logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 4

Esok harinya usai menyelesaikan pekerjaan rumah, pukul sembilan pagi Feri dan Sari beserta kedua putranya berangkat menuju rumah bu Mira. Mereka berempat menaiki motor yang dibeli Feri secara kredit ketika mereka baru menikah. Aldi duduk di depan bersama ayahnya. Sedang Aldo duduk di antara kedua orang tuanya.
Jarak rumah kontrakan mereka dengan rumah bu Mira membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Agak lumayan jauh. Beruntung cuaca hari ini cukup adem.
Selama dalam perjalanan kedua putra kembar mereka tidak berhenti mengoceh. Keduanya senang melihat bis-bis besar sambil menunjuk-nunjuk tiap kali kendaraan yang dinaiki mereka berpapasan. Mungkin kedua bocah berkulit putih itu teringat mainan mereka di rumah yang mirip dengan kendaraan besar yang mereka lihat. Feri dan Sari sesekali menimpali obrolan keduanya. Mereka ikut larut dalam kegembiraan kedua bocah itu.
Karena dibawa mengobrol, tak terasa akhirnya mereka pun tiba di tujuan. Sebelumnya Sari meminta Feri untuk  mampir ke toko kue untuk membeli brownies. Karena ibu mertuanya sangat menyukai penganan yang terbuat dari coklat itu. Kedua putranya juga dibelikan  brownies masing-masing sepotong. Karena ia merasa tidak enak pada ibu mertuanya kalau anak-anaknya nanti meminta brownies yang ia belikan untuk nenek mereka.
"Assalammualaikum." Sari dan Feri mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam." Fahri—adik iparnya yang tengah menjaga warung menjawab salam. Warung ibu mertuanya memang terletak di depan rumah. Melihat kedua ponakan kembarnya datang pemuda itu langsung menghampiri dan menggendong mereka berdua sekaligus.
"Gantengnya ponakan Om Fahri" ucap paman mereka sembari mencium pipi keduanya dengan gemas . Kedua bocah itu pun senang digendong pamannya.
Sari tersenyum melihat keakraban di antara mereka dan merasa bersyukur memiliki adik ipar yang baik yang menyayangi anak-anaknya.
Bu Mira keluar menyambut kedatangan mereka. Sari dan Feri segera menyalaminya. Wanita itu memeluk putranya. Ketika Sari menyalaminya, reaksi Ibu mertuanya hanya tersenyum datar dan tidak ikut memeluknya. Tidak ada basa-basi menanyakan kabar dirinya. Ia pun hanya bersikap maklum.
"Ini ada brownies buat Ibu." Sari mengangsurkan bungkusan plastik berisi sekotak brownies yang mereka beli tadi.
"Nah, begitu, dong! Kalau berkunjung ke rumah Ibu wajib bawakan Ibu makanan!" timpal ibu mertuanya. Ia dan Feri hanya tersenyum saling memandang. Ia lalu memanggil kedua putranya untuk menyalami neneknya. Aldi dan Aldo datang mendekati.
"Sini, salim sama nenek," ucap Sari menyuruh keduanya. Mereka terlihat sungkan menyalami neneknya.
"Nah, begini ini kalau anak-anakmu jarang kalian bawa menemuiku. Lihat, mereka jadi kaya asing sama Ibu. Gara-gara kamu, Sari! Yang ga mau tinggal di sini, jadinya cucu Ibu ga kenal sama Ibu!" omel bu Mira kembali memulai perselisihan. Sari hanya bisa terdiam.
"Ibu!" ucap Feri menegur ibunya.
"Sudah ... sudah. Ayo kita masuk." Fahri yang melihat kejadian itu langsung mendorong mereka semua masuk ke dalam. Bu Mira hanya mencebik. Feri terlihat  muram. Ia merasa tidak enak pada istrinya.
Sari menggenggam tangan suaminya sambil menggelengkan kepala, memberitahunya bahwa dirinya tidak apa-apa.
"Sabar ... sabar," ucapnya dalam hati.
"Kalian menginap di sini, kan?" tanya bu Mira sambil memangku salah satu cucunya. Sari melihat putranya seperti kurang nyaman dipangku oleh neneknya. Bocah kecil itu hanya diam sambil mengutak-utik mainannya.
Mungkin benar apa yang dikatakan ibu mertuanya, pikirnya. Aldi dan Aldo sejak lahir memang jarang mereka ajak bertemu neneknya. Bisa dihitung dengan jari. Tapi hal itu bukan karna ia sengaja tidak mau mendekatkan antara nenek dengan cucunya, tapi ia dan suaminya hanya khawatir kedua putra mereka yang masih kecil akan mudah masuk angin jika dibawa jalan agak jauh.
Mereka selama ini juga jarang pergi-pergi keluar. Paling banter hanya jalan-jalan ke taman dekat rumah.
"Iya, Bu. Kami akan menginap malam ini. Besok baru kami pulang." Feri menjawab pertanyaan ibunya.
Sari teringat rencana mereka yang ingin mencari kontrakan di sekitar sini. Ia pun memberi kode pada suaminya.
"Oya, Bu." Feri yang mengerti kode yang diberikan istrinya berdehem sebentar. "Aku dan Sari sudah memutuskan untuk pindah dekat Ibu. Kira-kira di sekitar sini apa ada rumah yang mau dikontrakkan ya, Bu? Cukup yang murah-murah saja."
Sari diam sambil berdebar menanti reaksi ibu mertuanya.
"Pindah ke sini?" Ibu mertuanya mengulangi pertanyaan putranya. Kelihatan wanita itu cukup terkejut dan seperti tidak percaya mendengar perkataan Feri. Pria itu mengangguk.
"Bagus! Dari dulu kan, memang Ibu maunya kalian tinggal bersama Ibu. Sudah sadar kamu, Sari!?" ucap ibu mertua mengarah menantunya.
Sari terkejut dan merasa gugup.
"Bukan tinggal di rumah ini, Bu. Tapi pindah dekat-dekat sini," terang Feri meluruskan perkataan ibunya.
"Loh, kenapa tidak tinggal di sini saja seperti yang Ibu minta dari dulu!? Jadinya kan kalian bisa menghemat uang, tidak perlu bayar sewa rumah, toh!?" ucap Ibunya terlihat emosi.
Sari mengeluh dalam hati. Senang sekali Ibu dari suaminya itu marah-marah. Dirinya jadi merasa khawatir Ibu mertuanya suatu hari bisa terkena struk.
"Kalau kami tinggal bersama Ibu, kami khawatir Aldi dan Aldo akan merepotkan Ibu. Kalau mereka lagi rewel Ibu pasti akan merasa terganggu. Belum lagi kalau mereka membuat berantakan barang-barang di rumah ini Ibu kan paling gak suka kalau lihat rumah berantakan," ucap Feri panjang lebar mencoba membuat alasan.
Ibu mertuanya terlihat memikirkan ucapan putranya. Dalam hati Sari berharap agar wanita itu mau membatalkan keinginannya. Lagipula kalau ia tinggal di sini ia merasa risih karna ada Fahri yang juga tinggal bersama mereka. Bagaimana pun ia dan Fahri bukan muhrim.
Hal itu juga lah yang menjadi alasannya dulu menyetujui keinginan Feri  untuk inggal terpisah dengan ibunya.
Sari merasa heran kenapa ibu mertuanya tidak memikirkan hal itu juga. Padahal yang ia tahu seminggu sekali wanita yang dihormatinya itu suka mengikuti pengajian majelis taklim dekat rumah. Setidaknya sedikit banyak sudah mengetahui hukum syariat agama mengenai batasan hubungan antara yang bukan mahrom.
Entah mengapa pula siraman rohani yang diterima ibu mertuanya seminggu sekali itu tidak bisa melembutkan hatinya yang keras, terlebih sikapnya pada dirinya selama ini.
Ibu mertuanya mendengus kasar.
"Okelah! Nanti akan ibu carikan kontrakan dekat-dekat sini!" ketusnya.
Akhirnya wanita itu menerima alasan mereka. Ia dan Feri menarik napas lega. Mereka berdua diam-diam saling tersenyum. Tapi, sebuah kalimat yang terlontar dari ibu mertuanya kemudian membuat kami berdua kecut kembali.
"Jangan cari kontrakan yang murah-murah! Cari yang bagusan. Ibu malu kalau anak ibu tinggal di kontrakan yang sempit dan kumuh. Apa kata tetangga ibu nanti?" tukasnya mewanti-wanti.
"Baik, Bu. Semoga nanti kami bisa mendapatkan rumah kontrakan yang bagus dengan harga murah," jawab Feri.
Sari sedari tadi hanya diam dan menyimak. Ia tidak berani berkata apapun, kecuali ibu mertuanya bertanya. Dirinya cukup lelah kalau harus berselisih terus dengan wanita itu.

Bình Luận Sách (214)

  • avatar
    Jaka89

    mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus

    04/04/2022

      0
  • avatar
    TarmiziIzzati

    cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini

    28/01/2022

      1
  • avatar
    PatimahSiti

    good

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất