logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Because Love

Because Love

Nana Kitty


episode 1

"Karena aku percaya bahwa merpati tidak akan pernah ingkar janji."—Bulan
• • • • •
"SATRIA!!!!"
Sebuah teriakan melengking dari luar terdengar menggema sampai ke dinding-dinding di kamar Satria. Persis mengalahkan kokokan ayam jantan peliharaannya--lebih tepatnya lagi, ayam yang diadopsinya secara paksa dari sang kakek gara-gara Satria suka jenggernya yang apik. Si Jago, begitulah dia memanggil.
Dan ini sukses menginterupsi aktivitasnya merapikan tempat tidur. "Siapa sih pagi-pagi udah berisik aja,"
"SATRIA!!! Ooo.. SATRIAAA!!!"
Terdengar lagi, kali ini vokal A-nya lebih panjang. Buru-buru Satria melipat selimutnya dengan kilat dan melempar asal dua bantal yang berserakan di pinggir kasur ke headboard.
"SATRIA!!! BANGUUNN UDAH PAGEE!!!"
Kali ketiganya, membuat laki-laki yang baru saja menginjak usia 8 tahun itu berdecak pelan sembari menyibakkan horden dan membuka jendela kamarnya lebar-lebar.
"Iyaaa,"
Dari tempatnya yang berada di lantai dua itu, Satria melihat seorang gadis kecil melambaikan tangan di depan pagar rumahnya, sambil tersenyum lebar dan membuat garis melengkung di kedua pipinya yang chubby.
"Bulan.. kamu ngapain pagi-pagi teriak-teriak di rumahku?"
Gadis yang dipanggilnya Bulan itu hanya mengarahkan telunjuknya ke bawah, dan pandangan Satria turun lalu menemukan sesuatu disana.
"Sepeda?"
Bulan mengangguk semangat. "Buruan turun.."
Sepertinya asik bermain sepeda pagi-pagi seperti ini. Pikir Satria. Dan tak ingin berlama-lama lagi, dia sudah menghilang dari jendela itu dan keluar rumah untuk menemui Bulan.
"Sepeda kamu baru?" tanya Satria ketika meneliti kendaraan roda dua itu--sepeda keranjang warna pink dimana cat dan labelnya masih kinclong.
"Iya, baru kemarin dibeliin sama papi."
"Emang kamu udah bisa naikinnya?"
"Belum," Bulan menggeleng dengan polosnya, lalu mukanya terlihat cemberut. "papi selalu gak ada waktu buat ngajarin aku naik sepeda."
"Kalo gitu kenapa minta dibeliin?"
"Aku kan juga pengen belajar naik sepeda. Karena aku capek setiap main sama kamu, katanya sih main bareng tapi akunya lari-lari terus, kamu asik sendiri naik sepeda."
Gelak tawa langsung menyembur dari mulut Satria begitu mendengar tutur kalimat Bulan yang notabene benar adanya. Satria yang selalu tega membiarkannya lari-lari sementara dirinya sendiri mengayuh sepeda.
"Kamu tuh ketawa terus,"
"Abis kamu lucu sih,"
Bulan menghela napas. "Yaudah, sekarang kamu boncengin aku ya."
"Emang kita mau kemana?"
"Jalan-jalan aja, keliling kebun teh. Sekarang kan lagi musim panen."
"Oke, ayok!"
Kemudian, tanpa basa-basi lagi keduanya cap cus meninggalkan pelataran rumah Satria. Dengan anak laki-laki itu yang mengayuh sepeda dan Bulan berada di belakangnya. Menyusuri jalanan setapak dimana kanan kirinya adalah pohon hijau.
Uniknya, posisi duduk gadis itu juga menghadap ke belakang, arah yang tentunya berlawanan dengan Satria. Jadi mereka saling memunggungi, dan sepanjang perjalanan Bulan merentangkan tangannya sambil menikmati udara segar.
Di waktu yang sama matahari juga sedang merangkak naik di ufuk timur. Di area perkebun teh sudah mulai berdatangan para peburuh petik daun teh yang menggunakan caping, apron, dan keranjang pucuk menggantung di punggung mereka.
Satria memelankan laju sepeda ketika melewati jalanan disana, yang kelihatannya sedikit menurun, sementara wanita-wanita buruh petik teh itu langsung menepi. Satria dan Bulan dengan sopan menundukkan kepala saat berlalu di depan mereka.
Setelah capek kesana-kemari mengelilingi kebun teh--sempat juga berpapasan dengan segerombol kambing yang digembala oleh pak tua dan hampir terjatuh, kini Satria menghentikan kayuhannya pada sepeda itu di bawah pohon.
"Enak juga sepedanya, sedelnya empuk."
"Iyalah sepeda aku, emang punya kamu udah ngikis." Bulan meloncat turun dari tempatnya sambil tertawa kecil. "jangan bilang kamu pengen sepeda perempuan kaya gini?"
"Haahhh??" Satria melongo, lalu menepuk jidat. "apa kata dunia??? Masa anak ganteng sepedanya warna pink begini? Mana ada keranjangnya lagi? Maluu.. lah, sama.. si Jago."
"Hahaha.. ngapain malu? Buktinya kamu mau naikin sekarang." Bulan masih cekikikan.
"Heee.. kan ini punya kamu gimana sih." Satria berdecak sambil geleng-geleng kepala pelan dan berkacak pinggang. "kamu sih, enak tinggal duduk manis aja. Aku? Capek."
"Ya anggap aja olahraga pagi, kan sehat. Emang kamu haus ya?"
"Iya nih haus," keluhnya sambil mengusap leher.
"Tenang aja aku bawa minum kok,"
Bulan lalu meraih sebuah kantung kresek hitam di keranjang sepeda itu dan mengeluarkan isinya. Botol minum yang isinya air dingin.
"Nih, minum." ujarnya sembari memberikan botol itu pada Satria. Dimana langsung ditandaskan olehnya seperempat bagian.
"Huh makasih ya, kamu savety banget." terakhir, Satria mengusap bibirnya dengan punggung tangan.
"Iya gapapa,"
"Terus, sekarang kita muter-muter lagi atau kemana?"
Bulan berdehem pelan, kemudian meletakkan kembali botol minumnya di keranjang sepeda. Selain hanya jalan-jalan naik sepeda sebenernya ia juga punya maksud yang lain.
"Aku pengen ke kebun bunga,"
"Kebun bunga? Ngapain?"
Bulan tampak berfikir. "Metik bunga,"
Jawaban yang klasik, seperti pertanyaan Satria sendiri.
"Yaudah, ayo berangkat."
Dan Satria memang teman sejatinya sampai kapanpun. Mereka lalu jalan kembali, menuju ke sebuah tempat dimana banyak ditumbuhi bunga dan memang letaknya tidak terlalu jauh dari perkebunan teh itu.
Sampai disana, Bulan dan Satria langsung disuguhkan hamparan tanaman bunga aster yang indah, bunga yang sekilas mirip dengan bunga matahari hanya saja warna bunga aster lebih bervariasi seperti; merah muda, putih, biru, ungu, juga warna lain dimana pada bagian tengah rata-rata berwarna kuning.
Melihat bunga-bunga aster yang meliuk-liuk karena tertiup angin yang sangat menyejukkan mata, Bulan segera terjun dan memetik beberapa tangkai dibantu oleh Satria, sambil sesekali mencium aromanya. Berakhir ke dalam keranjang sepeda.
"Bulan, sebenernya.. bunga-bunga ini buat apa sih? Apa kamu mau tanem di rumah?" Satria melontarkan pertanyaannya dengan penasaran.
Bulan tampak menunduk kala itu. "Bukan, sebenernya, hari ini tuh.. hari ulang tahun mamaku. Dan, mamaku suka banget sama bunga aster."
Satria mendekatinya. Ia tahu pasti temannya itu tengah merindukan sosok ibunya, yang genap satu bulan lalu telah berpulang ke Râhmâtullâh. Kadang Satria merasa kasihan saat melihatnya murung seperti itu.
"Bulan," panggilnya pelan, sembari menyentuh pundak kecil itu. "jangan sedih ya. Aku jadi ikutan sedih kalo liat kamu sedih."
Bulan mengangkat kepala menatap Satria yang lebih tinggi dua puluh sentimeter darinya dan kelopak mata lentik itu mengerjap beberapa kali.
"Aku gak sedih, aku cuma kangen aja sama mama."
"Kamu bisa anggep mama aku itu mama kamu, kalo kamu mau."
"Iya, Satria, makasih ya.."
Dia hanya mengangguk kecil.
"Ohya, sekarang kita ke makam mama dulu ya, aku mau ziarah sebentar."
"Siap, peri kecil!" Satria mengangkat tangan di samping kepala, hormat. "sampai ujung dunia pun aku bakal ada nemenin kamu."
Bulan tersenyum. Ia percaya pada Satria, percaya sekali. Mungkin karena dirinya yang masih terlalu kecil dan polos untuk mengenal istilah 'gombal' walaupun di sisi lain Satria juga sebenarnya bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Pergi lagi, dan Bulan masih sama seperti tadi, duduk beradu punggung dengan Satria selama perjalanan mereka naik sepeda, menuju salah satu tempat peristirahatan terakhir yang berada di kawasan itu.
Sepuluh menit berlalu. Kini Bulan sudah sampai di dekat sebuah batu nisan bertuliskan Agnesa Pramudita binti Rahmat. Dimana di sekeliling makam itu mulai ditumbuhi rumput.
"Selamat ulang tahun, ma. Bulan dateng bawa kado spesial buat mama. Semoga mama suka ya, Bulan yang petik sendiri loh."
Matanya terlihat berair saat Bulan meletakkan sekumpulan bunga aster berbagai warna yang sudah diikat tangkainya menjadi satu itu di depan batu nisan tersebut.
"Ma, Bulan kangen banget sama mama, Bulan kangen dipeluk sama mama. Hidup Bulan rasanya sepi gak ada mama, biasanya dulu mama yang anter Bulan sekolah, tapi sekarang.. sama bibi. Papi terlalu sibuk sama pekerjaannya, ma. Bahkan, cuma sarapan bareng aja.. jarang banget."
Tetes demi tetes cairan bening itu berjalan menuruni pipi Bulan, ketika menyentuh dan mengusap batu nisan itu, tempatnya sekarang mengadu. Dan memperhatikannya, tidak ada yang Satria lakukan selain diam.
"Mama sukanya cuma dateng ke mimpi Bulan, rasa-rasanya Bulan mending gak usah bangun aja biar bisa sama-sama terus sama mama." Bulan menyeka ingusnya yang ikut-ikutan turun dari hidungnya.
Satria sempat terkejut mendengarnya.
"Tapi gak bisa, ma, karena setiap subuh pasti Bulan udah kebangun sendiri gara-gara ayam Satria kokoknya kenceng banget."
Barulah, ketika mendengar namanya disebut Satria langsung mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Tepat, Bulan juga segera menegok ke arahnya, yang berada di sisi lain makam itu, atau di hadapan Bulan sendiri.
"Kenapa jadi ayamku yang disalahin?" gumam Satria.
"Ini dia ma, orangnya ada disini. Makin jelek kan?" gadis itu kembali menatap batu nisan itu. "tapi Bulan seneng maen sama Satria, dia baik."
Helaan napas keluar dari bibir Satria saat gadis dengan poni rambut jatuh lurus sampai menutupi alisnya itu terdiam dengan muka cemberut. Satria ikut mengusap batu nisan itu.
"Tante Agnesa, selamat ulang tahun ya.. Satria selalu doain supaya tante Agnesa bahagia di Surga. Pokonya tante tenang aja, walaupun tante udah gak ada di sisi Bulan lagi, Bulan anak tante yang cantik ini bakalan selalu dijagain kok sama Ksatria. Bukan Ksatria baja hitam ya tante, tapi Ksatria yang ganteng ini. Atau Satria aja lah, gak usah pake K, ribet."
Kini Bulan tidak lagi sedih, air mata yang tadinya membanjiri pipi kini sudah tak berbekas, tapi berubah menjadi senyum. Dan ini berkat Satria, gurauan kata-katanya.
Di depan makam Agnesa, Satria berucap dengan penuh kesadaran kalau dia akan menjaga Bulan. Dan kini anak laki-laki itu juga tersenyum memamerkan deretan gigi rapihnya. Sampai-sampai Bulan bungkam sendiri memperhatikannya.
Sama halnya Satria. Hingga mereka sama-sama beralih untuk memunguti dedaunan kering yang mengotori makam itu, dalam kebisuan dan hembusan angin yang sejuk.
Mama sayang Bulan, Satria terimakasih..

Bình Luận Sách (32)

  • avatar
    FahriZul

    saya sangat suka

    05/07

      0
  • avatar
    NgarsoDenbagus

    ceritanya bagus

    14/06

      0
  • avatar
    SiapaGa tau

    bucin sekali

    11/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất