logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 10 Bercerailah, Di!

"Mas, ada apa?" tanyaku kepada Mas Azka yang tampak sedikit menakutkan.
Rahangnya mengeras. Aku bergeming di depan pintu. Mas Yoga masih tertidur pulas. Mungkin kelelahan setelah pulang dari tambak.
"Tak usah kamu sembunyikan suamimu yang busuk itu! Minggir, Di! Mana si Yoga tak tahu malu itu!" Lantang suara Mas Azka terdengar.
Aku menoleh kanan dan kiri. Beberapa tetangga menyembulkan kepala mereka dari pintu rumah masing-masing, karena mendengar teriakan Mas Azka.
"Masuk, Mas. Gak usah teriak-teriak begitu! Malu sama tetangga!" Kubuka pintu lebar-lebar. Mas Yoga menggeliat, lalu bangun dari tidurnya.
"Suamimu yang tak berguna itu masih tidur jam segini? Astaga!" sindir Mas Azka. Aku menghela napas. Sepertinya urusan kali ini akan panjang. Tak biasanya Mas Azka mendadak datang seperti ini.
Mas Yoga yang baru terkumpul kesadarannya langsung berdiri ketika melihat kakak iparnya.
"Ma-mas Azka? Kapan datang, Mas?" tanyanya gugup.
"Tak usah basa basi, kamu!" jawab Mas Azka ketus. Mas Yoga terlonjak.
"Mas, sebenarnya ada apa, sih?" Aku mulai tak sabaran.
"Ada apa katamu? Kamu pikir Mas gak tahu kejadian kemarin? Memalukan sekali!" Mas Azka menggebrak meja.
Aku dan Mas Yoga mematung. Tak berani menatap wajah kakakku itu.
"Mau sampai kapan kamu hidup dengan lelaki model begini, Diah!" Suara Mas Azka serak. Mas Yoga hanya tertunduk sambil memainkan jemarinya. Kelihatan kalau dia sangat gugup.
"Mas ... tahu dari siapa?" tanyaku hati-hati.
"Tak penting Mas tahu dari siapa. Yang jelas, mau ditaruh di mana muka Mas ini, Diah? Punya adik ipar malu-maluin begini? Ya Allah!" Mas Azka yang aslinya memang cerewet, hari ini benar-benar mengeluarkan suaranya.
"Ma–maaf, Mas. Aku benar-benar khilaf. Sudah berjanji sama Diah, tak akan mengulangi lagi!" ucap Mas Yoga takut-takut.
Aku menghela napas. Kepala tertunduk, tapi mataku terus melirik ke arah Mas Azka. Wajahnya merah padam. Sebenarnya, siapa yang sudah memberi tahunya soal kejadian kemarin?
"Maaf dan janji. Apa kau yakin bisa menepati katamu dengan baik? Kalau sekali lagi kudengar kabar memalukan seperti ini, tamat riwayatmu!" desisnya penuh penekanan.
Bulir-bulir keringat terlihat di pelipis Mas Yoga. Selama ini hubungan mereka memang kaku. Mas Azka yang sejak awal kurang menyukai Mas Yoga, sehingga membuat mereka tak dekat. Setelah mendapat kabar tentang kelakuan suamiku kemarin, sangat wajar kalau Mas Azka marah. Padahal, aku sudah berusaha untuk tidak memberi tahunya.
"Sudah, Mas. Gak usah dibahas lagi. Mas, mau minum?" Aku berusaha mengalihkan percakapan. Suasana terasa sangat canggung.
"Kamu memaafkannya begitu saja, Di? Kamu percaya suamimu itu akan berubah?" Mas Azka masih terus mencecarku, seolah-olah Mas Yoga tidak ada di sana.
"Sudah, Mas. Diah mohon!" Aku mengiba.
Mas Azka menggelengkan kepalanya. Lalu kami bertiga terdiam. Hatiku menjerit, tak tahu harus apa.
"Assalamu'alaikum!" Suara Bu Ipah terdengar dari luar.
Aku segera bangkit menjawab, "Waalaikumsalam, Bu!"
"Mbak Diah, saya gak perlu basa basi, ya. Uang kontrakan sudah ada?" tanyanya.
"Oh, iya. Tunggu sebentar, Bu!" Aku berlalu. Kepala Bu Ipah melongok ke dalam, ia lalu mengangguk dan tersenyum ke arah Mas Azka.
"Mas, tadi dapat uang berapa?" Aku menghampiri Mas Yoga. Ia langsung merogoh kantung celana.
"Cuma segini, Di!" Ia memberikan dua lembar uang berwarna merah.
"Ya sudah, sini." Kuambil dompet, lalu mengeluarkan empat lembar lagi uang agar genap menjadi enam ratus ribu.
Langsung saja kuserahkan ke Bu Ipah yang tampak berbinar senang setelah menerima uang itu. Setelah basa basi sebentar, ia segera pamit.
"Bayar kontrakan pun, masih kamu yang menombok, Di?" sindir Mas Azka.
Aku diam, kembali duduk di dekat jendela memandang keluar. Seolah-olah tak mendengar ucapan Mas Azka.
"Makan, minum, rokok, juga kamu yang bayar?" cetus kakakku itu, lagi.
"Cukup, Mas! Urusan rumah tanggaku dan Diah, tak usah Mas ikut campur!" Aku terlonjak dengan ucapan Mas Yoga. Wajahnya merah padam. Entah menahan malu atau amarah, atau keduanya.
"Jelas aku harus ikut campur! Diah itu adikku. Dan kamu, suaminya, sudah gak becus, malah main perempuan!" Dua pasang mata beradu. Ada aliran listrik tak kasat mata di antara mereka.
"Kata siapa aku main perempuan? Ada buktinya, hah?!" Mas Yoga bangkit, tak terima.
"Bawa perempuan ke rumah, saat istri sedang kerja. Sampai pijat-pijatan di kamar, apa namanya kalau bukan main perempuan! Siapa yang tahu kau sudah berbuat apa lagi!" sembur Mas Azka, ia ikut-ikutan bangkit dari duduknya.
Sekarang keduanya berhadapan seperti akan duel. Tangan mereka mengepal, membentuk tinju-tinju yang siap melayang kapan saja. Dada kembang kempis, dengan mata saling melotot. Aku pasrah. Terserahlah. Yang jelas, kepalaku mulai berdenyut.
Ponselku berdering. Suaranya cukup kencang. Untungnya, suara itu mempu melerai ketegangan yang sempat tercipta. Aku sedikit lega.
Nama Utari tertera di layar ponsel. Segera kujawab panggilannya.
"Halo, Ri, Assalamu'alaikum!"
"Mbak ... Cici, Mbak!" Suara Utari terdengar bergetar.
"Cici kenapa?" Suaraku meninggi, kekhawatiran tiba-tiba menyeruak.
"Cici ... kubawa ke rumah sakit!" kata Utari sedikit terisak.
"Ya Allah, rumah sakit mana, Ri? Mbak ke sana sekarang!" Badanku seketika lemas. Apa yang terjadi dengan keponakanku itu?
🌷
Dibonceng Mas Yoga, kami segera menuju rumah sakit Rafflesia. Mas Azka menyusul di belakang. Sesampainya di sana, kulihat Cici yang tampak tergolek lemah di atas ranjang. Matanya terpejam, wajahnya terlihat pucat pasi. Utari dan Ayah terduduk di lantai keramik tanpa alas, di sebelah ranjang.
"Mbak!" Utari menghambur ke pelukanku. Kutepuk-tepuk pundaknya pelan. Ayah langsung berdiri. Kucium tangannya, disusul Mas Azka. Sementara Mas Yoga, acuh tah acuh. Ia malah memilih untuk melipir keluar, duduk di bangku kosong.
"Cici kenapa, Ri?" tanyaku sambil mendekat ke keponakanku itu. Kusentuh keningnya, terasa hangat.
"Tadi pagi dia demam, Mbak. Sudah kukasih sirup penurun panas, sempat reda sebentar. Tadi siang rewel lagi, sampai panas sekali. Kulitnya seperti terbakar ...." Utari mengusap air matanya yang meleleh.
"Ya Allah ...," ucapku.
"Dokter sudah periksa?" Mas Azka buka suara.
"Sudah, Mas. Akhir-akhir ini Cici sering garuk-garuk telinga. Diagnosa dokter, ada infeksi," sahut Utari lemah.
Aku mengangguk. "Nanti sudah boleh pulang, atau rawat inap?" tanyaku.
"Sebenarnya sudah boleh pulang, Mbak. Hanya saja ...." Kalimat Utari menggantung, tapi aku tahu maksudnya.
🌷
"Di ..., kamu mau terus begini, sampai kapan?" Alis Mas Azka bertaut. Kami sedang menunggu antrian untuk menebus obat Cici di depan apotik rumah sakit. Administrasi juga sudah dibayarkan, sebagian dengan uang Mas Azka karena uangku tak cukup.
"Maksud Mas, apa?" Aku bertanya balik.
Mas Azka mendesah. "Kamu tahu apa maksud Mas. Lihatlah suamimu, dalam kondisi seperti ini pun, dia tak peduli dengan keluarga sendiri. Semua tanggung jawab ada di pundakmu, Di," ucapnya lembut.
"Diah tahu, Mas. Tapi, saat ini Utari dan Cici butuh bantuan. Kalau bukan Diah, siapa lagi?" Aku tertunduk.
"Suamimu itu sudah keterlaluan, Di! Kamu tidak malu?" Mas Azka berusaha untuk tidak berbicara terlalu kencang.
"Tentu Diah malu, Mas. Hanya saja, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, kan?" Kupandangi wajah Mas Azka dalam-dalam. Ia menggeleng.
"Kamu terlalu sabar. Apa tak ada keinginan dalam hatimu untuk dimanjakan dan disayangi seperti perempuan-perempuan lain, Di?" Mas Azka menatap jauh, melewati lorong rumah sakit yang panjang.
Aku terdiam. Tentu saja aku mau, seperti perempuan-perempuan lainnya yang dimanjakan dan disayang sepenuh hati. Namun, keadaan saat ini tidak memungkinkan. Sejak awal menikah, aku tahu kalau hidup dengan Mas Yoga akan penuh perjuangan. Dia bukan orang kaya atau pun terpandang. Bukan pula seseorang dengan pendidikan tinggi. Mimpiku membangun rumah tangga dengannya hanya berbekal cinta dan kepercayaan. Mungkin, dulu aku terlalu naif. Nasi sudah menjadi bubur, biar aku nikmati saja selagi panas.
"Bagaimana pun juga, Diah masih tetap ingin memperbaiki apa yang ada, Mas," jawabku.
Nama Cici dipanggil. Kami beranjak untuk menebus obatnya.
"Ini antibiotiknya harus dihabiskan, ya, Bu. Untuk penurun panas, jika sudah tidak demam boleh tidak diminum," kata apoteker yang bertugas. Aku mengangguk.
Beriringan dengan Mas Azka, aku kembali ke ruangan tempat Cici menunggu. Mas Yoga masih terlihat duduk di bangku luar ruangan. Ia tampak tak terpengaruh dengan situasi yang sedang berlangsung. Matanya sibuk menatap layar pipih di tangan. Benar-benar, manusia satu itu.
"Ri, ini obatnya. Kalau sudah semua, ayo kita pulang," ajakku sambil menyerahkan bungkusan obat.
Cici sudah bangun, menyusu pada ibunya.
"Terima kasih banyak, Mbak, Mas Azka!" Matanya berkaca-kaca.
"Sama-sama, Ri. Semoga Cici cepat sehat, ya." Tanganku mengelus kepala Cici yang berambut halus kemerahan.
🌷
Utari, Bapak, dan Cici sudah pulang setelah kami pesankan angkot. Mas Yoga sudah duduk di atas motor menungguku.
"Di, tunggu sebentar," Mas Azka mencekal tanganku.
"Kenapa, Mas?"
"Pikirkanlah baik-baik, Di. Mumpung kamu masih muda, bercerailah!"
"Mas, ...."
Setelah mengucapkan itu, Mas Azka berlalu ke motornya. Meninggalkanku yang masih terpaku.
🌷🌷🌷

Bình Luận Sách (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất