logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

episode 2

"Bahkan ikan-ikan di laut pun tahu jika aku sudah menjadi bintang di hatimu sejak dulu."—Ksatria
• • • • •
Bulan tanpa hal yang mengasyikkan adalah badai bagi Satria, dan tidak ada sesuatu yang lebih penting di dalam isi kepalanya selain sejuta cara bagaimana supaya Bulan tetap ceria.
Keluarnya mereka dari area pemakaman tadi, tidak butuh waktu lama untuk Satria mendapat lampu kuning, alias ide. Hingga kini dia manggut-manggut sendiri sambil menuntun sepeda itu.
Ini karena tadi Bulan sendiri yang meminta mereka jalan kaki saja.
"Bulan," panggilnya.
Gadis itu lalu menoleh. "Iya,"
"Kamu dari tadi kok diem aja sih? Apa kamu masih sedih karena kangen sama mama kamu?"
Sungguh betapa perhatiannya bocah ini. Barang sekecilpun sesuatu yang mengganjal di dalam hati Bulan, dia selalu saja ingin mengetahuinya.
"Iya, aku masih kangen sama mama,"
Satria merasa iba, dan tugasnya sekarang hanyalah menghibur dia. Persis, sekarang mereka sampai di jembatan itu. Jembatan kecil dimana di bawahnya dialiri sungai jernih.
"Eh, Bulan, Bulan, itu di sana banyak ikannya!" pekik Satria sambil menunjuk ke sungai itu.
"Mana mana?!"
Memang benar, Bulan langsung terlihat antusias melihat ke bawah jembatan. Karena dia memang suka memelihara ikan, bahkan di rumah pun Bulan punya kolam sendiri, yang dihuni ikan-ikan nila cantik berukuran besar.
"Itu disana! Turun yuk!"
"Ayok!"
Bulan terlihat sumringah dengan senyum merekah di wajahnya, mereka lalu berjalan menuruni tanah berumput yang sedikit berbukit itu dan mendekat ke arah sungai.
"Wahh!! Ada ikan koi!! Satria tangkep, Sat!!"
"Okee.. siapp!! Kamu bantuin ya.."
"Okee.."
Tanpa basa-basi lagi mereka lalu menceburkan kaki ke air dan berlari kesana-kemari mengejar ikan-ikan dengan sirip berwarna-warni itu sembari berusaha menangkapnya walau dengan tangan kosong.
"Wah.. yang itu cantik banget, Satria!! Ayo, kejar terus.."
"Wooo... hooo.. mau lari kemana kamu ikan-ikan hah?!!"
Beberapa kali Satria dan Bulan sampai menceburkan diri ke dalam sungai sampai pakaian mereka basah kuyup, selagi penangkapan yang selalu berakhir gagal karena ikan-ikan itu terlalu gesit menghindar.
"Ya ampun ternyata susah juga yaa," Satria mengusap mukanya lalu berkacak setengah pinggang.
Bulan mendekatinya sambil mengedarkan pandangan ke bawah air. "Iya, susah kalo gak ada jaring."
Hingga sorot matanya menemukan satu ikan koi bersirip orange sedang bersembunyi di balik batu di dekat kaki Satria. Buru-buru Bulan menepuk pundak temannya itu.
"Eh eh eh.. Satria!! Itu ada satu!!"
"Mana mana mana?!!"
"Ituuu!" Bulan mengarahkan telunjuknya sampai Satria melihat sendiri bayangan ikan itu disana.
"Oke.. oke.. oke.. Kali ini harus dapet nih.."
Entah mendapat ide dari mana tapi Satria sangat kreatif kali ini, dia tiba-tiba saja langsung melepas kaosnya dan melipat dua lengannya. Ini dia gunakan sebagai pengganti jaring.
"Ati-ati, Satria.. kamu pasti bisa.." bisik Bulan di belakangnya.
"Iya.. kamu diem dulu, nanti ikannya lari."
Satria membungkukkan badannya sembari mendekat kearah ikan koi itu dan memegang dua sisi kaosnya. Mendekat dan terus mendekat, ikan itu masih berada di posisinya.
Bulan sudah kesenengan sendiri. Perlahan tapi pasti Satria menabrakkan ujung kaosnya ke permukaan batu, dan ikan koi itu spontan terjebak di dalam.
"Yeeee..!!"
Hari sudah mulai sore. Selama perjalanan pulang Bulan asik melihat ikannya berenang dalam plastik. Hasil tangkapan Satria. Sementara dia sudah memakai kaosnya kembali.
Namun, tiba-tiba di satu jalan mereka bertemu dengan tiga orang anak laki-laki yang seumuran dengan mereka. Dan, mata-mata itu mengarah ke kantung plastik di tangan Bulan.
"Hei! Kalian bawa apa tuh?!"
Satria menarik remnya pelan. Bulan juga segera turun. "Ada apa?"
"Coba liat!"
"Ini ikan," ujar gadis itu sembari menunjukannya. Lalu mereka bergerak melihat ikan itu lebih dekat. Siripnya yang menari-nari, perutnya, dan mulut kecilnya yang mangap-mangap.
"Wah.. bagus banget."
"Cari sendiri kalo mau." Bulan kembali menarik plastiknya.
"Buat aku aja sini!"
Tidak disangka, salah satu dari mereka langsung merebutnya dari tangan Bulan. Mendelik tidak terima, gadis itu merebutnya lagi. Dan sempat terjadi adegan rebutan disana.
"Jangan!! Ini punyaku!!"
"Halah cari lagi sana!! Ini buat kita aja!!"
"Jangan diambil!!"
Melihatnya, Satria buru-buru turun dan membantu Bulan. "Kalian cari sendiri dong di sungai banyak!!"
Namun apa daya, tiga lawan dua, ujung-ujungnya kalah juga, dan usaha berakhir sia-sia. Bonus pantat mencium tanah.
"Aduh!"
Satria meringis kesakitan, dan Bulan mewek di sampingnya, sementara anak-anak itu sudah terbirit-birit mengayuh sepeda mereka pergi.
"Bulan, kamu gak papa?" Satria segera membantu Bulan berdiri.
"Satria.. ikannya dibawaa.."
Dia nangis kenceng sambil mengucek mata. Satria memanfaatkan kedua tangannya untuk menenangkan gadis itu, dengan cara memeluknya.
"Udah, biarin aja.. besok kita cari lagi ya, ikannya. Sekarang kita pulang."
Hanya gara-gara seekor ikan Bulan sampai seperti itu. Dalam batinnya Satria merasa kasihan, tapi mereka segera berlalu pulang.
Dan langit selalu tau. Belum jauh Satria mengayuh sepeda itu tiba-tiba datang awan mendung yang menumpahkan titik-titik airnya dan semakin lama semakin deras.
"Yahh.. hujan,"
Terpaksa mereka harus berteduh. Persis di pinggir jalan itu terdapat saung. Satria langsung menepi kesana.
"Kamu sih nangis, langitnya ikut nangis kan?" ujarnya seraya duduk di pinggir saung itu.
"Ya mana aku tau," Bulan dengan cemberut kini menghapus sisa-sisa air matanya. Lalu dia asik sendiri menengadahkan tangan ke depan, dan titik-titik air menjatuhinya.
"Dasar anak-anak nakal! Udah nangkepnya susah, sampe basah kuyup, malah diambil! Mana ikannya bagus lagi,"
Satria menghela napas mendengar gerutuan Bulan yang berpadu dengan gemuruh hujan di atap saung yang terbuat dari daun kelapa kering itu. Sampai dia melihat ranting-ranting tipis yang berguguran dari atas pohon di samping saung itu.
Satria mengambilnya beberapa, dan pundaknya terangkat saat menatap itu sejenak. Lalu dia iseng-iseng merangkainya melingkar.
"Dan sekarang.. kejebak hujan, gak bisa pulang, mana udah sore, baju basah.. dingin, laper. Pasti besok flu deh, terus gak berangkat sekolah, terus pasti dimarahin bu guru karena kebanyakan maen."
Lagi, bibir mungil Bulan masih asik ngedumel ngalor-ngidul sendiri.
"Dan papi.. papi pasti gak bakalan peduli, mau aku flu kek, batuk kek, demam kek, flu sama batuk, batuk sama demam, demam sama flu. Mau gak berangkat sekolah sehari, dua hari, seminggu.. mau dapet nilai jelek, gak dapet nilai.. papi pasti gak mau tau." oceh Bulan, masih berdiri sambil bermain air hujan.
Selama itu, Satria mendiamkannya. Karena ia sibuk dengan aktiviitasnya sendiri. Sampai ranting-ranting tadi kini berkumpul saling melilit dan membentuk mahkota. Lalu Satria merogoh sesuatu di saku celananya.
Itu bunga aster, yang tadi ia petik, yang tidak sengaja dia simpan dan juga tanpa ada tujuan apa-apa. Satria melilitkan beberapa tangkainya diantara mahkota buatannya.
Lagi, dedaunan yang berjatuhan di pohon itu juga dia pungut untuk melengkapi.
Satria tersenyum kecil melihat hasil karyanya yang tidak seberapa itu.
"Huh! Satria, kok kamu daritadi diem aj-" Bulan menoleh dan ucapannya terpotong ketika Satria tiba-tiba meletakkan sesuatu di kepalanya.
"Haaa..." bola mata itu naik, lalu segera dilepas mahkota itu dan diperhatikannya sejenak seraya diputar-putar untuk meneliti setiap sisinya. Dalam hati sempat terpukau.
Bulan berangsur mendudukkan pantatnya di saung itu. "Ini.. kapan kamu buat ini, Satria?"
Di hadapannya Satria tersenyum seadanya. "Mahkota sederhana untuk putri yang cantik."
Tak bisa dipungkiri Bulan memang terpesona. Hingga dia senyum-senyum sendiri sambil memakai kembali mahkota itu di kepalanya. Lalu nekat menerjang hujan sambil merentangkan tangan dan berputar-putar.
"Aku ini seorang putri.. berwajah cantik seperti bidadari.. aku ini seorang putri.. termasyur namaku hingga ke seluruh negeri.."
Persis, Satria baru saja berhasil mengembangkan senyumnya lagi. Sampai dia harus bersendandung ria di bawah rinai hujan.
"Jangan hujan-hujanan nanti sakit!"
Teriakannya sama sekali tidak diindahkan oleh Bulan, justru dia semakin keceng bernyanyi.
"Aku ini seorang putri.. pakai mahkota juga sepatu kaca.. aku ini seorang putri.. punya istana megah dan gaun yang indah.."
Satria geleng-geleng kepala sendiri melihatnya. "Bulan, balik sini! Jangan maen hujan! Nanti sakit.."
Barulah ketika datang suara guntur yang menggelegar di langit disertai kilat, Bulan langsung terbirit-birit kembali berteduh di saung itu dan meringkuk dengan ketakutan di dekat Satria.
"Ada petir, Sat.."
"Makanya, jangan ngeyel kalo dibilangin.."
"Iya, iya, masa gak boleh seneng.." gerutu Bulan dengan muka ditekuk. Namun sedetik kemudian, dia kembali berseri-seri saat melirik mahkota di atas kepalanya.
"Akulah putri impian.. akulah putri impian.. kubahagia sekali.."
Lagi, Bulan bernyanyi dengan suara khasnya. Sambil memegangi mahkota itu dan menggerakan kepala ke kanan dan kekiri. Lucu sekali. Dia memang cantik memakainya.
Karena Satria lebih suka melihatnya ceria seperti itu, bukan seperti gadis yang murung. Makanya sebisa mungkin ia akan membuatnya tersenyum. Ini sudah lebih dari cukup, karena senyum Bulan berarti pertanda kehidupan Satria.
"Kayanya hujannya udah mulai reda deh, pulang sekarang yuk.."
Beberapa menit berlalu, hari semakin sore, dan kini Satria melihat ke atas ternyata tinggal rintik-rintik yang berjatuhan.
"Ayok,"
Sambil menikmati perjalanan pulang menyusuri jalanan setapak di antara perkebunan teh, Bulan masih bersenandung kecil sambil memakai mahkotanya dan merentangkan tangan menikmati hembusan udara yang dingin-dingin sejuk.
Sepertinya dia memang suka duduk menghadap ke belakang, karena seolah-olah berjalan mundur.
"Bulan," celetuk Satria yang menginterupsi aktivitas Bulan. Ia baru saja menemukan sesuatu.
"Iyaaa," balasnya.
"Liat ke langit deh ada apa, kamu pasti suka."
Dia lalu menuruti apa perintahnya. Menengadah ke langit sejenak, dan bibirnya langsung merekah begitu melihat satu fenomena alam yang menampakkan tujuh warna indah.
"Wahh.. pelangi! Indah banget, Satria.."
"Kata mamaku, kalo ada pelangi itu tandanya bidadari lagi turun ke bumi."
"Bidadari.." Bulan mengulangi ucapan Satria.
"Iya, tapi kalo menurutku engga, karena setiap hari bidadari udah ada di bumi."
"Siapa?"
"Kamu. Karena bidadari pake mahkota, kamu juga pake mahkota, berarti kamu juga bidadari."
Tidak lebih dari sekedar omongan anak kecil belaka. Anak kemarin sore dan tentunya masih ingusan.

Bình Luận Sách (32)

  • avatar
    FahriZul

    saya sangat suka

    05/07

      0
  • avatar
    NgarsoDenbagus

    ceritanya bagus

    14/06

      0
  • avatar
    SiapaGa tau

    bucin sekali

    11/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất