logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Menikah

Minggu sore, aku menyempatkan ziarah ke makam Hanum. Hanya membacakan Surat Yasin dan tahlil singkat. Tak mampu aku lama-lama di tanah kuburnya, takut tangisku meledak sedangkan tak ada yang menenangkanku di sini.
Minggu sore aku balik untuk tugas yang sudah menanti di Situbondo. Ibu dan ayah ikut denganku. Mereka begitu mengkhawatirkan keadaanku. Sedangkan anak-anakku, Mereka sementara pasrah pada Dika, supaya bisa memperhatikan adik-adiknya, terutama Rasya.
Satu bulan kulalui tanpa semangat, lebih tepatnya tubuh ini layaknya robot, hanya mengerjakan apa yang biasanya kukerjakan, tak ada yang bisa membuatku tersenyum. Hingga pada akhirnya ibu memaksaku untuk menikah lagi. Tentu saja sama jawabanku, aku menolak.
Hingga suatu malam, ibu menyodorkanku sebuah foto seukuran buku saku.
"Le, kamu kenal perempuan ini?" tanya Ibu tiba-tiba.
Aku mengerutkan kening sejenak, mencoba mengingat wajah dalam foto yang ada di tangan ibu.
"Sepertinya kenal, Bu. Seperti pegawai di kantorku," jawabku singkat.
"Cantik?"
"Cantik, kan perempuan. Ibu juga cantik."
“Cantikan mana ibu sama yang di foto ini?”
“Cantikan ibu lah … tapi banyakan dia, kan masih muda he he he” jawabku sambil terkekeh.
Sontak ibu langsung menguwel-uwel rambutku yang sebelumnya memang sudah tak karuan, sekarang jadi seperti sarang burung.
Kupaksakan diriku untuk terlihat bahagia, agar ibu tak lagi memaksaku menikah. Hal yang paling sulit untuk kulakukan karena aku ingin jodohku satu-satunya hanya Hanum, tak ada yang lain.
“Mau cantik ataupun tidak, ibu yang paling nomer satu buatku.”
Ibu langsung mengeluarkan jurus senyum manisnya yang selalu membuatku meleleh, lalu aku meletakkan kepalaku di pangkuannya agar beliau leluasa mengelus rambutku.
"Ibu kemarin minta sama pegawaimu, supaya mencarikan salah satu karyawanmu yang belum menikah, yang pantas mendampingimu. Ada sepuluh foto wanita yang mereka sodorkan tadi, sudah ibu seleksi. Ibu sepertinya cocok dengan wanita ini," sambil memperlihatkan sekali lagi foto wanita berjilbab, yang umurnya jauh di bawahku.
"Ibu ... kan sudah aku bilang, aku belum mau menikah," aku mulai merajuk.
"Sampai kapan kamu terus menangisi Hanum? Lihatlah badanmu! semakin kurus dan tak terurus. Tidak ada gagahnya sama sekali. Kamu itu seorang direktur, bagaimana bisa dihormati orang banyak kalau badanmu saja loyo begini."
"Terus, mau ibu gimana?"
"Menikahlah, biar ada yang merawatmu. Nanti aku yang mencarikan jodoh untukmu."
"Bu, tanah kuburan Hanum belum kering. Belum juga empat puluh harinya, tolong, jangan bahas masalah pernikahan lagi. Aku malu dengan diriku sendiri jika menikah lagi.
"Aku tak akan menyuruhmu menikah lagi jika keadaanmu tidak memprihatinkan seperti ini."
Agak lama aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang dikatakan ibu. Memang benar, aku memang memprihatinkan. Setiap aku bercermin, aku seperti tak mengenal bayangan itu.
"Entahlah, Bu. Aku sudah berusaha. Tapi tolong, jangan memaksaku untuk menikah."
Kutengadahkan wajahku keatas, agar air mataku tak jatuh.
"Sudahlah, Le. Nurut sama ibu. Ini demi kebaikanmu juga."
"Terserah ibu saja."
Akhirnya aku menyerah dengan keinginan ibu, yang selama ini tak pernah sekalipun kutolak. Semangat hidupku sekarang hanya ibu dan anak-anak. Jadi sebisa mungkin aku menuruti apa yang mereka mau.
Tepat seminggu setelah acara empat puluh harinya Hanum, ibu melamar Nabila untukku. Iya, namanya Nabila, wanita yang dulu fotonya disodorkan padaku. Dia janda dengan anak yang masih balita dan umurnya masih tiga puluh empat tahun. Suaminya meninggal karena kecelakaan ketika anaknya berumur dua tahun, sehingga dia menjadi tulang punggung keluarga sampai saat ini. Keluarga Nabila menerima dengan senang hati lamaran ini. Tentu saja mereka tak akan menolak, karena ini adalah kesempatan emas mereka, menikah dengan seorang direktur.
Seketika aku teringat Hanum lagi. Dia yang menemaniku dari aku yang belum punya apa-apa dan hanya mencicipi sedikit waktu dari kesuksesanku. Sekarang, ketika aku berada di puncak karir, dia meninggalkanku, dan orang lain yang akan menikmatinya.
Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan oleh kedua pihak, dua puluh hari sebelum acara seratus harinya Hanum. Tak ada yang membelaku untuk menolak pernikahan ini. Jadi, aku tidak menolak juga tak mengiyakan. Menolak pun juga percuma, nanti pasti ibu akan memaksaku lagi. Sedangkan ketiga anakku, hanya Rasya yang menolak rencana pernikahan ini, namun setelah diberi pengertian oleh ibu, bahwa pernikahan ini untuk menjaga kewarasanku, akhirnya dia luluh juga, meskipun kulihat dia mengangguk dengan terpaksa. Sama denganku.
Rasanya aku menjadi orang yang paling munafik di dunia ini. Mengakunya cinta mati pada istri, tapi belum genap seratus hari, aku sudah menikah lagi. Ah dasar lelaki, selemah itu ternyata. Lelaki macam apa aku ini.
******
'Qobiltu nikahaha wa tazwijaha Nabila Hapsari binti Abdurrohman bil mahril madzkur haalan'
Usai mengucapkan kalimat sakral itu, hatiku berulang kali meminta maaf pada Hanum, karena telah membiarkan orang lain memasuki kehidupanku.
Ijab kabul dilakukan di rumah Nabila di Situbondo. Semua keluargaku hadir, kecuali Rasya. Dia menolak ikut, karena ada ulangan di sekolahnya. Aku tahu itu hanya alasannya saja, karena dia sebenarnya menolak pernikahan ini.
Resepsi pernikahan tak diadakan, karena kami sama-sama pernah menikah, jadi hanya tasyakuran sederhana di rumah Nabila. Semua tak keberatan. Akupun sebenarnya juga malas jika harus ada resepsi dan bertemu banyak orang. Pernikahan ini sebenarnya memalukan buatku. Semua pasti menggunjingku karena terkesan terburu-buru, tak menunggu acara seratus harinya istriku.
Usai acara, aku memboyong Nabila ke rumah dinasku. Sedangkan rombongan keluargaku langsung balik ke Sidoarjo.
Rumah dinas ini punya tiga kamar. Kamar utama ada kamar mandi dalam. Sedangkan kamar lainnya harus puas dengan kamar mandi luar yang ada di samping dapur. Segera aku masuk kamar, namun sebelumnya aku berpesan pada Nabila, agar menempati kamar selain yang kutempati. Aku belum siap untuk berbagi kamar dengan wanita lain. Entah sikapku ini benar atau salah, tapi aku tak mau memaksa diri untuk terburu-buru menerimanya. Semoga saja Nabila mau mengerti dengan keputusanku.
Rutinitas di kamar kembali kulakukan, aku menciumi baju Hanum dan berulang kali kuucapkan permintaan maaf. Tiba-tiba ponselku bergetar, ku lirik, ternyata panggilan dari SMP Surya Bakti.
"Assalamualaikum. Maaf, apa ini dengan Ayahnya Rasya?"
"Iya, betul."
"Maaf, saya guru BP SMP Surya Bakti, mau mengabarkan kepada Bapak, bahwasanya kemarin Rasya bolos sekolah pada jam sesudah istirahat, dan pada hari ini dia tidak masuk sekolah tanpa izin. Apa ada keterangan mengenai Rasya, Pak?"
Kabar apalagi ini? Setahuku Rasya adalah anak yang rajin, anggota OSIS pula. Kenapa jadi begini, Rasya?
Sebenarnya ada apa dengan Rasya? Kenapa dia sampai bolos sekolah?

Bình Luận Sách (65)

  • avatar
    RachmanAchmad

    sangat sedih

    20/08

      0
  • avatar
    MingAsmir

    cerita bagus

    17/07

      0
  • avatar
    Tantri Tantra Octaviani

    ceritanya bagus sekali, saya suka

    30/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất