logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

7. Merasuk

Kepulan asap mengebul keluar dari mulut Shaka dan saling bergerumul di udara siang ini, bersama Jafar yang duduk sambil melipat kaki di atas kaki satunya. Dua murid itu menghabiskan waktu istirahat mereka di rooftop sekolah. Shaka yang mempunyai kesulitan dalam mengungkapkan segala rasa dalam batin, kerap kali menjadikan rokok sebagai alternatif penenang jiwa.
Pun, semilir angin yang berhembus di area rooftop tak pernah membuat Shaka bosan. Bermenit-menit Shaka dan Jafar menatap lurus ke depan, menghisap dalam-dalam pangkal rokok jenis kretek itu hingga mulut dan hidung ngebul. Seiring dengan putung rokok itu perlahan terbakar sedikit demi sedikit, sesekali Shaka menyentil ujungnya hingga abu berjatuhan ke lantai semen itu.
"Ka, sebenernya lo tuh beneran gebet Shaina gak sih?" Jafar akhirnya membuka pembicaraan setelah berlarut-larut keduanya hanya saling bungkam seribu bahasa.
Shaina lagi Shaina lagi, seakan hidup Shaka berporos dengan Shaina. Belum lagi dari kemarin juga Shaka masih dipusingkan soal Shaina. Terhitung sejak kalah taruhan saat adu panco tempo hari, gadis payah itu sangat bertekad memasuki kehidupan Shaka dengan segala ekspektasi dalam kepala cantiknya. Jika hari-hari sebelumnya Shaina hanya bisa ngebatin Shaka, maka ibarat kata kehadiran Jafar menjadi perantara yang mengantarkan Shaina ter-koneksi dengan Shaka.
Shaka menghela napas jengah. "Gatau."
Karena memang sejujurnya ia tidak tau, dalam berbagai hal-termasuk berteman, Shaka jarang sekali memakai perasaan dan lebih dominan menggunakan logika. Shaina itu cerewet dan mudah bergaul, sementara Shaka lebih tertutup dan pelit bicara, jika dilogika dua manusia yang bertolak belakang seperti ini pasti akan sulit menemukan chemistry, kecocokan. Perhitungannya mungkin akan serumit Limit Trigonometri di jangkauan tak hingga.
"Gue liat-liat, lo ngerespon Shaina. Pas dia pingsan aja kemarin lo peduli sama dia kok, kalo misalnya lo emang masa bodo bisa aja kan lo biarin dia semaput di lapangan? Tapi, lo bersedia aja tuh, ngebawa Shaina ke UKS dan nungguin sampe sadar. Rekor banget sih, menurut gue, untuk seorang Azi Shaka Zhouvishan Ravardhan yang notabene an-ti sama makhluk berjenis kelamin cewek." kata Jafar dengan penuh penekanan dan senyum jail.
"Cie~ Shaka.." lanjutnya.
"Karena itu keadaan darurat, Tapir!" Shaka membuang putung rokoknya kesal dan menginjak-injak dengan ujung sepatu. "lo ngerti konteksnya gak sih, keadaan darurat!"
"Sori-sori nih, Ka, kita bicara soal kenyataan aja, gausah main konteks. Ya .. coba aja lo pikir, misalnya nih kemarin yang pingsan itu bukan Shaina, tapi .. guru BK! Badannya gendats segede hulk, gitu, apa lo juga bakal gendong ke UKS?" tanya Jafar dengan bibir berkedut menahan tawa.
"Lama-lama lo rese ya, ya kaga lah!"
"Nah, kan!" tawa Jafar kian meledak melihat raut wajah Shaka yang ditekuk sepet. "udahlah, Ka, c'mon! Masa lo gak pernah sekalipun ngerasain cinta? Punya pacar, ada yang perhatiin, ngingetin makan, diucapin selamat pa-"
"Urusin hidup lo, gak usah repot-repot ngurusin gua." gerutu Shaka acuh tak acuh. Akibatnya, Jafar semakin terbahak dan terpingkal-pingkal. Sungguh kali ini Shaka benar-benar tidak bisa diajak bercanda soal perasaan.
Jafar sekali lagi menghisap rokoknya sebelum melempar ke sembarang arah, dan mendaratkan tepukan keras di pundak Shaka. "Kita itu sodara. Gua gampang gebet cewek manapun sesuka hati gue, tapi lo sebaliknya, lo rada seret, gak salah dong kalo gua pengen bantuin lo?"
Seret. Dikira rejeki? Kata itu melengking pake banget di telinga Shaka. Pantasnya disebut saudara macam apa seperti itu? Menyebalkan. Sejurus kemudian Shaka menghempaskan tangan Jafar yang bertengger pada pundaknya, dan beranjak pergi dengan muka berengut.
"Babi." umpat Shaka nyaris tak terdengar, tapi Jafar menanggapinya lagi-lagi dengan gelak tawa kegelian.
"Ka, saran gue lo kudu gercep! Soalnya bang Ervan pasti gak bakal diem liat lo deket ama Shaina!" suara bariton khas Jafar mengaung kencang di udara sepersekian detik sebelum Shaka sempat menarik gagang pintu rooftop.
Persetan.
Di antara keramaian yang tercipta di sekitar lapangan basket outdoor, Shaina dan Dera duduk bersama di salah satu bangku beton. Menonton segelintir cowok kelas sebelas IPS-2 tengah bermain basket. Termasuk Ervan, dimana sejak tadi dia selalu melemparkan senyum ke arah Shaina disela-sela mendribble bola dengan gesit, sambil berlarian kesana-kemari sesekali bolak-balik badan hingga berakhir bola ditembakkan Ervan ke dalam ring.
"WHUUHUUUUUUUUU!!!"
Semarak tepuk tangan yang meriah dan juga sorakan kencang seketika tertuju kepada si vokalis KepriBand itu, selain ahli dalam bidang tarik suara ia juga mahir bermain basket, sebagai tolak ukur kadar gengsi seorang cowok. Berulang kali Ervan mampu menjebol ring dari berbagai arah lapangan, disertai lompatan tinggi penuh percaya diri Ervan selalu berhasil memasukkan bola dengan mulus.
"KAK ERVAN CAYOOOO!!!"
Tak henti-hentinya Dera meneriakkan namanya diantara kebisingan. Terkadang, Dera juga menjerit kesenengan saat mendapat senyuman di wajah tampan itu, tanpa menyadari sebenarnya senyum itu untuk Shaina. Namun tak apa, tidak ada masalah, Shaina hanya geleng-geleng.
"Dasar fans fanatic." gerutunya pelan. Tidak berselang lama arah pandang Shaina tak sengaja menatap di satu sudut koridor, dimana Shaka berjalan sendiri dengan satu tangan tersimpan di saku celana. Tak peduli hingar-bingar di lapangan, wajahnya kusut seperti baju tidak disetrika.
"Dera, gue cabut duluan ya." Shaina bangkit pergi tanpa menunggu jawaban dari Dera yang terlalu fokus nonton.
Perlahan Shaina melangkah menjemput ke arah Shaka, dan menghadang di depannya sembari memainkan buku-buku jari. Saat itu juga Shaka berhenti dan bertemu mata dengan Shaina, yang sejak pagi tadi belum menyapanya. Aroma rokok kental sekali melekat di badan Shaka, hingga membuat Shaina refleks mengusap cuping hidungnya.
"Dari mana aja?" tanya Shaina pelan, sesaat mengulum bibir agak gugup mendapati tatapan tajam itu. "masih marah ya? Kalo boleh jujur gue paling gak betah marahan, Ka, seriusan. Gue minta maaf untuk kesekian kalinya sama lo, gue .. minta .. maaf, gue mohon lo jangan marah lagi."
Shaina memang terlalu polos, dia suka melakukan apapun yang dia inginkan. Contohnya saja meminta maaf, satu hal yang mungkin memiliki taraf gengsi yang tinggi untuk dilakukan bagi sebagian orang. Tapi, tidak dengan Shaina, bahkan ia terlihat tulus dan mudah saat mengatakannya.
"Shaka, jangan diem terus." kali ini Shaina memegang lengan kekar Shaka. Ajaib, telapaknya yang terasa dingin seketika merobohkan benteng kerasnya hati Shaka.
"Shaka, pliss maafin gue .." lagi, Shaina merajuk, seraya menggigit bibir, kali ini turut memasang puppy eyes.
Sial. Rasanya Shaka tidak kuasa dihadapkan dengan kilatan manic mata Shaina yang entah mengapa begitu melemahkan hanya kurun dari dua detik. Sejenak Shaka menarik napas panjang dan melepaskan tangan Shaina.
"Gue gak marah, tapi jangan pernah lagi lo menunjukkan ekspresi kaya gitu depan gue ngerti?" Shaka mengangkat telunjuk persis di depan mata Shaina sebelum akhirnya berlalu pergi. Meninggalkan Shaina yang mematung dengan sudut bibir mengembang mode slow motion.
Membius. Shaina hebat. Boleh ge-er tidak ya?
"Shaka tunggu!" Shaina sontak berbalik dengan kilat dan mengejar punggung kokoh itu dengan langkah seribu.
Bagaikan bunga-bunga tengah bermekaran dalam hati, Shaina mengikuti kaki Shaka pergi dengan senyum yang tak ingin pudar. Ternyata mengarah ke taman belakang. Shaka duduk di tanah berumput di bawah pohon sembari menekuk kedua kaki, disusul Shaina yang selonjoran di sisinya dan mendengar kicauan burung gereja bersama.
"Dasar penguntit." gerutu Shaka.
Dan Shaina acuh buang muka. "Biarin."
Keduanya asik melihat pemandangan hijau sekeliling. Sepi, namun suasana begitu tenang. Sesekali Shaka menyugar rambutnya sambil menikmati semilir udara.
"Oiya, Ka, tadi gue baru download lagu. Lo mau dengerin bareng gak?" Shaina menyeletuk seraya merogoh sesuatu di saku roknya. Ponsel dan juga gulungan kabel putih.
"Lagu apa?" tanya Shaka.
"Makanya dengerin."
Begitu kabel earphone itu telah menyumpal telinga satu sama lain dan terhubung dengan ponsel, Shaina menekan tombol putar tepat pada musik yang dikehendakinya. Perlahan petikan gitar mengalun dengan tempo pelan.
Kita pernah coba hempas
Kita pernah coba lawan
Kita pernah coba melupakan
rasa yang meradang
Kau bilang perbedaan ini
bagaikan jurang pemisah
Maka biarkan aku menyeberang
dan coba berjuang
Dalam diamnya, Shaka sempat memandangi Shaina yang ikut bersenandung kecil menatap ke bawah. Amat merdu dan penuh penghayatan. Shaka sampai tidak berkedip selama memperhatikan pergerakan bibir pink itu, dan setiap inchi lekuk wajah Shaina yang bersih natural dari kening, hidung, pipi, hingga turun ke dagu. Damai sekali, akibatnya ada sesuatu yang bergetar dalam diri Shaka.
Tetaplah di sini, jangan pernah pergi
Meski hidup berat, kau memilikiku
Ketika kau sakit, ketika hatimu terluka
Ku 'kan menjagamu hingga napas ini habis
Rebahkan saja lelahmu
dan duduklah di sampingku
Berhenti melawan kata hati
yang tak pernah salah
Mendekati detik-detik melodi terakhir. Shaka tetap tak bergeming dan mendengarkan dengan sepenuh hati. Penulis lagu itu ternyata sangat romantis, samar-samar Shaka membayangkan jika berada dalam posisinya.
"Gue ingin menjadi seperti makna yang tersirat dalam lagu ini deh, Ka." Shaina angkat bicara seraya melepas kabel earphone itu dari telinganya, begitu pula Shaka.
"So sweet gak sih, Ka? Kita bertahan, dalam .. kondisi apapun. Ketika kau sakit, ketika hatimu terluka, ku 'kan menjagamu hingga napas ini habis." Shaina melantunkan bait yang disukainya, lalu tersenyum manis ke arah Shaka.
"Mellow-mellow gitu, lo suka?"
"Resapi dong, Ka, liriknya."
"Dasar baperan." umpat Shaka.
Simple. Me-munafik-kan keadaan. Shaka mengalihkan pandangannya ke depan, bersamaan dengan itu Shaina mendengus sebal hingga bibirnya manyun. Padahal ia pikir Shaka akan memberikan tanggapan ataupun penilaiannya tentang "berjuang" tapi ternyata tidak.
"Hati lo tuh terbuat dari apa sih, heran gue suwer deh. Masa sedikit aja lo gak tersentuh gitu, Ka?"
"Harus emang?" tanya balik Shaka.
"Ya, gak juga sih." Shaina menggaruk belakang kepala. "tapi gue masih heran, terus hati lo bakalan luluh dengan apa? Gue yakin kok, sebenernya hati lo gak sedingin dan se-kaku sikap lo. Gue percaya pasti hati lo hangat dan lembut sama orang-orang yang lo sayang. Ya 'kan, Ka?"
Sayang.
Kata itu terngiang-ngiang di kepala Shaka.

Bình Luận Sách (91)

  • avatar
    milakarmilah

    keren bgt cerita nya ..ga ribet,ga drama,singkat padat n jelas,suka banget aku...sukses selalu kakak🥰

    26d

      0
  • avatar
    Puspa

    bagus saya suka shaina

    11/08

      0
  • avatar
    MaurantiVia

    kayaknya seru ini cerita

    30/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất