logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Keputusanku

“Heh, kok ada kamu?” suara sinis perempuan paruh baya. Mendongak refleks, aku yang tengah menjahit, dengan otak terngiang ucapan Tante Mel tadi sampai tak sadari ada orang di depanku.
Bengong. Aku lihat ke arah teman-teman lain, mereka tampak sama terkejut.
“Siapa suruh kamu kerja di sini?” Dia mengulang pertanyaan dengan mata memelototiku.
Tenggorokkan ini tercekat. “A-ada apa ya, Bu?”
“Ada apa, ada apa? Sok polos kamu!” Wanita berambut keriting sebatas bahu itu kemudian menanyakan di mana Pak Kung.
“Lagi keluar, Bu.” Seorang teman senior di meja jahit belakang menjawab.
Wanita yang belum pernah kulihat ini keluarkan handphone besar dari tas tangan, menghubungi Pak Kung dengan suara nyaring, mengundang perhatian. Apa yang keluar dari mulutnya itu membuatku terhenyak di tempat.
Ternyata dia ini saudara keluarga lelaki jahat itu. Suara teleponnya di-speaker.
“Mau apa nampungin kerja orang yang buat Jordi mau gil*, Bang?! Aku kenal keluarga itu baik, anaknya ya rusak gara-gara orang ini. Orang sok suci!”
Aku berdiri, seluruh tubuh terasa menegang. Mata ini bertatap langsung dengannya yang menampakkan raut bengis.
Dia menutup telepon setelah menyarankan Pak Kung memecatku. Lelaki yang kukenal baik sebelumnya terdengar tak bisa apa-apa.
“Kamu keluar sukarela sekarang, daripada dipecat.”
“Maaf, Bu. Bos saya Pak Kung, bukan Ibu.”
“Kurang aj** kamu!” Tangan kanannya terayun, aku mengelak mundur refleks gunting pemotong benang kusambar untuk berjaga-jaga.
“Saya keluar dari sini nunggu keputusan Pak Kung, Bu.” Suara ini gemetar. Aku sudah kerja empat hari, akan terima bayaran per minggu, sesuai hasil kerjaku. Sudah terkumpul lumayan. Aku pikir akan keluar kalau sudah terima gaji.
“Melawan, ya.” Wanita berbaju kuning terang ini keluarkan lagi hapenya, mengarahkan kamera ke sini.
Apa … dia merekamku?!
“Ini orang yang sudah buat ponakanku mau bunuh diri di penjara. Jordi yang awalnya baik-baik jadi seperti berandalan, Jordi penurut jadi pemarah sekarang, ya, gara-gara anak ini!” Dia sepertinya membuat video.
Muka ini terasa terbakar.
“Lihat, semua. Dia gaya ngancam pakai gunting, tuh lihat di tangannya.” Hapenya diarahkan ke tanganku, segera kulepas gunting itu ke lantai.
“Orang gini, ni, memang layak diviral. Nah, nah, lihat saja mukanya itu.” Kamera makin mendekat ke wajahku, muka yang terasa sudah mati rasa, tubuh ini pun menggigil menahan emosi.
“Bohong! Ibu ini yang mau pukul saya tadi.” Aku gemetar membela diri, kutunjuk teman sekerja. “Itu teman-temanku saksinya! Mereka lihat siapa yang benar!”
“Eh, eh, coba kalian jawab. Dia itu bohong, ‘kan?” tanpa rasa bersalah diarahkan kamera ke teman-temanku. Membuat mereka yang rata-rata anak muda itu berdiri, lalu menjauh, seakan-akan takut takut ikut terekam.
Makin ciut nyaliku.
“Lihat, mereka semua tau dia yang salah,” ledeknya sembari tergelak tanpa suara, terus menyoroti mukaku.
Orang ini sengaja cari masalah. Andai tak ingat Bu Fris sudah kubanting hapenya itu.
Kusambar tas di sebelah bangku kerja, lebih baik pergi daripada meladeninya.
Sepeda yang kupakai kerja—pinjaman Bu Fris—kugowes cepat, meninggalkan suara cempreng yang meneriakiku bagai penjahat.
Tulikan telinga, kuanggap itu tertuju untuk orang lain, bukan padaku.
Di belakang punggung ini mungkin dia puas, merasa menang atasku. Entahlah, aku hanya belajar tak ingin memedulikan.
Dengan ujung kerudung, kuhapus air mata yang tak tertahankan mengalir.
Ayolah, Sekar. Biarkan. Lepaskan. Biarkan saja mereka … belajarlah lepaskan rasa ….
*
Menghibur diri, sepeda kugowes perlahan, menikmati belaian angin menerpa wajah. Dingin. Kuresapi belaiannya sampai ke hati.
Sampai di depan jalan Pelita, sebelum masuk gang ke rumah Bu Fris aku mampir ke Rumah Makan Uda. Beli rendang, gulai nangka, daun singkong, dan sambal ijo. Dua porsi, tanpa nasi. Hmm, air liurku langsung terbit cium bau sambal khas ini.
Aku biasa beli lauk matang begini tanpa nasi, lebih seringnya ya di rumah makan Padang ini, karena kebetulan seleraku dengan Bu Fris sama.
Di halaman ada Avanz* terparkir, kuseret sepeda ke sisi tembok halaman. Ternyata tamu itu Pak Irwan dan kedua orang tuanya. Aku menyalami mereka sebelum ke belakang. Lelaki tinggi dengan kulit sedikit legam, guru olahraga di sebuah SD, aku tahu mereka berteman sejak awal tinggal di sini.
Setelah menyimpan plastik belanja di meja makan, aku ke kamar, ingin meluruskan pinggang. Berbaring nyaman sambil meredam sisa emosi atas semua kejadian hari tadi.
Samar terdengar dari sini kalau Pak Irwan dan keluarga akan melamar Bu Fris. Rencana akan ke kotamadya minggu depan. Ternyata selama ini hubungan mereka lebih dari teman, ah, aku sangat terlambat tahu itu. Bu Fris bahkan tak pernah cerita.
Terasa ada sesuatu nyeri di dalam dada. Aku akan sendiri. Kalau Bu Fris menikah sudah pasti aku harus pindah ….
Membekap mulut dengan selimut, kutahan suara melepaskan tangis. Hanya untuk mengurai sesak di dada ini. Beberapa saat bisa kukendalikan diri. Beranjak duduk, kutekan-tekan permukaan wajah dengan telapak tangan.
Tak boleh mengasihani diri sendiri. Kebahagiaan Bu Fris akan jadi sendu kalau aku malah berkeluh kesah. Cukuplah dua kejadian tadi kuanggap drama, mereka hanya berperan sebagai antagonis sementara, aku pun berperan sebagai objek penderita juga sementara. Semua yang sementara rugi terlalu ditangisi.
Kembali ke dapur, kucuci wajah biar segar.
Ternyata tamu Bu Fris pas mau pulang juga, mereka di luar, lalu tak lama suara mobil menyala.
Kupindahkan makanan dari plastik ke mangkuk.
“Tumben cepat pulang, Sekar? Gak bawa tugas lembur juga?”
Biasanya aku bawa kain yang belum selesai untuk lanjut dikerjakan malam, lalu bawa lagi besok pagi ke tempat kerja. Dengan begitu upahku lumayan banyak, karena dihitung per pekerjaan selesai.
“Sekar berhenti, Bu.” Mata ini kembali panas saat mengatakannya. Lekas aku menuju keran, membasuh muka lagi.
“Kenapa?” Bu Fris sudah duduk di kursi makan, memerhatikanku.
Kuterbitkan senyum kecil seraya mengusapkan handuk di wajah. “Ternyata Pak Kung saudaraan sama penjahat itu Bu.”
Diam sejenak Bu Fris seperti mencerna maksudku.
“Apa mereka mengungkitnya?”
Sedikit menggeleng, aku terpaksa bohong. “Nggak nyaman aja, Bu,” jawabku sekenanya.
“Ah ya. Selamat ya, Bu. Dengar-dengar Pak Irwan mau ngelamar.”
Pipi Bu Fris langsung merona, beliau bertanya darimana aku tahu.
Kusatukan ujung jempol dan telunjuk. “Suaranya tadi sedikit masuk kamar,” ujarku tertawa menggoda.
“Iya, Sekar. Doakan lancar, ya.”
“Aamiin. Akhirnya ketemu jodoh juga ya, Bu.”
“Begitulah, ibu juga nggak sangka kalau Pak Irwan itu menyelam sambil minum air.”
“Hah, maksudnya, Bu?”
Tergelak sejenak. Rona bahagia di wajah Bu Friskelly amat kentara. “Kayak Yandi itu, Sekar. Berteman sambil mengenal, trus tiba-tiba ngelamar.”
Aku tersenyum getir. Teringat lagi kalimat mamanya Yandi tadi.
Ya, mereka sama. Tapi akhirnya yang beda. Aku tak direstui, sementara Bu Fris ….
Agh! Harusnya aku nggak membandingkan diri, tapi … kenapa tetap saja aku merasa berbeda ….!
*
“Lagi ngapain?”
Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai.
“Hee, kerjaan iseng, Bu.”
“Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku.
“Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit.
“Kreatif.”
“Daripada bengong, Bu.”
“Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS.
Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan.
“Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.”
“Mudah kok, Bu.” Aku sudah duduk di belakang mesin, satukan kain di bawah jarum yang bergerak cepat.
“Iya, kelihatannya.” Bu Fris tergelak, beliau memang tampak sedang ceria. “Kalau bisa jahit ibu mau buat pakaian bayi,” ujarnya sedikit ragu.
Senyam-senyum aku menangkap maksudnya. Guru cantik ini pasti tak sabar punya momongan. Semoga saja setelah nikah nanti cepat diberikan.
“Ibu jangan takut, sebelum Ibu bisa jahit, kalau udah ‘isi’ nanti pesan sama Sekar aja. Insya Allah Sekar akan buat.”
“Boleh, boleh banget. Jadi kita akan kerjasama, ya. Ibu pesan, kalau bagus ibu akan bantu promoin.”
Membelalak mata, terasa ada lampu berpijar terang di atas kepala.
“Beneran, Bu? Apa lebih baik usaha mandiri aja, ya. Tapi bukan terima jahitan, Sekar belum pede bikin pesanan orang, ilmunya masih kuasai dasar. Salah-salah bisa rusakin kain orang.”
“Bikin yang gampang aja dulu, trus jual. Ibu bisa usahakan dukung modal awalnya, gimana?”
“Aaaa!” Gegas berdiri, langsung kupeluk erat Bu Fris.
“Bu, ini ide hebat. Makasiih, Bu. Bu Fris memang terbaik sedunia,” pujiku masih memeluknya erat-erat.
Suara ponsel Bu Fris menghentikanku.
“Sebentar, Sekar.” Handphone ber-casing silver itu ada di meja ruang tengah, Bu Fris ke depan lalu kembali, menyodorkan ponsel ke tanganku.
“Yandi.”
Ragu kuterima, sembari permisi menjauh.
Salamku dibalas Yandi cepat.
“Kenapa nomornya nggak aktif?” Sudah kuduga pasti langsung tanya itu.
“Ng, maaf, Yan. Hapenya … hilang.” Menggigit bibir bawah, aku meringis. Lupa siapkan jawaban untuk ini.
Di sana dia diam sesaat.
“Yan?”
“Apa kamu bilang tadi?” Ternyata dia nggak dengar. Terpaksalah bohong lagi.
“Hapenya hilang ….” Kali ini ternyata kalimatku lancar.
“Mau bohong, ya?”
“Enggak. Memang hilang!”
“Hilang di mana? Ceritain.” Dia kembali diam, dan aku mulai gugup.
Ya ampun, aku belum siap mengarang cerita ….
“Sekar?”
“I-itu hilang dari tas.”
Argh!
“Trus?”
“Ya, hilang gitu aja, Yan.”
“Kamu nggak tanya siapa yang ambil?” Ampun … dia masih mengejarku untuk melanjutkan kebohongan ini. Telapak tangan terasa makin dingin.
“Tanya juga, tapi nggak ada yang ngaku ….” Aih, dustaku terasa ngambang.
“Oh ya? Emang di mana hilangnya?” Nada suaranya terdengar sedikit mengejek. Apa Yandi curiga?
“Di tempat kerja.”
“Ohh. Ya sudah tutup dulu, biar aku telpon Pak Kung-“
“Jangan!”
Upss!
Menepuk jidat, aku lupa sebelum berangkat Yandi ini minta simpan nomor Pak Kung, alasannya waktu itu kalau aku sakit, atau lagi nggak bisa masuk kerja dia yang izinkan aku ke bos. Dia anggap dirinya itu wali aku.
Agh! Gimana ini?!
“Kenapa …?”
Kugaruk-garuk kepala yang tak gatal.
“Kamu bohong, ‘kan? Haa, aku udah nebak dari awal.” Tawa lepas dan renyah.
“Jadi maksudnya ini ngerjain?”
“Siapa? Kamu kali yang ngerjain, Sayang. Seharian aku nelpon, nge-chat sampe puluhan, ternyata nggak aktif-aktif juga.”
“Ya sudah kita udahan aja.”
“Sekar? Kok, dikit-dikit ngomong udahan gitu. Sakit tahu dengarnya. Aku lagi berjuang buat kita.”
Arg! Yan, kamu nggak tau aku juga sakit kalau kamu berharap gini ...!
“Besok aku kirim yang baru-“
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Aku bisa beli sendiri!”
“Oh, aku transfer, ya.”
“Yandi!” Suaraku menaik, jadi setengah teriak.
Dia terdiam. Dada ini perih, merasa ada sesal sudah meneriakinya.
Aku sulit menolak kamu, Yan. Aku suka semua yang kamu lakuin, tapi … hubungan kita hanya akan nyakitin orang tuamu. Berhenti. Jangan buat rasa ini membesar lagi.
“Yan, udahan, ya. Hape Bu Fris sudah panas. Ass-“
Belum selesai kuucap salam Yandi memutuskan panggilan sepihak. Seketika hati ini terasa terlepas dari tempatnya.
Perih!
*
Hari ini aku putuskan akan pindah, berusaha melepaskan ketergantungan pada Bu Fris yang akan segera berkeluarga.
“Kamu yakin pindah sekarang? Kenapa nggak nunggu ibu selesai acara aja?”
“Yakin kok, Bu. Biar belajar mandiri.” Bu Fris membantuku berkemas, meski cuma punya sedikit pakaian, dan peralatan jahit lumayan repot juga mengumpulkan untuk diangkut.
Aku sudah sewa barak alias kos di jalan S. Parman. Letaknya di pinggir jalan, hanya empat pintu kamar, aku di kamar keempat ujung. Harga sewanya terjangkau, cuma 400 ribu sebulan. Listrik, air bayar ke Bu Kos nambah 50 ribu, kecuali punya barang elektronik baru nambah lagi.
“Ibu dukung keinginan kamu mandiri, kita tetap akan sering ketemu. Kan kita punya bisnis,” hibur Bu Fris. Kami sama-sama berat nerpisah. Kebersamaan sudah seperti teman dan saudara, rasa sayang ini tulus tumbuh.
Terima kasihku tak terhingga untuk Bu Fris atas semua kebaikannya dari awal. Sampai aku bilang berhenti cari kerja, berniat dikos ini akan terima permak. Beliau malah memodaliku 1,5 juta, bantuan yang sempat kutolak, tapi kemudian dikatakan itu sebagai pinjaman, boleh kubayar kapan saja, tanpa bunga.
*
Besok Bu Fris dan rombongan keluarga Pak Irwan akan ke berangkat menemui orang tuanya. Sore ini aku kembali datang, membantu bersih-bersih atau apa yang bisa kulakukan.
“Sekar, ada yang mau ibu sampaikan.”
Aku lagi nyapu sisa sampah di ruang tengah. Bu Fris mengajakku ngobrol tentang Yandi. Sebelum pindah aku sudah minta Bu Fris jangan kasih nomor rekening, atau menerima kiriman Yandi ke sini, sebab hubungan kami mau kuakhiri.
“Coba diselesaikan, kamu hindari tanpa kejelasan begini makin buat Yandi mengejar. Kasihan, Sekar. Ibu susah jelaskan apa, bagaimana isi hati kamu ibu nggak tau.” Disodorkan ponsel padaku.
“Itu sudah pakai paket nelpon, bicarakan sampai selesai.”
“Terima kasih, Bu.”
Rasa bersalah menyusup, aku terus saja merepotkan Bu Fris. Pasti panggilan dari Yandi sudah mengganggunya.
“Sama-sama. Sana, ngobrol di kamarmu,” ujar Bu Fris sebelum menemui dua saudaranya yang besok juga akan ikut berangkat.
Aku duduk di bibir ranjang, akan menghubunginya setelah mengirim chat. Rupanya Yandi langsung telepon lebih dulu.
Kaku. Mulut ini terasa sulit menjawab banyak pertanyaannya, sampai kalimat yang sudah kupikirkan terucap.
“Kita kembali berteman aja, Yan.”
“Kenapa? Jelaskan alasannya sampai aku paham, Sekar!” suaranya terdengar frustrasi, terus mengejarku dengan banyak tanya.
“Sekar, kalau kamu katakan tidak pantas, aku akan memantaskan diri buatmu. Berhenti kuliah, pulang, merusak diri, baru kita pantas. Begitu ‘kan?”
Astagfirullah, sama cowok satu ini bahaya kalau salah bicara.
“Bukan gitu, Yan. Kita pantas. Cuma aku sudah ketemu cowok lain.” Arg! Kenapa sulit katakana jujur!
“Ah, kamu bohong lagi! Cuma alasan!” emosinya sangat kentara.
“Ya, oke. Aku memang bohong. Aku pembohong, Yan.”
“Sekar?”
“Aku bohong pernah bilang suka kamu. Padahal perasaanku cuma anggap kamu teman, nggak lebih! Assalamualaikum.”
Kuusap wajah dengan ujung kerudung. Ada lega bercampur perih membersamai keputusanku.
Sudah berakhir, ya, semua sudah berakhir.
Biarkan kita menjalani hidup masing-masing, Yan.
Bunyi dari applikasi hijau tiga kali, kembali mataku tertuju pada layar. Kugeser dengan ujung jempol. Pesan dari Yandi.
Apa yang terbaca sungguh membuat mata membelalak.
‘Besok aku pulang!’
‘Kita lihat saja kamu bisa bohong nggak kalau di depanku.’
‘Aku sayang kamu, Sekar.’
Yandi?!

Bình Luận Sách (108)

  • avatar
    Ranti Imanti II

    ceritanya luar biasa. korban kekerasan seksual butuh waktu lama untuk bangkit. ka Lie ada bukunya ga. kalau ada mo beli bukunya. Mau lanjut dong. ini ngegantung.

    26/01/2022

      0
  • avatar
    ZairaSiti

    jalan cerita mengasyikkan.temggelam dalam perjalanan hidup sekar seolah kisah nyata.terus lanjutkan dan ingin sekar berbahagia bersama pak calvin bukan yan

    26/01/2022

      0
  • avatar
    Jila SiapatJill

    Sya nangis dgn cerita ini kesian nya dia

    6h

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất