logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Kehilangan

Kehilangan

Sofia hana


Chương 1 Dekatnya kematian

"Bagaimana dengan keadaan istri saya, Dok?"
"Maaf, ginjalnya sudah parah, jadi kemungkinan tidak bisa tertolong. Berdoa saja, Pak, semoga nanti ada keajaiban."
Tubuhku langsung luruh, meratapi bagaimana nasibku jika hidup tanpa istriku. Istri yang telah menemaniku selama dua puluh satu tahun.
Tidak, aku tidak boleh lemah. Yang menentukan hidup mati hanyalah Dia. Aku akan minta PadaNya, agar jangan mengambil istriku secepat ini. Kataku dalam hati.
Aku sholat duha disamping istriku, kemudian kuambil Al Qur'an, dan mulai membaca surat Yasin tiga kali. Aku berdoa dengan khusyuk, memohon PadaNya, agar tak mengambil istriku. Aku dan anak-anakku masih sangat membutuhkannya. Berharap, air mataku yang menetes deras ini mampu membujukNya agar tak mengambil nyawa istriku.
Tiba-tiba saja napas istriku seperti tersengal, dan semakin berat untuk bernapas. Aku takut.
"Ma, Maaf kalau selama ini papa masih belum bisa jadi suami yang baik. Jangan tinggalkan kami, kami masih butuh kamu. Bertahanlah, demi kami." Sambil tergugu aku mengatakannya. Sungguh tak pernah aku merasa ketakutan sehebat ini.
Tiba-tiba dia sadar, membuka matanya sedikit dan mengatakan sesuatu padaku dengan suara lirih, karena terhalang alat bantu pernapasan yang di letakkan di hidung dan mulutnya.
Aku mendekatkan telinga ke mulutnya.
"Pa, ma--ma ju--ga miin--ta ma--af."
Aku langsung memeluknya, tak ingin aku berpisah dengannya.
"Bertahanlah, Ma ...."
Napas istriku semakin berat, seolah kesusahan untuk bernapas. Aku langsung memencet tombol untuk memanggil perawatnya.
"A--ku ggaak ku--at, Pa. Laaa ilaaa ha illallaaaaah."
Napas istriku berhenti begitu saja setelah mengucapkan kalimat itu. Aku langsung menjerit memanggil istriku, memeluknya tanpa ingin berpisah. Ingin ku protes pada Tuhan, kenapa harus istriku yang di panggil. Dokter dan perawat pun datang kemudian memeriksa istriku. Dokter menyatakan istriku sudah tiada.
Ketiga anakku yang berada di luar ruang ICU, mulai diperbolehkan masuk. Mereka menangis sesenggukan, kecuali anak bungsuku. Tak ada air mata yang keluar, hanya kesedihan yang tertahan dimatanya.
Kami merangkul istriku bersama-sama untuk terakhir kalinya. Entah bagaimana nasib kami tanpamu, Ma.
❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️
Aku, Dimas. Seorang direktur perusahaan yang baru dua bulan ini ditempatkan di daerah Situbondo. Wajah putih, tampan dan bersahaja, itu yang selalu dikatakan istriku bila sedang merayuku.
Istriku, Hanum, adalah seorang istri yang baik dan bisa diandalkan. Berwajah cantik, putih bersih dan agak pendek. Tubuhnya dulu imut dan langsing, namun agak berubah setelah melahirkan anak bungsuku. Gendut, begitu yang selalu dia keluhkan ketika di depan kaca. Yang paling penting, dia berjilbab. Ini yang menyebabkan aku jatuh cinta padanya, meskipun bentuk tubuhnya berubah. Tak sekalipun dia keluar rumah tanpa menanggalkan jibabnya.
Hanum masih tinggal di Sidoarjo, karena sebelumnya memang aku ditempatkan di daerah ini. Sekitar tujuh belas tahun aku ditugaskan di daerah ini, sehingga aku memantapkan untuk membuat rumah di daerah ini juga.
Sebuah kafe aku buatkan untuk dikelola istriku disamping rumah. Bukan karena aku ingin istriku membantu perekonomian kami, bukan. Gajiku sangat cukup untuk membiayai kami berlima bahkan kami masih bisa mengirim uang untuk orang tua kami. Hanum memang ingin membangun usaha, yang nantinya akan diturunkan pada anak kami. Dia ingin ketiga anak kami nanti bisa mandiri dengan memegang usaha sendiri-sendiri. Sampai sebegitunya istriku memikirkan nasib anak-anaknya.
Kami dikaruniai tiga jagoan. Yang sulung, Dika. Dia sudah kuliah jurusan ekonomi semester 6. Yang tengah, Bahfi. Dia masih SMA kelas 10. Dan yang bungsu, Rasya. Dia masih SMP kelas 8. Diantara mereka, yang paling dekat dengan ibunya adalah Rasya, mungkin karena dia anak terakhir, jadi paling disayang oleh ibunya.
❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️
Jenazah istriku dibawa pulang ke Sidoarjo. Dengan mobil ambulans. Aku sudah meminta izin cuti selama seminggu dari perusahaan. Dua harinya sudah kugunakan ketika menunggui istriku di rumah sakit. Jadi, sisa lima hari saja, sebelum aku balik ke Situbondo.
Aku menghubungi keluarga Hanum yang di Malang dan memberi kabar tentang kematian anaknya. Tak lupa keluargaku yang di Tuban, juga kuberi kabar. Mereka bergegas berangkat menuju rumah kami.
Sore hari, mereka sudah tiba di kediaman kami. Tangis mereka pecah karena kehilangan anaknya. Seolah mereka bicara, mengapa tidak kami dulu yang dipanggilNya. Begitulah kasih sayang orang tua, tak bisa rela jika anak mereka mendahuluinya.
Sedangkan orang tuaku, tak ada tangis di mata mereka. Karena mereka tak begitu dekat dengan Hanum. Semua keluarga bahkan tetangga, mengenal Hanum sebagai sosok istri yang taat, tapi hanya pada suaminya, bukan pada mertuanya. Kata tetanggaku yang tak sengaja kudengar, arep bojone gak arep emake.
Pernah suatu saat, ketika ibuku menginap di rumah kami, karena ada suatu acara. Hanum sama sekali tak menghiraukan ibuku, seolah ibuku adalah orang asing. Bukan tak pernah aku menasehatinya, agar lebih memperhatikan ibuku, tapi dia hanya mengiyakan tanpa tindakan. Jadi, ketika ibu ke rumah, aku yang memasak untuk beliau, karena Hanum hanya mau memasak untukku dan anak-anak saja.
Sebelum jenazah istriku disemayamkan, ketiga jagoanku memeluk Hanum sekali lagi, mereka berkali-kali meminta maaf padanya atas kenakalan mereka, sampai para pelayat ikut menangis menyaksikan duka anak-anakku. Itulah istriku, sangat dekat dengan anak-anaknya, dia adalah ibu idaman bagi mereka, dan istri idaman bagiku. Sungguh, kami tak rela jika tubuhnya dimakamkan dan sendirian disana. Ingin sekali aku menyusulnya dan menemaninya di liang lahat, tapi bagaimana dengan anak-anakku nanti.
Malam hari, banyak pelayat yang mengaji di rumah. Kami semua mendoakan Hanum, agar tenang disana dan diterima disisiNya. Setelah mereka bubar, akupun masuk kamar. Membuka lemari pakaian Hanum, mengambil salah satu bajunya, dan menciumnya sambil tergugu. Sampai akhirnya aku tertidur dengan duduk dan memeluk bajunya.
Esoknya, aku ke ruang tamu. Disitu terpampang foto keluarga, tentu ada foto Hanum juga. Air mataku tiba-tiba menetes. Ibuku yang menangkap basah aku yang sedang menangis, akhirnya menasehatiku.

"Seng sabar, Le. Kabeh wong mesti kapundhut. Seng ikhlas, di dungakne ae. Ilingo marang Pengeran, arek-arek ojo sampe gak ke reken."
(Yang sabar, Nak. Semua orang pasti mati. Yang ikhlas, di doakan saja. Ingatlah pada Allah, anak-anak jangan sampai terlantar.)
"Kulo mboten kiat, Bu. Kulo pingin nyusul mawon."
(Aku gak kuat, Bu. Aku ingin menyusulnya saja.)
Hanya pada ibuku, aku berani menangis sekeras-kerasnya. Kutumpahkan segala emosi kesedihan dihatiku.
"Uripmu sek dowo, Le. Pikiren anak-anakmu. Arek-arek sek gurung tatag lak mbok tinggal mati sisan. Opo gak tambah mesakne? Tugasmu, ngarahno arek-arek ben tambah cedek nang Pengeran. Deloken saiki, opo arek-arek gelem sembayang? Onok ibuke, sek onok seng ubrak-ubrak. Lah saiki? Iku dadi tugasmu saiki!
Yo wes, tutukno disek nangismu, sak kapokmu, ben lego atimu."
(Hidupmu masih panjang, Nak. Pikirkan anak-anakmu. Mereka belum bisa mandiri jika kau tinggal mati juga. Apa gak tambah kasihan? Tugasmu, mengarahkan mereka supaya dekat dengan Tuhan. Lihatlah sekarang, apa anak-anak mau sholat? dulu ada ibunya, ada yang nyuruh-nyuruh. Lah sekarang? Itu jadi tugasmu! Ya sudah, puaskan tangisanmu dulu, sepuasmu, biar lega hatimu.)
Panjang lebar ibu menasehatiku. Aku mendengarkan, sambil menyandarkan kepalaku dipangkuannya.
"Aku tahu, Bu ... tapi aku gak kuat ...." ucapku lirih.
Tangan ibu mengusap hangat rambutku. Berusaha menenangkan hatiku yang telah kehilangan sebagian nyawanya. Tangan itu memang menenangkan, dari dulu sampai sekarang.
Mustikaku tlah hilang. Lalu apa artinya aku. Bolehkah aku menyusulmu, Hanum?

Bình Luận Sách (65)

  • avatar
    RachmanAchmad

    sangat sedih

    20/08

      0
  • avatar
    MingAsmir

    cerita bagus

    17/07

      0
  • avatar
    Tantri Tantra Octaviani

    ceritanya bagus sekali, saya suka

    30/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất