logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Diatur Mertua

Diatur Mertua

Kartika Dey


Keinginan Mertua

Ting!
Sebuah pesan WA masuk ke ponsel bu Mira. Dari layar pop up, ia melihat nama Sari—menantunya—tertera. Berikut sebaris pesannya.
[Assalammualaikum, Bu)
Wanita berusia 48 tahun itu mendecak kesal. Ia tahu pasti menantunya ingin menanyakan keberadaan Feri—putranya— untuk disuruhnya pulang. Ia pun memutuskan untuk mengabaikan pesan tersebut.
Ia ingin putranya beristirahat sebentar di rumahnya. Karena jika pulang sekarang sampai rumah pasti menantunya akan meminta tolong putranya untuk membantu pekerjaannya.
Padahal dulu dirinya pernah menyarankan mereka agar tinggal bersamanya, tapi keduanya malah menolak, dengan alasan ingin hidup mandiri. Ia yakin, sebenarnya itu hanya alasan menantunya yang merasa tidak nyaman tinggal bersamanya. Putranya pun malah mengikuti kemauan istrinya.
Tiba-tiba, terdengar alunan lagu dari ponselnya. Tertera nama menantunya di layar.
"Tidak sabaran amat, sih!" decaknya dengan sebal.
"Assalammualaikum!" jawab bu Mira dengan malas.
"Waalaikumsalam, Bu. Mau minta tolong bicara sama mas Feri. Sari telpon Mas Feri ponselnya gak aktif."
"Tuh, kan!" batinnya.
"Feri lagi tidur! Memang ada apa sih, Sar? Biar saja suamimu istirahat dulu sebentar di sini!" jawabnya kesal.
"Sari sedang repot di sini, Bu. Aldo dan Aldi dari tadi rewel karna masih gak enak badan. Sari belum sempat masak dan beres-beres rumah. Minta tolong Mas Feri untuk cepat pulang," pinta mantunya panjang lebar.
"Eh, Sari! Suamimu ini capek, baru pulang kerja udah disuruh-suruh!  Kalau gak sempat masak beli saja makanan di luar!" ucap wanita bertubuh gemuk itu dengan nada kesal.
"Tapi Bu, Aldo dan Aldi kan tidak bisa aku tinggal!" terdengar bantahan dari ujung sana.
"Pesan aja lewat online!!" sahut wanita itu lagi sekenanya.
"Kalau pesan online kan lebih mahal, Bu. Ini Sari udah ada bahan-bahan untuk dimasak." protes menantunya kembali.
"Huh! bikin jengkel saja! Mau tak mau terpaksa ku harus membangunkan Feri dan menyuruhnya pulang. Jadi istri kok gak kreatif! Apa-apa minta bantuan suami. Sudah benar dulu mereka aku suruh tinggal bersamaku. Mentang-mentang dulu punya penghasilan sendiri. Mending uang mengontrak rumah mereka berikan padaku. Tinggal nanti aku yang mengatur kebutuhan rumah tangga mereka. Kan lumayan, sebagian uangnya bisa aku pakai untuk keperluanku sendiri," batinnya kesal.
"Ya, sudah. Tunggu suamimu pulang!" ucapnya kemudian. Langsung dimatikannya panggilan tersebut. Ia sudah malas mendengar suara menantunya lagi.
Dihampirinya Feri yang tengah tertidur di kursi ruang tamu. Putranya masih mengenakan pakaian kerjanya. Kaos kakinya pun belum dilepasnya. Hatinya merasa iba melihat keadaan anak sulungnya itu. Tadi siang Ia menelpon putranya supaya langsung mampir kemari sepulang dari tempat kerjanya.
Kebetulan hari ini ia sengaja masak semur ayam masakan kesukaan Feri sebagai alasan agar putranya itu mau mengunjungi dirinya. Karna ia tahu, selesai kerja Feri akan buru-buru pulang ke rumahnya demi membantu pekerjaan istrinya. Itulah sebabnya hingga Feri jarang mampir mengunjunginya. Padahal lokasi kantornya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Bu Mira berdecak kesal. "Punya istri bukannya meringankan tugas suami, malah nambah beban disuruh bantu kerjaan rumah!" keluhnya.
"Beginilah kalau dapat istri bukan wanita karir. Padahal dulu aku berharap kelak punya mantu yang punya pekerjaan bagus. Macam pegawai kantor, atau bahkan PNS. Supaya nanti bisa meringankan tugas putraku mencari nafkah yang hanya seorang karyawan biasa di kantoran. Pun, bisa menggaji seorang pembantu. Apalagi sudah punya anak seperti sekarang. Aku pun nantinya bisa hidup enak tinggal meminta uang dari anak dan mantuku, tak perlu capek-capek buka warung seperti sekarang ini, yang penghasilannya hanya sekedar mencukupi kebutuhan kami sehari-hari. Padahal sebagai wanita, aku kan juga ingin punya perhiasan dan baju-baju yang bagus. Agar para tetangga segan melihatku," ucap batinnya lagi.
"Feri, bangun, Feri!" Bu Mira menepuk-nepuk bahu putranya.
Pria berusia 26 tahun itu menggeliat. Matanya membuka sedikit. Kelihatan masih lelah dan mengantuk. Lagi-lagi bu Mira berdecak kesal. Ingin rasanya ia memaki menantunya saat ini.
"Mm ... ada apa, Bu?" tanya Feri. Kali ini matanya telah membuka sempurna.
"Istrimu, tuh! Tadi nelpon Ibu," jawab bu Mira kesal. "Ah, gara-gara mantuku aku jadi gampang marah-marah. Bikin tekanan darahku naik saja!" batinnya jengkel.
Mendengar istrinya disebut, Feri langsung bangun dan menegakkan tubuhnya.
"Jam berapa ini, Bu?" tanyanya panik.
Bu Mira mendengus kesal. "Jam setengah enam!"
"Waduh! Ibu kenapa gak bangunin Feri dari tadi? Kasihan Sari pasti udah kerepotan nungguin Feri. Apalagi Aldi dan Aldo lagi gak enak badan." Ia pun buru-buru bangkit dari kursi dan mengambil tas kerjanya yang tergantung di belakang pintu.
"Nanti saja pulangnya kan, bisa!" Kamu itu belum lama lho di rumah Ibu," ucap wanita itu mencoba menahan putranya.
"Maaf gak bisa, Bu. Nanti telat Magribnya sampai rumah. Feri pamit dulu ya, Bu," ucapnya tidak mendengarkan saran ibunya. Diraihnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu, lalu menciumnya. Kemudian ia bergegas pergi. Bu Mira hanya bisa kesal dan kecewa menatap kepergian putranya.
"Mas Feri sudah pulang, Bu?" tanya Fahri—putra bungsunya. Ia memiliki dua anak yang semuanya laki-laki.
"Sudah!" jawabnya ketus.
"Ibu kenapa? Kok kaya kesal gitu?" tanya Fahri lagi sambil memandang wajah ibunya lekat.
"Itu, Masmu ... kasihan, masih capek sudah disuruh pulang sama Mbakmu," sungut ibunya.
"Oh, itu. Gak apa-apa lah, Bu. Kasihan juga Mbak Sari harus ngurus sendiri Aldo dan Aldi. Cucu Ibu kan masih kecil-kecil. Harus diawasi terus," ujarnya membela kakak iparnya.
"Halah! Dulu Ibu waktu ngurus kamu sama Masmu gak sampai merepotkan Ayahmu," timpal bu Mira. "Ohya, nanti kamu cari istri harus yang punya kerja, ya! Yang pegawai kantoran. Jangan kaya istri Masmu. Cuma pelayan rumah makan yang ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga juga," cemoohnya.
"Memangnya kenapa kalau jadi ibu rumah tangga, Bu? Nanti aku kalau punya istri juga akan aku larang kerja. Biar aku saja yang mencari nafkah," ucap putranya berencana.
"Apa!? Tidak bisa! Pokoknya calon istrimu nanti harus yang punya kerja! Nanti Ibu yang carikan kalau kamu gak mampu," ucap bu Mira kesal.
"Coba kamu lihat Bu Asih tetangga kita. Dapet mantu kerjanya PNS. Gajinya bagus. Dapat tunjangan ini itu. Bikin mertuanya bangga," sambunnya lagi. Mendengar ocehan ibunya, pemuda itu cuma garuk-garuk kepala.
"Terserah Ibu, lah!" jawabnya sambil berlalu.

"Huh! Cukup si Feri saja yang istrinya gak kerja. Aku akan carikan Fahri calon istri yang sesuai kriteriaku. Mungkin nanti aku bisa minta bantuan tetanggaku, Bu Asih. Siapa tau mantunya punya saudara atau kenalan yang sama-sama bekerja jadi PNS. Biar nanti aku akan kenalkan dengan Fahri. Kebetulan anakku punya wajah cukup ganteng. Pasti banyak wanita yang akan kesengsem. Sayangnya, saat ini Fahri sedang tidak ada pekerjaan. Sementara ini dia hanya membantuku menjaga dan mengelola warung. Tapi tak mengapa. Toh, banyak juga wanita yang tidak memandang pekerjaan suaminya. Yang penting halal," ucap bu Mira kembali membatin.

Bình Luận Sách (214)

  • avatar
    Jaka89

    mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus

    04/04/2022

      0
  • avatar
    TarmiziIzzati

    cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini

    28/01/2022

      1
  • avatar
    PatimahSiti

    good

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất