logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Kehilangan

***
Hari ini lagi lagi langit mendung. Bersiap memuntahkan isinya dengan penuh gairah. Beberapa kali kilat menyambar, diringi dentuman gemuruh yang lantang. Tapi kampus tetap ramai. Tidak ada pengaruh sama sekali. Orang orang tetap bersemangat melaksanakan kewajibannya untuk belajar.
"Ve!". Lagi lagi Ares berteriak ketika melihatku. Namun hanya ku balas dengan lambaian tangan. Entah kenapa rasanya malas sekali untuk bercengkerama dengan orang lain.
"Lemes banget sih. Kenapa lagi?". Ares langsung menghampiriku karena tidak mendapatkan respon positif dariku.
"Enggak. Lagi males aja". Jawabku seadanya.
"Kenapaaaaaa?". Ares bertanya lagi dengan penuh penekanan.
Belum sempat menjawab, ponselku berdering kian nyaring. Aneh sekali, tidak seperti biasanya. Mungkin ada hal mendesak.
"Halo". Tanpa pikir panjang, ku jawab dengan santai.
"Ve, pulang sekarang ya". Ucap seseorang di seberang sana dengan suara bergetar. Dia kakak ku. Dan pikiran pikiran aneh mulai berkecamuk dalam otakku. Mencoba menerka apa yang sedang terjadi.
"Iya, Ve pulang sekarang". Segera ku akhiri telepon dari kak Pandu. Ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku terlalu takut untuk tau.
"Kenapa Ve". Ares menyadarkanku.
"Enggak. Aku harus pulang. Aku duluan ya". Ku tinggalkan Ares dengan langkah super cepat.
"Aku anter ya". Ares menghentikan langkahku. Menggenggam tanganku dan kami langsung berangsut pergi.
Aku hanya diam di sepanjang perjalanan. Membayangkan kemungkinan apa saja yang terjadi di rumah. Dan setidaknya aku harus mulai menyiapkan mental. Aku harus siap dengan apapun keadaannya nanti.
"Tenang. Nggak akan ada apa apa. Sebentar lagi sampai". Ares mengusap tanganku yang tengah berpegang pada jaketnya. Suara itu cukup menenangkan meski samar, tertutup dengan suara angin dan kendaraan lainnya yang berlalu lalang.
***
Perjalanan yang begitu panjang, namun terasa begitu singkat. Aku terlalu hanyut dalam pikiranku.
Tanpa disadari kami sudah hampir sampai. Tepat di depan gang, bendera merah tertancap. Seketika kaki ku lemas.
Otakku lebih dulu mencerna perkataan kak Pandu. Semua pemikiran itu benar. Ini kenyataan pahit yang harus ku hadapi.
"Enggak apa apa. Ada aku". Lagi lagi Ares menenangkanku. Digenggamnya tanganku dengan sebelah tangannya, karena dia masih harus mengendarai motor.
Tapi perkataan Ares tidak berarti apa apa. Pertahananku hancur. Dadaku terasa kian menyempit bersamaan dengan air mataku yang keluar silih berganti. Lidahku kelu, tak kuasa membalas perkataan Ares. Semuanya terasa seperti tercekat di tenggorokan.
Sampai di rumah, aku langsung menghambur masuk. Kak Pandu langsung menyambutku dalam pelukannya. Matanya kian sembab.
"Sabar ya. Ibu udah pergi". Ucapnya terisak.
Rasanya seperti tersambar petir. Kalimat itu, entah kenapa aku sangat membencinya. Tangisku pecah. Tak ada yang bisa aku ucapkan kecuali hanya isakan.
Aku melepas pelukan kak Pandu. Melihat lebih dekat. Dan seberapun aku menepis, kenyataan pahit itu memang benar. Ibu sudah terbujur kaku dalam pembaringan.
Duniaku seperti runtuh, luluh lantah tidak bersisa. Belum selesai pendidikanku tapi ibu sudah pergi. Menyusul ayah di surga. Sesak sekali rasanya. Belum sempat ku bahagiakan mereka, belum cukup aku berbakti. Tapi mereka sudah pergi.
Tapi aku bisa apa. Meratapi kepergiannya pun tidak bisa membuat mereka kembali. Bagaimanapun juga aku harus ikhlas agar ibu bisa beristirahat dengan tenang. Kehidupanku harus tetap berjalan agar tetap bisa membanggakan. Meskipun mereka hanya dapat melihatnya dari surga.
***
"Yang tabah ya". Seorang tetangga menepuk pundakku saat di pemakaman.
"Sabar ya Ve, kalau ada apa apa bilang ke tante". Ucap tetangga lainnya.
Sementara aku hanya tertunduk diam dalam isakanku. Rasanya sakit sekali. Belum genap setahun sepeninggalan ayah, kini aku harus merasakan lagi kehilangan yang begitu memuakkan untuk selamanya.
"Rasanya emang berat. Tapi kamu masih punya aku". Ares memegang pundakku. Membisikkan kalimat penguatan untuk kesekian kalinya.
Namun aku terlalu lemah untuk bertahan. Ku peluk dia, dan tangisku kembali pecah. Isakan isakan itu mulai tak terkendali. Ares mengerti. Dia menenangkanku, mengelus punggunggu beberapa kali.
"It's oke. Nangis aja sesuka kamu. Biar lega". Bisik Ares padaku.
Sakit sekali rasanya. Begitu sesak. Tapi aku tidak tau bagaimana melontarkannya selain dengan tangisan. Kalau boleh, aku ingin bertanya pada Tuhan. Kenapa harus aku? Apa belum cukup dengan mengambil cinta pertamaku? Kenapa sekarang harus mangambil lagi sandaranku? Padahal belum genap setahun. Perbuatan keji seperti apa yang aku lakukan sampai harus dihukum seperti ini. Kalau memang aku sangat berdosa, harusnya Tuhan ambil aku saja.
***
"Maaf. Ibu jatuh di kamar mandi. Aku pun baru tau setelah kerja. Waktu sampai ke rumah sakit, kata dokter ibu udah gak ada. Aku yang salah. Aku terlambat". Suara kak Pandu terdengar sangat berat. Mencoba menjelaskan padaku saat rumah sudah mulai kondusif.
"Kalau aja aku ga kerja, pasti gaakan jadi kayak gini". Lanjutnya lagi.
"Semua salahku". Kak Pandu terus menyalahkan dirinya sendiri diantara isakannya.
"Stop". Teriakku. Tak tahan dengan ucapan bodoh kak Pandu.
"Kalau aja aku nggak telat ke rumah sakit...". Kak pandu masih bersuara.
Muak dengan penuturannya, ku layangkan tamparan untuk menyadarkannya. Berulangkali menyesal dan menyalahkan diri sendiri tidak akan mengubah apapun.
"Bisa diem nggak? Semua udah terjadi. Yaudah. Gausah di sesali. Kita sama sama bodoh karena enggak bisa jaga ibu". Teriakku lagi.
Tiba tiba hujan turun dengan begitu derasnya. Mengisyaratkan bahwa langit mungkin turut berduka. Atau setidaknya ikut berbelasungkawa.
Aku dan Kak Pandu sama sama salah. Aku harus menyelesaikan kuliahku, dan aku harus kos karena jarak dari rumah ke kampus sekitar 3 jam. Tidak mungkin aku bisa pulang pergi setiap hari. Sementara Kak Pandu terpaksa harus mendewasakan dirinya lebih cepat untuk jadi tulang punggung keluarga. Setidaknya Ayah sudah berbaik hati merintis bisnis sejak kami masih kecil, jadi setelah ayah pergi kak Pandu yang meneruskan.
Waktu itu, ayah tiba tiba kena serangan jantung. Dengan panik kami pontang panting ke rumah sakit. Sayangnya ayah tidak tertolong. Itu pertama kalinya aku merasa hancur. Padahal ayah sudah berjanji untuk datang ketika aku wisuda nanti. Tapi ternyata Tuhan jauh lebih sayang pada ayah.
Mungkin kak Pandu merasakan trauma yang sama. Telat memberikan pertolongan ke rumah sakit. Aku bisa paham jika dia menyalahkan dirinya sendiri. Tapi sudah takdir kami seperti ini. Bukan salah kak Pandu jika ayah dan ibu pergi ke surga.
"Maafin kakak ya". Kata kak Pandu sekali lagi.
"Kita yang salah. Nggak perlu minta maaf. Udah jalannya begini". Ucapku dengan suara agak bergetar.
Ku peluk kak Pandu dengan erat untuk saling menguatkan. Karena sekarang kami hanya memiliki satu sama lain. Dia keluargaku satu satunya.

Bình Luận Sách (41)

  • avatar
    whana pullunknirwanawhana085co,id

    bagus sekali ceritax....

    30/06

      0
  • avatar
    GiyaiDebora

    Hai lagi apa ngapain perkenalkan nama saya Deborag

    09/06

      0
  • avatar
    hhImah

    bagus delali

    01/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất