logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 3

"Assalammualaikum."
Feri mengucap salam sambil mendorong pintu rumah sederhana yang disewanya.
"Waalaikumsalam!"
Terdengar suara lembut Sari—istrinya— menjawab salam. Dilihatnya wanita yang dicintainya itu tengah sibuk menyuapi kedua putra kembar mereka. Sore ini kedua putranya terlihat anteng, tidak seperti kemarin yang kelihatan masih rewel. Sambil menerima suapan ibunya, mereka bermain mobil-mobilan yang pernah ia belikan. Melihat kedatangan ayahnya kedua bocah itu serentak melepas mainannya dan berlomba lari memeluk dirinya.
"Ayaah ...! Teriak mereka dengan suara cadelnya yang membuatnya gemas. Ia memeluk dan menciumi wajah mereka bergantian. Sungguh, nikmat Tuhan mana lagi yang ia dustakan. Rasa lelah sehabis pulang kerja langsung terbayar melihat sambutan hangat dari kedua putra tercinta.
Inilah yang membuat dirinya selalu buru-buru ingin pulang sehabis bekerja. Selain itu ia juga merasa kasihan kalau terlalu lama meninggalkan istrinya yang suka kerepotan mengurus kedua putra kembar mereka yang sedang aktif-aktifnya itu. Tahun ini mereka berdua berusia empat tahun.
Istrinya tersenyum melihat tingkah suami dan kedua anaknya. Wanita berusia 23 tahun itu beranjak menghampiri. Diciumnya tangan suaminya, lalu mengambil alih tas kerja yang terselempang di bahu suaminya.
"Ayok, Aldi, Aldo. Dihabisin makannya, Nak!" ucapnya sembari menggantung tas tersebut di belakang pintu.
Kedua putra kembarnya langsung duduk kembali mengambil mainan mereka. Feri bersyukur melihat kedua buah hatinya menurut apa kata Bundanya. Sari selalu sabar dalam mendidik mereka. Tak pernah ia mendengar sang istri membentak putranya jika melakukan kesalahan. Selalu menegur dengan tutur kata yang lemah lembut.
Dirinya bersyukur dulu dipertemukan dengan istrinya saat ini. Walau ibunya sempat tidak menyetujui hubungan mereka hanya karna Sari cuma seorang pegawai rumah makan. Namun, berkat kegigihan dirinya akhirnya ibunya merestui hubungan mereka. Meskipun cara yang ia lakukan dulu kurang baik, yakni sempat mendiami ibunya. Namun, semua itu ia tebus dengan mendidik Sari untuk selalu sabar dan menghormati ibunya, apapun sikapnya padanya.
Ia akui, sikap ibunya terhadap istrinya sampai kini masih dingin dan ketus. Ia selalu meminta istrinya untuk selalu bersabar. Makanya, dulu sehabis menikah ia memutuskan untuk tinggal terpisah dengan ibunya Biarlah ia terpaksa harus menyisihkan uang untuk membayar sewa rumah tiap bulan, yang penting  istrinya merasa nyaman dan tidak stress. Karna dari rahimnya nanti ia berharap akan lahir anak-anak mereka yang bahagia.
Malamnya, ketika kedua putra mereka sudah tertidur, Feri dan Sari merebahkan diri di ruang depan, beralaskan sebuah kasur tipis sambil berbincang-bincang. Sebuah aktivitas yang sering keduanya lakukan jika malam tiba.
"Mas!"
"Ya, sayang," jawab Feri sambil memeluk istrinya.
Ia berbaring sambil menghadap ke arah wanita yang telah lima tahun menjadi istrinya itu. Sedang posisi istrinya tengah telentang sembari memandang ke langit-langit rumah. Terlihat ada suatu hal yang tengah dipikirkannya. Dirinya menunggu kalimat apa yang akan keluar dari bibir berwarna merah itu.
"Bagaimana kalau kita pindah ke dekat rumah Ibu?" ucapnya kemudian yang sukses membuat dirinya terkejut. Sari menoleh ke arahnya.
"Gimana menurutmu, Mas?" tanyanya lagi melihat ia belum menjawab. Feri bangkit dan duduk menghadapnya. Melihatnya duduk, Sari pun ikut bangkit.
"Kenapa kamu bisa punya ide seperti itu, sayang?" tanyanya tak mengerti.
"Ibu sepertinya selalu mengira kalau aku selalu merepotkanmu, Mas. Memintamu  selalu cepat-cepat pulang sehabis bekerja hingga Mas suka tak sempat mampir ke rumah Ibu,' jawab Sari dengan wajah muram.
"Sudahlah, jangan terlalu dpiikirkan. Aku langsung pulang karna memang sudah kangen sama anak dan istriku yang cantik ini," godanya sambil mencubit hidung bangir sang istri, mencoba menghiburnya.
"Tapi Mas, jika kita tinggal dekat Ibu, Mas kan bisa sering-sering mampir menengok Ibu. Kalau Mas lagi kerja dan aku sedang kerepotan, kan, aku tinggal jalan sebentar ke rumah Ibu," ucapnya menegaskan. Feri terdiam.
"Tapi .. Mas khawatir akan sikap Ibu kepadamu, Sayang. Mas gak mau kamu sedih," ucapnya sambil menangkup wajah wanita yang dikasihinya itu.
"Gak papa, Mas. Aku sudah lebih paham akan sikap ibumu. Doakan agar aku selalu diberi kesabaran. Lagipula ada Aldi dan Aldo. Ibu pasti senang tinggal berdekatan dengan cucunya," jelas Sari sembari tersenyum.
Feri menghela napas.
"Baiklah, Mas pikirkan dulu," jawabnya.
"Lusa hari Sabtu, Mas. Bagaimana kalau kita mengunjungi Ibu. Kan sudah sebulan lebih aku dan anak-anak tidak menengok ibu. Sekalian nanti di sana kita bisa bertanya pada Ibu kalau-kalau ada rumah murah yang dikontrakkan," ucap Sari terlihat bersemangat.
"Baiklah. Tapi bagaimana dengan Aldi dan Aldo? Kalau belum sembuh benar mereka belum boleh diajak pergi," ungkap Feri menyatakan kekhawatirannya.
"Alhamdulillah, sejak kemarin mereka sudah baikan, Mas. Makan pun sudah mulai lahap seperti semula. Mas lihat kan, tadi sore mereka menghabiskan makanan yang kusuapi?"
"Itu mah karena bundanya yang pinter," goda Feri lagi sambil mencubit pipi istrinya. Sari tersipu malu, membuat dirinya gemas untuk menciumnya. Direngkuhnya tubuh sang istri dan mengajaknya kembali ke peraduan.
Keesokan paginya Feri menelpon Ibunya untuk memberitahukan bahwa mereka akan berkunjung hari Sabtu nanti. Dari suaranya, ibunya terdengar senang. Apalagi ketika tahu cucunya akan diajak serta.
"Kalian menginap di sini?" tanya ibunya dari ujung sana.
"Mm ... belum tau, Bu. Nanti Feri tanya sama Sari dulu!" Ups, lidahnya keceplosan.
"Huh, kenapa mesti tanya sama istrimu!? Kamu kan kepala rumah tangganya!' cerocos ibunya terdengar kesal.
"Iya, iya, Bu. Nanti Feri liat kondisi dulu. Karna Aldi dan Aldo kan, belum lama sembuh dari sakit. Takut rewel aja,"
ucapnya memberi alasan.
"Alasan! Bilang saja istrimu gak mau lama-lama ketemu sama Ibu!" sahut wanita itu.
Feri mengeluh, belum juga mereka datang, Ibunya sudah mulai mencari perkara lagi dengan istrinya.
"Sudah dulu ya, Bu. Besok Feri kabari lagi. Asaalammulaikum!"
Buru-buru ia menyudahi permbicaraan mereka. Fyuh! ia menghembuskan napasnya.
"Gimana, Mas? Kamu sudah bilang ke Ibu kalau kita mau datang? apa katanya?" Sari yang baru saja keluar dari dapur memberondongnya dengan pertanyaan.
"Sudah, Sayang. Ibu senang, apalagi Aldo dan Aldi ikut serta," jawab Feri sambil melihat kedua putranya yang tengah bermain di ruang depan. Tentunya tak diceritakannya perkataan ibunya tadi.
"Terus, Ibu bicara apalagi?" tanya wanita itu lagi terlihat penasaran.
"Mm ... tadi Ibu menanyakan apa kita akan menginap," jawab Feri sambil memandangnya lekat menanti reaksinya. Sari terdiam sesaat. Sepertinya sedang berpikir.
"Ya sudah, kita menginap kalau begitu. Mungkin Ibu mau lebih lama bertemu cucunya. Nanti aku akan siapkan pakaian untuk kita menginap," jawabnya seraya beranjak ke arah lemari.
'"Kamu mau ngapain?" tanya Feri melihat Sari membuka pintu lemari baju.
"Ya mau siap-siap dari sekarang, Mas. Biar besok kita ga buru-buru menyiapkan ini itu. Kan, kita mau menginap sampai hari Minggu,' ujarnya sambil mulai menyusun baju-baju yang akan dibawa besok.
Feri mengamati pekerjaan istrinya. Benar-benar istri yang solehah, batinnya. Ia menyesalkan sikap Ibunya yang selalu keras kepada sang istri. Dirinya berharap suatu hari sikap ibunya akan berubah dan tulus menyayangi ibu dari kedua putranya itu.

Bình Luận Sách (214)

  • avatar
    Jaka89

    mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus

    04/04/2022

      0
  • avatar
    TarmiziIzzati

    cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini

    28/01/2022

      1
  • avatar
    PatimahSiti

    good

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất