logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

MENGINAP

BAB 5
MENGINAP
“Zha, malam ini kamu nginap disini ya! Biar Mama yang izin sama Paman kamu! Kasihan Amoora, dia benar-benar tidak mau kamu tinggal!” ujar Danita. 
“Iya, Ma!” sahut Zha. Zha pun juga tidak tega meninggalkan calon putri tirinya itu. Perlahan, Danita pun kembali menutup pintu kamar Amoora.
“Gimana, Ma?” tanya Revan. Danita menggeleng.
“Amoora benar-benar tidak mau ditinggal. Dia sampai mengigau tadi. Mama jadi tidak tega!” sahut Danita.
“Trus, Zhanya bagaimana?” tanya Revan.
“Malam ini, biar dia menginap disini! Mama akan telepon Pak Hendra!” ujar Danita.
“Jangan, Ma! Biar aku saja yang menghubungi Pak Hendra! Mama istirahat saja! Ini sudah malam!” sahut Revan.
“Ya sudah, setelah ini, kamu juga langsung istirahat, ya! Mau kembali ke kamar Amoora sebentar! Kasihan Zha, dia tidur masih pakai baju tadi! Pasti tidak nyaman!” ujar Danita.
Danita pun segera meninggalkan putranya. Sementara itu, Revan segera meraih ponselnya dan menghubungi Hendra untuk meminta izin. 
“Halo, Pak Hendra!” ujar Revan.
“Halo, Nak Revan! Ada apa, ya? Kok jam segini Zha belum pulang, apa terjadi sesuatu?” tanya Hendra cemas.
“Tidak, Pak! Tidak ada apa-apa, hanya saja ... putri saya tidak mau ditinggal. Jadi, saya mewakili Mama meminta izin agar Zha menginap disini malam ini!” ujar Revan.
“Apa tidak apa-apa, Nak?” tanya Hendra khawatir.
“Bapak tidak usah khawatir. Zha aman disini,” sahut Revan. Hendra menghembuskan napas panjang. Dia melirik jam di dinding rumahnya. Sudah hampir pukul 22.00 WIB.
“Baiklah! Paman titip Zha, ya!” ujar Hendra akhirnya.
“Iya, Paman! Jangan khawatir! Terima kasih atas izinnya, Paman!” ujar Revan.
Setelah mengakhiri panggilannya, Revan segera mendorong kursi rodanya sendiri ke kamar. Kamarnya terletak di lantai satu, di sebelah kamar tamu yang digunakan Zha untuk berganti pakaian tadi. Dulu, Revan menempati kamar atas di sebelah kamar Amoora. Namun, karena kondisinya, akhirnya dia dipindahkan ke kamar bawah untuk memudahkan mobilitasnya. Begitupun dengan kamar Amoora juga dipindahkan ke bawah di sebelah kamar papanya agar papanya bisa sering-sering melihatnya. Sebelum masuk ke dalam kamarnya, Revan melirik sekali lagi ke arah kamar putrinya, lalu mengulas sebuah senyuman.
*****
Tepat pukul 03.00 dini hari, Zha terbangun. Dilihatnya, Amoora telah terlelap. Perlahan, Zha menuruni tempat tidur dan melangkah menuju kamar tamu. Dia ingat, kemarin sore saat berganti pakaian, disana ada mukena dan Al-Qur’an. Zha ingin menjalankan ibadah salat tahajud dan bermurojaah seperti kebiasaannya di rumah.
Revan yang berada di kamar sebelahnya dan memang sudah bangun, mendengar suara orang mengaji. Sesuatu yang jarang dia dengar di rumah ini. Meski lirih, namun dia bisa menikmati lantunan ayat suci Al-Qur’an itu. Revan meletakkan pekerjaannya dan memilih menikmati lantunan ayat suci itu. Tanpa sadar, sebuah senyuman kembali terbit di bibirnya.
Zha menyudahi murojaahnya dan menjalankan ibadah salah subuh. Setelah selesai, dia segera keluar dari kamarnya dan melangkah menuju dapur. 
“Non Zha cari apa? Biar saya ambilkan!” sapa Bi Siti.
“Eh, gak kok, Bi! Bibi mau masak apa?” tanya Zha.
“Mau buat nasi goreng sama soto ayam, Non!” sahut Bi Siti.
‘Sudah, Bi, biar saya saja yang masak! Bibi kerjakan pekerjaan yang lain!” ujar Zha.
“Jangan, Non! Non Zha kembali ke kamar saja! Bibi gak enak sama nyonya!” sahut Bi Siti.
“Sudah, Bi, gak papa! Saya sudah biasa kok! Lagian, gak enak di kamar gak ngapa-ngapain!” ujar Zha keukeuh.
“Beneran ini, Non?” tanya Bi siti lagi memastikan.
“Iya, Bi!” sahut Zha.
“Ya sudah, kalau begitu Bibi tinggal ya! Bibi mau ngepel depan!” pamit Bi Siti.
“Iya, Bi! Silahkan!” sahut Zha.
Setelah Bi Siti pergi, Zha segera beraksi. Setelah bertempur hampir dua jam, masakan Zha pun sudah siap. Dengan dibantu Bi Siti, Zha menghidangkan masakannya di meja makan. Sambil menata, Bi Siti memberikan penjelasan mengenai tata cara menata makanan di rumah itu. Zha pun menyimak dengan seksama. Ini merupakan ilmu baru baginya. 
“Wah, sarapannya sudah siap nih!” ujar Danita saat memasuki ruang makan.
“Iya, Nya! Ini tadi yang masak Non Zha semua!” sahut Bi Siti.
“Benarkah? Wah, pasti enak nih!” sahut Danita.
“Bi, tolong lihat Amoora ya, sudah bangun apa belum!” ujar Danita.
“”Biar saya saja, Ma!” sahut Zha.
“Ya sudah, sana!” ujar Danita.
Zha pun segera masuk ke dalam kamar Amoora. Saat membuka pintu, Zha mendapati Amoora tengah menangis di atas tempat tidurnya. Melihat Zha masuk, Amoora segera beranjak turun dan berlari menyongsong Zha, lalu memeluknya dengan erat.
“Ada apa, Sayang? Kenapa bangun tidur nangis?” tanya Zha lembut sambil memeluk Amoora. Mendengar putrinya menangis, Revan yang baru keluar dari kamarnya pun mendekatinya.
“Tadi, saat aku bangun, Mama gak ada. Aku pikir Mama pergi!” sahut Amoora di sela isak tangisnya ambil melepaskan pelukannya. Zha tersenyum mendengar jawaban Amoora.
“Maaf, ya, Sayang! Tadi Mama masih masak!” sahut Zha.
“Mama gak akan pergi lagi, kan? Mama akan disini terus, kan?” tanya Amoora lagi.
Zha kembali tersenyum. Dia tak tahu harus menjawab apa.
“Kita mandi yuk! Mama mandiin, ya!” ujar Zha mengalihkan pembicaraan. Amoora mengangguk dengan girang. Revan sedari tadi hanya memperhatikan mereka. Dia tidak ingin mengganggu interaksi keduanya.
Setelah selesai mandi dan mengenakan seragam sekolahnya, Amoora dan Zha segera menuju meja makan.
“Wah, cucu Oma sudah cantik!” sapa Danita.
“Iya, dong!” sahut Amoora ceria.
“Amoora mau makan sama apa?” tanya Zha.
“Cama soto ayam saja!” sahut Amoora. Meski dia menggunakan bahasa cadelnya, namun Zha bisa memahaminya. Zha menyuapi Amoora dengan telaten. 
“Kamu juga makan, Zha!”
“Iya, Ma!” sahut Zha.
“Amoora, nanti Papa antar ke sekolah ya!” tawar Papanya.
“Iya, sama Mama juga kan?” tanya Amoora. Revan pun mengangguk. Amoora pun tersenyum bahagia. Hari ini, dia bisa memamerkan Mama barunya kepada teman-temannya. Setelah selesai sarapan, mereka pun segera berangkat. Sepanjang perjalanan, Amoora tak henti-hentinya berceloteh, namun Zha dengan telaten menjawab semua celoteh Zha. 
Sesampainya di halaman sekolah, Amoora mengajak Zha turut serta masuk ke sekolahnya. Sambil mendorong kursi roda Revan, Zha menemani Amoora hingga tiba di depan kelas.
“Selamat pagi, Pak Revan!” sapa Bu Aini, wali kelas Amoora.
“Selamat pagi, Bu Aini!” sahut Revan. 
“Halo, Amoora! Itu mbaknya yang baru ya?” tanya Bu Aini.
“Bukan, Bu! Itu Mamaku!” sahut Amoora bangga.
“Apa?” sahut Bu Aini tampak terkejut, lalu menatap Revan.
“Iya, Bu. kenalkan, ini calon istri saya. Setelah kami menikah, kedepannya nanti dia yang akan mengantar dan menjemput Amoora!” sahut Revan.
Bu Aini menatap Zha dari atas hingga ke bawah dengan sinis. Ini wanita pilihan Pak Revan? Apa tidak salah? Meski mengenakan pakaian yang terlihat berkelas, tapi tetap lebih canti aku, ujar Bu Aini dalam hati. merasa diperhatikan, Zha menunduk dengan tidak nyaman.
“Maaf, Bu, kami permisi dulu! Saya titip Amoora ya!” ujar Revan.
“Iya, Pak, tentu saja!” sahut Bu Aini sambil tersenyum semanis mungkin. Setelah berpamitan, Zha segera mendorong kursi rodanya kembali ke mobil. Bu Aini menatap kepergian mereka dengan cemburu. Kali ini, Revan memilih duduk di bangku belakang bersama Zha. Zha yang merasa kurang nyaman, duduk di pojokan menempel di pintu. Sebenarnya Revan ingin tertawa namun ditahannya. Dia takut Zha akan merasa semakin kurang nyaman.
“Zha, ini untuk kamu!” ujar Revan sambil menyerahkan sebuah paperbag. Dengan ragu, Zha menerima paperbag tersebut.
“Apa ini?” tanya Zha.

Bình Luận Sách (80)

  • avatar
    MardianaDina

    cerita nya bagus saya suka baca nya

    29/07

      0
  • avatar
    kayukuiki

    aku mau diamond gratis soal nya diamond ku jadi nol karena diambil orang yang tidak dikenal karena dia mempu nyai diamond dia jadi sultan

    29/07

      0
  • avatar
    Alfaijin Ramadhan

    100

    28/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất