logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Enam

Mataku membeliak marah dan menatap Stefan tajam. Aku tidak suka dengan orang yang sok memberi perhatian padaku padahal itu hanya sekedar simpati palsu. Luka sekecil ini juga bukan apa-apa buatku karena aku gadis yang kuat. Semenjak kecil tidak peduli sekeras apa pun latihan fisik yang kujalani, meski tubuhku penuh luka, aku pantang memohon belas kasihan, apalagi menangis. Itu pula yang diajarkan guruku karena menunjukkan rasa sakit dan air mata adalah kelemahan.
      "Lepaskan. Aku harus mengejar dia. Jika dia belum jauh, aku masih bisa menemukannya!" seruku.
      "Kau sedang terluka. Apa mengejar orang itu jauh lebih penting bagimu?"
      "Tentu saja, karena itu adalah tugasku."
      Stefan tetap mencekal tanganku erat. Kukepalkan sebelah tanganku untuk memukul dia. Akan tetapi, dia tidak menghindar. Bogem mentah yang hendak kulayangkan hanya berhenti beberapa inci dari wajahnya.
      "Mengapa kau tidak menghindar?" tanyaku gusar.
      "Karena aku tahu kau tidak akan melukaiku. Kali ini kau harus ikut denganku. Kita ke rumah sakit. Dibanding penjahat itu, kau jauh lebih penting."
      Aku mendengus kesal, meski hatiku sedikit tersentuh. Selama ini, tidak ada orang yang begitu perhatian padaku, bahkan Vano sekalipun.
"Sudahlah, kita pulang saja. Aku tidak perlu ke rumah sakit. Luka kecil seperti ini aku bisa mengobati sendiri."
        "Tidak, kau harus ke rumah sakit. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan kau baik-baik saja."
        "Sebaiknya kau menurut saja," ujar teman Stefan yang tadi.
"Kalau tidak dia akan terus memaksamu. Tapi kau luar biasa. Mempertaruhkan nyawa demi Stefan seperti itu. Apa kalian memang tidak ada apa-apa?"
        "Tutuplah mulutmu, Andi!" gertak Stefan. "Aku tidak ada waktu untuk meladeni gosipmu. Sekarang aku harus membawa Nila ke rumah sakit."
***
      Siapa sangka Stefan benar-benar cerewet dan berlebihan. Ia bahkan menyuruh dokter melakukan check-up menyeluruh padaku, padahal dokter yang bertubuh kurus tinggi tersebut sudah meyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Lenganku hanya tergores dan aku seharusnya bisa langsung pulang.
      Aku segera bergegas untuk pergi dari sana, tetapi lagi-lagi Stefan menahanku.
    "Apa lagi? Dokter bahkan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak suka di sini. Kita pulang sekarang!" sergahku.
    "Tidak. Kau harus menjalani rawat inap. Setidaknya untuk malam ini, kau harus tetap di sini!"
    "Aku ini baik-baik saja!"
    "Jangan membantah. Kau harus menurut. Aku ini atasanmu dan kau harus patuh padaku!"
    "Aku ini bukan Vita. Aku tidak selemah dia!" seruku akhirnya. Raut wajah Stefan berubah muram. Sudut bibirnya tampak sedikit melengkung ke bawah. Aku tahu aku salah karena telah melewati batas. Aku seharusnya bersikap tenang dan tidak terpancing. Akan tetapi, sejak dulu aku tidak pernah tahan jika seseorang bersikap sok peduli padaku.
      "Aku tahu kau bukan Vita. Aku minta maaf, tapi aku sama sekali tidak memiliki maksud untuk merendahkanmu. Kau memang benar. Aku bersikap berlebihan. Semua itu karena aku merasa takut ada orang yang meninggal lagi di hadapanku dan aku tidak berdaya," gumamnya pelan.
      Ia kemudian bergegas berlalu. Aku segera mengikuti. Meski suasana sempat tidak mengenakkan antara kami, aku tetap tidak bisa mengabaikan tanggung jawabku.
        "Kau tidak perlu mengikuti aku lagi. Aku ingin menenangkan diri," ucapnya sambil menyusuri koridor rumah sakit.
        "Anggap saja aku tidak ada. Bagaimanapun juga, kau adalah orang yang harus kulindungi. Jika terjadi sesuatu padamu, Pak Harsono pasti akan marah besar padaku."
        "Aku ini hanya sebuah beban bukan? Bahkan kau tidak memperlakukan aku seperti seorang manusia. Aku hanya benda yang harus kaujaga. Sebaiknya kita hentikan saja semua ini. Aku akan memberitahu Pak Harsono bahwa aku tidak butuh perlindungan lagi."
      "Setidaknya pikirkan tentang obat itu. Jika itu jatuh ke tangan yang salah, maka tragedi akan terjadi."
        Stefan memejamkan mata sesaat, ia lalu menggeleng.
"Aku tidak percaya. Bagaimana aku bisa bertahan dengan seseorang yang tidak berperasaan sepertimu? Bagimu yang terpenting hanya menyelesaikan tugas."
          Aku mengangguk.
"Itu benar," tandasku. "Tugasku adalah yang utama. Jadi jangan mencoba menjalin hubungan atau persahabatan yang tidak profesional denganku."
          Stefan hanya mengangguk saja. Ini hal yang benar, tukasku meyakinkan diri. Sebelum semua berlanjut lebih jauh, lebih baik aku membuat pembatas dalam hubungan kami.
***
      Kami berdua akhirnya pergi dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam taksi, Stefan sama sekali tidak bicara padaku. Mungkin dia mulai mengerti tentang hubungan profesional yang kubicarakan dan membatasi diri.
        Saat tiba di rumah, dia langsung pergi ke kamarnya. Aku juga tidak peduli lagi dan bergegas kembali ke kamarku.
        Di dalam kamar, segera kunyalakan kamera. Kulihat Stefan sedang menulis sesuatu. Tidak lama ia bergegas keluar dan menuju ke kamarku.
        "Ada apa?" tanyaku saat membuka pintu. Stefan kemudian menyerahkan kertas tersebut padaku.
        "Di rumah ini, selain Mbok Yah yang hanya datang untuk membersihkan rumah, tidak ada pegawai lain. Jadi, karena sekarang kau juga pegawaiku, kau juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga."
          Aku tertegun sambil menatap tulisan tersebut.
"itu," ujarnya seraya menunjuk kertas di tanganku.
"Aku sudah menuliskan semua yang harus kaukerjakan di situ."
          "Apa maksudmu? Tanggung jawabku hanya melindungi keselamatanmu," tukasku sambil mengulurkan kertas itu padanya.
          "Kalau kau menolak, maka aku akan memberitahu Pak Harsono bahwa kau tidak bisa mengerjakan tugasmu dengan baik. Kau tidak bisa melindungiku, bahkan aku hampir celaka."
        Stefan berhenti berbicara sejenak dan mengangkat bahu.
"Tapi itu semua terserah padamu. Kalau kau memang tidak mau, aku tinggal menelepon beliau."
          Aku diam untuk berpikir. Jika aku gagal dalam tugas kali ini, maka aku akan mendekam di balik jeruji. Akhirnya kuputuskan untuk menyetujui saja perjanjian di kertas tersebut.
          "Baiklah, aku setuju."
          Aku kemudian membaca isinya yang meliputi pekerjaan untuk rumah tangga seperti memasak, mencuci, bahkan membersihkan rumah. Sejenak kuhela napas dan menggeleng.
            "Tetap saja aku tidak bisa melakukan semua ini. Aku dilatih bukan untuk melakukan hal-hal semacam ini."
            Stefan tersenyum tipis.
"Kau tidak perlu cemas. Aku akan mengajari dan membantumu. Lagipula bagaimana mereka melatihmu? Kau seorang wanita yang suatu saat harus menikah bukan?"
            "Aku tidak akan menikah dengan siapa pun!"
            "Apa maksudmu? Lalu bagaimana kalau kau jatuh cinta? Apa kau tidak ingin menikah?"
          Aku terdiam. Dalam kehidupan yang selama ini kujalani, jatuh cinta bukan termasuk di dalamnya apalagi pernikahan. Aku tidak pernah merasakan hal-hal semacam itu tentunya. Perasaan aneh yang sering menggangguku saat ini baru kualami saat bersama Stefan seperti sekarang. Saat ini, degup jantungkupun berdegup dengan tidak teratur saat menatapnya begitu dekat. Apa aku jatuh cinta? Aku tersenyum dan menyanggah pertanyaanku sendiri bahwa itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Mungkin aku hanya merasa sedikit tertarik padanya.
        "Jadi selama ini kau belum pernah jatuh cinta?"
        Pertanyaan Stefan menarikku dari lamunan dan tatapanku kembali padanya.
        "Aku tidak mau jatuh cinta dan tidak punya waktu untuk memikirkan cinta yang konyol serta kekanakan!" jawabku.
        Stefan masih tetap menatapku lekat selang beberapa saat sebelum akhirnya kembali berbicara,
"Aku yakin suatu saat nanti kau akan jatuh cinta. Bahkan saat ini, kau mungkin sedang jatuh cinta tanpa kausadari."

Bình Luận Sách (35)

  • avatar
    SitumorangTheresia

    puas bngttt

    10d

      0
  • avatar
    SaputraNugi

    seru

    17/07

      0
  • avatar
    20Aminatun

    sangat bagus

    04/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất