” ucap Badra pada Raka.
'Sial! Ini kesempatan besarku, mana mungkin aku melepasnya begitu saja,' gumam Komandan Ali bimbang.
“Apa kau lebih menginginkan mayatku? Jika begitu, kau juga akan membawa mayat anak buah terbaikmu ini,” kata Badra tersenyum sembari menahan rasa sakit di punggungnya.
“Turunlah. Lepaskan mereka dan pergilah,” ucap Komandan Ali.
Badra sudah tak bisa lagi menahan lukanya lebih lama. Ia memutuskan untuk turun membawa Raka dan Mayang dalam kondisi tangan terikat. Sebuah pistol menempel di kepala mereka.
“Jika kau macam-macam, aku akan menembak kepalamu sungguhan.” Jeki berbisik pada Raka.
Di pertigaan ujung jalan, Jack menyaksikan momen penyergapan itu dari dalam mobil. Ia duduk di kursi belakang. Hanya ia dan sopir dalam mobil sedan hitam itu. Jack masih mengingat kejadian beberapa hari lalu saat Badra menggagalkan misinya. Kini ia tak perlu bersusah payah untuk membalasnya, hanya tinggal duduk tenang menyaksikan kehancuran Ghost Shadow.
'Kali ini aku benar-benar menunggu kematianmu, Badra,' gumam Jack.
Situasi semakin menegangkan saat Badra, Jeki, dan Dazo berhadapan langsung dengan puluhan polisi di tengah jalan. Jarak antara mereka hanya sekitar 10 meter, jarak yang cukup untuk membuat mereka mati di tempat dengan sekali tembakan di kepala.
“Siapkan satu buah mobil,” pinta Badra dengan mata mendelik.
“Kau lepaskan saja, nanti kau bisa pergi dengan—”
“Cepat!” teriak Badra mendorong kepala Mayang dengan pistol.
“Oke, baiklah. Tahan dulu,” ucap Komandan Ali mencoba menenangkannya.
“Berikan mobil ambulans untuknya.” Komandan Ali menyuruh salah satu anggotanya.
Satu unit mobil ambulans sudah diberikan. Badra meminta Jeki dan Dazo untuk masuk di bagian belakang bersama Raka sebagai sandera.

“Aku akan melepaskan mereka setelah pergi beberapa kilometer dari sini. Jangan ada yang mengikuti jika tak mau peluru ini menembus kepala mereka” Badra berjalan menyamping ke arah mobil sambil mempertahankan posisi pistol berada di kepala Mayang.
Badra menyuruh Mayang masuk di kursi depan bersamanya. Mobil pun berjalan menjauh dari lokasi.
“Fuck!” umpat Komandan Ali.
Badra terus melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan sepi. Sesekali ia melihat kaca spion mobilnya untuk memastikan tak ada pengejaran dari polisi. Dirasa situasinya sudah aman, Badra menghentikan mobilnya di pinggir jalan atas permintaan Mayang.
“Biarkan Jeki yang menyetir. Aku akan urus luka tembak Kak Badra,” kata Mayang.
Badra mengikuti saran dari adiknya. Posisi berganti, Jeki dan Dazo duduk di kursi depan, sementara Badra berpindah di bagian belakang bersama Mayang untuk mendapatkan perawatan. Luka tembaknya cukup serius, meskipun Badra terlihat baik-baik saja. Dengan hati-hati, Mayang berusaha mengeluarkan peluru dari punggungnya.

“Dengan luka tembak seperti ini, kenapa Kakak masih terlihat santai?” tanya Mayang sembari mengoyak bekas tembakan itu dengan pisau belatinya.

“Aku tak ingin terlihat lemah,” kata Badra singkat.
Mendengar jawaban itu Mayang tak melanjutkan pertanyaannya lagi. Ia fokus dengan belatinya yang bergerak pelan mengiris menembus kulit Badra. Situasi hening sejenak, tak ada percakapan apa pun.
Di tengah keheningan, Badra membuka suara.
“Bagaimana kabar Bapak dan Emak?”
Mayang tak langsung menjawabnya. Ia mengeluarkan saputangan dari saku celananya, kemudian meletakkan sebuah peluru di saputangan itu. Peluru berhasil dikeluarkan, Mayang melanjutkan menutup lukanya.
“Kakak masih tak mau pulang?” Mayang balik bertanya dengan tangan yang masih sibuk menutup luka.
“Sudah sangat jauh aku pergi. Tak pantas aku kembali kesana.”
“Pulanglah. Kunjungilah rumah baru Bapak dan Emak,” ucap Mayang.
Badra menengok perlahan ke belakang, melihat mata Mayang dalam-dalam. Badra tak mengatakan apa pun, hanya menatap nanar. Mayang mengangguk, mengiakan pandangan itu.
Mendadak situasi berubah duka. Badra menundukan kepalanya dalam. Badannya bergetar menahan tangis yang tak bisa ia bendung. Air mata kerinduan yang selama ini ia pendam tumpah sudah tak tertahankan, bercampur dengan penyesalan. Bertahun-tahun Badra mengejar mimpinya dan kini semua tak ada artinya saat kedua orang tuanya sudah tiada.
“Untuk apa semua yang telah kucapai.” Air matanya jatuh dengan deras.
“Aku mengerti perasaan Kakak, sekarang—”
Brak!
Sesuatu menabrak mobil bagian belakang.
Mayang, Badra, dan Raka langsung tersentak akibat benturan itu. Jeki yang kaget berusaha mengembalikan laju mobilnya dengan normal.
“Kita dikejar” Raka melihat dari kaca belakang “Sepertinya bukan polisi.”
“Siapa mereka?” tanya Mayang.
“Aku tak tahu. Sepertinya lebih dari satu mobil” Raka melihat dua mobil lain muncul dari belakang melaju ke samping mobil mereka.
“Sial!” Jeki menaikan kecepatan “Itu orang-orangnya Jack. Fuck! Kenapa dia mengejarku?.”
“Awas! Merunduk!” teriak Raka.

Sebuah tembakan diberondong membabi buta ke mobil mereka. Dazo yang duduk di kursi depan terkena beberapa tembakan di punggung hingga menembus bagian depan. Dazo meregang nyawa seketika itu juga. Raka membalas tembakan langsung mengarah ke bagian pengemudi. Satu mobil oleng dan menabrak pembatas jalan. Dua mobil lain sedikit melebar, namun masih terus melepaskan tembakan.
Mobil sedan hitam itu menyusul tepat di samping kanan mereka. Tembakan dilepaskan mengenai ban mobil ambulans yang mereka kendarai. Dengan sangat keras Jeki berusaha mengendalikan laju mobil, namun laju kecepatan yang tinggi dengan kondisi pecah ban membuatnya kehilangan kendali hingga mobil keluar lintasan dan terperosok ke dalam jurang sedalam 20 meter.
Pengejaran berakhir. Beberapa orang dalam mobil sedan keluar untuk memastikan. Dari atas terlihat jelas mobil yang Badra kendarai telah hancur terbakar. Mustahil seseorang bisa selamat dalam kecelakaan seperti itu. Tak lama kemudian sebuah mobil datang, keluarlah Jack dari mobil berjalan menghampiri orang-orangnya.
“Sungguh akhir yang menyedihkan,” ucap Jack sembari tersenyum menatap mobil yang terbakar di dasar jurang.

Bình Luận Sách (171)

  • avatar
    SUPRIADICEPI

    Cerita yang banyak sekali dinamika yang terjadi dan ada inspirasi yang bisa kita ambil, Terimakasih kepada penulis sudah memberikan cerita yang kaya akan alur

    03/04/2022

      0
  • avatar
    francescaFioren

    ceritanya sangat menarik, ceritanya mudah di pahami, banyak pesan moral, wajar ratingnya tinggi, cerita alurnya sangat menarik, sangat bagus cerita nya, saya akan memberi tau temen saya untuk ikut melihat cerita/novel ini

    02/03/2022

      8
  • avatar

    Novel yang menceritakan kisah yang sangat menarik. Alur ceritanya sangat mudah dipahami. Bahasa yang digunakanpun mudah dicerna dan dimengerti. Bravo buat sang penulis.

    28/02/2022

      4
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất