logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Permintaan Syifa

Mas Danang memang labil. Setelah marah hari itu ia terus menghubungi untuk meminta maaf, lalu datang dan janji tidak akan bicara atau bersikap kasar lagi. Ia katakan terbawa emosi akibat tertekan. Walau tak kutanggapi ia membuktikan ucapannya dengan bersikap manis, saat kami sama-sama menghadiri wisuda Almira.
Sejak awal menikah kami memang sangat akur, tak pernah ada pertengkaran hebat. Seperti yang kubilang di awal, ada masalah kami selalu bicara berbisik agar anak-anak tak mendengar. Kondisi selalu dibuat nyaman, meski terkadang membohongi diri sendiri, sebab saat marah tetap harus berpura baik-baik di depan anak. Itu yang membuat kami dikagumi mereka.
Naya pernah nyeletuk kalau ingin suami seperti sosok ayahnya, dan ia ingin menjadi istri sepertiku kelak, diamini Almira dan Syifa yang sepertinya sepemikiran. Ah, mungkin mereka kira kami pasangan sempurna, padahal hubungan ini telah amat hambar, pasca menikah lagi kami belum ‘berhubungan’, karena selain aku belum siap, ia juga terlihat tak berselera lagi padaku. Itu tidak masalah, sebab aku masih merasa jijik.
Bagai keluarga bahagia kami merayakan keberhasilan Almira berenam, Denok pun izin sekolah. Kami tak lupa mengunjungi seaworld, lalu esoknya lagi ke Taman Mini, dan hari berikut ke wisata Kota Tua.
Para putriku yang punya tubuh tinggi melebihi aku ini, begitu bersemangat ambil foto-foto kebersamaan kami.
“Buat kenang-kenangan, kapan lagi kita liburan,” kata Naya mengingat terakhir kami libur sekeluarga saat ia masih SMP.
Hari ketiga Mas Danang mulai gelisah.
“Iya sabar, besok juga pulang.” Ia menenangkan istrinya yang merengek di kejauhan.
“Sabaar, mana bisa langsung pulang. Anak-anak ngajak jalan-jalan dulu.” Suaranya berbisik-bisik menerima telepon di teras.
April sepertinya tak rela, mungkin karena Mas Danang semringah pasang status WA, foto berlatar aquarium raksasa di Seaworld, padahal hanya bersama putri-putrinya apalagi kalau ada aku.
Bisa kulihat tawanya selalu lepas, meladeni anak-anak yang kadang manja padanya. Ada momen paling menyentuh hati, saat kami diajak Naya foto box di sebuah Mall. Kami berdua di tengah diapit anak-anak sambil dirangkul erat, membuat pipiku dan Mas Danang menempel, diancam mereka harus bergaya wajah jelek juga. Haa. Tawa hadir bersamaan dengan rasa teriris di sebelah hatiku.
Membuncah rasa ingin tahu, apakah bahagia di wajah Mas Danang itu topeng, ataukah dari lubuk hatinya terdalam. Entah, apa aku masih boleh mengetahuinya.
*
“Mama Almira maaf nih sebelumnya, aku cuma mau tanya …” Seorang istri temanku juga teman Mas Danang, terlihat ragu menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah.
“Tanya apa, Mama Sari? Katakan aja aku gak akan apa-apa.”
“Ini mengenai bapaknya Almira.” Begitu sebagian terbiasa menyebut kami, karena ini orang tua teman Syifa saat sekolah SD dulu. Ia mulai menjelaskan tentang utang piutang Mas Danang dan April.
“… kalau dibungakan makin membengkak, sesuai perjanjian nambah persennya tiap bulan, ini sudah enam bulan belum juga dicicil, padahal kami sedang butuh.”
Aku sudah tak kaget. Ini orang kedua yang datang dan berkata demikian.
“Kayaknya salah alamat kalau tanya ke aku. Mas Danang tidak bilang apa-apa dan aku sama sekali gak tahu urusan ini. Andai ikut tanda tangan mungkin aku bisa bantu.”
“Iya sih, tapi tanya sama si April itu juga bilang gak tanggung jawab. Jadi aku ke mana ini?”
“Loh kata Mas Danang gimana? Coba deh langsung ke orangnya. Emang berapa pinjamannya?”
“Seratus lima puluh juta pokoknya, belum masuk persenan. Itu dulu buat modal jual pakaian katanya.”
“Oh, mungkin buat isi tokonya si April, coba saja ke sana.”
Mamanya Sari berulang-ulang minta maaf kalau membuatku tersinggung. Ia memang orang baik, menagih dengan cara super sopan. Ternyata hutang Mas Danang makin menjamur. Mungkin aku perlu pikirkan lagi mengenai langkah selanjutnya, mengenai harta gono gini yang pernah ia ungkit itu, supaya tak ikut mengganggu pikiran lagi.
*
“Ma, Kak April minta Denok nginap di sana.”
Aku mengerut kening. Kenapa Denok baru bilang saat sudah mau berangkat begini? Biasanya ia izin dulu baru siap-siap.
“Kok sudah mau berangkat aja, kan mama belum bilang iya?” Kupegang lengannya yang tengah memasang tas selempang, sepertinya berisi pakaian.
Denok menghindar tatapanku. Klakson bunyi dari depan rumah.
“Dah, Ma. Aku sudah dijemput.”
Ia cepat menyalim tanganku lalu setengah berlari ke luar. Mobil avanza Mas Danang.
Denok sama bapaknya, tapi kenapa perasaanku tidak enak?
Aku mau telepon Mas Danang, urung bertepatan Naya menelepon via video call.
Kugeser layar hijau. Langsung terlihat ada Syifa terbaring lemah di dipan.
Belum sempat ucap salam aku keburu kaget lihat ruangan di belakang.
“Syifa kenapa, Kak Nay?”
“Sakit, Ma. Tadi pingsan. Kak Al masih piket di rumah sakit, ini di klinik dekat rumah aja.”
“Coba arahkan ke adiknya.” Aku menegang melihat Syifa lemah, ia meneleng ke layar ponsel, bibirnya terlihat putih pucat.
“Ya Allah … apa kata dokter?”
“Masih nunggu pemeriksaan. Tensinya rendah banget, kepala sakit.”
Ah, anakku itu pasti kelelahan. Mata Syifa sayu menatapku, seakan meminta diri segera ada di sisinya.
“Kak Almira pulang jam berapa?”
“Piketnya sampai nanti malam, Ma.” Almira tengah koas di rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari rumah. “Tadi Nay terpaksa absen, gak ada yang jaga Syifa ….”
“Iya, iya, Sayang. Mama akan cari tiket segera ke situ, ya.”
Begitu menutup telepon aku langsung hubungi penjual tiket langganan. Alhamdulillah dapat seat penerbangan GA553 pukul 17.30 nanti. Masih tiga jam setengah lagi.
Aku lekas menghubungi orang kepercayaan di pabrik, sambil menuju toko kayu kami yang letaknya masih dalam kota. Mengarahkan mereka akan apa yang belum dan akan dilakukan, kemudian sisanya bisa aku pantau lewat telepon. Keadaan Syifa lebih kuutamakan.
Tak lupa dua saudariku Widi dan Laras, kuminta bawa anak-anak nginap dan jaga rumah, menemani Denok. Hanya kami bertiga saudara yang tinggal sekota. Dua saudaraku lain di luar kota, juga ibu yang sudah sepuh tinggal bersama kakak tertua, jarak tempuh 5 jam dari sini.
Untuk masalah rumah tanggaku Ibu sama sekali tidak tahu sampai sekarang. Walau beberapa kali ke sana hanya sebatas melepas kangen dan ngobrol ringan. Ibu pernah stroke, dan kami sepakat membagi hal-hal yang menyenangkan saja padanya.
“Mama pergi dadakan?” Denok baru tahu karena ia tadi les, dan ini melihatku bersiap berangkat.
“Iya, kak Syifa butuh Mama, Nok. Gak apa kan sama tante Laras dan tante Wid dulu?”
Ia mengangguk patuh. Kuusap kepala yang selalu harum bunga itu, mengecup pucuknya sebelum berangkat. Pak Sam supir pabrik bersiap mengantar ke bandara.
“Kalau Kak April mau ke sini boleh gak, Ma?” Pertanyaannya menahan langkahku, aku berbalik menatapnya lekat.
“Ke sini? Memang dia mau ke sini? Mau apa, Denok? Gak usah ya.”
“Kenapa? Dulukan Kak April tinggal di sini juga. Kasihan, Ma rumahnya AC kurang dingin. Panas.”
Tenggorokkanku terasa disumpal batu. Sudah kepala kalut ditambah urusan April juga.
“Sayang, dia itu biasa di kampung, jangankan AC, kipas angin aja dulu dia muntah-muntah masuk angin. Pokoknya nurut sama mama, ya?”
Denok mengangkat jari telunjuk dan jari tengah membentuk V.
Lama-lama dekat dengan perempuan itu anakku malah membelanya. Tak apa, ini akan sebentar saja, setelah Denok lulus ia juga akan nyusul kakak-kakaknya, itu rencanaku.
*
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja.
Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega.
Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video.
Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap saat aku takut kehilangan Syifa. Saat kondisinya terlihat sangat drop, masih terngiang bagaimana hatiku menjerit memohon Tuhan tak mengambilnya.
Aku masuk ruangan, mendadak kaku melihat Syifa terisak memeluk bapaknya. Anak-anakku begitu dekat dengan Mas Danang.
Aku menghela napas, mencari kekuatan diri sembari mendekat.
“Loh kenapa nangis, Sayang? Besok kita boleh pulang,” ujarku mengusap kepalanya. Mas Danang juga mengusap-usap punggung gadisku.
“… Ma … aku itu terus mimpi Ayah pergi dari kita ….” Air mata ini seketika mengalir, panas dan perih menjalar sampai ke dada.
Syifa lalu meraih tanganku, melepas Mas Danang lalu memeluk dadaku, hingga aku dan suami saling pandang dalam jarak dekat. Mata lelaki itu berkaca.
“Mama, Ayah jangan pernah pisah, Syifa gak mau kehilangan dua-duanya.” Aku menegang. Tak bisa menahan isak yang kemudian menyesak ke luar. Kami bertiga pun berpelukkan erat. Lalu Naya juga Al yang ada di sini ikut memeluk kami dari belakang.
“Syifa gak mau kita pisaaah, huu.”
“Ssst … jangan bicara begitu. Berdoa saja, Nak. Lihat kan mama sama ayahmu di sini.” Aku terus menenangkannya, meski hati sendiri sulit ditenangkan.
Beberapa saat suasana haru gara-gara Syifa yang jadi sensitif karena mimpinya. Aku diam-diam menelan rasa bersalah. Terpikir ingin menyerah memang terbersit di benak, saat Mas Danang menuntut hartanya. Rasa ingin cerai dan segera membagi gono-gini biar semua usai, itu yang ada di kepalaku kemarin-kemarin.
Apa syifa merasakannya sampai sakit begini?
Ya Rabb … berikan yang terbaik sesuai kekuatanku.
*
Aku bertahan di sini sampai Syifa siap ditinggal. Mas Danang lebih dulu pulang, karena telepon April hampir tiap jam, maklum ia pergi sampai lima hari. Kecurigaan di sana kalau kami berbulan madu terdengar saat Mas Danang menerima teleponnya, dan berusaha menjelaskan.
“Kami tidak ngapa-ngapain, kenapa pakai curiga gitu? Sayang, tau kan hubungan kami seperti apa …?”
“Percaya. Kamu itu gak ada duanya.”
Gombal Mas Danang padanya membuatku mual.
Tidak ada sakit untuk itu, karena memang nafsuku sudah hilang padanya. Andai bukan karena anak-anak mungkin ini sudah cepat kulepas. Rasa padanya hanya tertinggal sayang, kasihan ia yang dimabuk oleh syahwat sampai sulit melihat kekurangan April. Percaya begitu saja padahal banyak isu April punya pacar lebih muda. Ah, entahlah. Kapan mata Mas Danang terbuka.
Aku pulang setelah Syifa checkup lengkap agar diri ini tenang, syukur hasilnya semua baik-baik saja. Entah karena begitu tertekan dengan mimpinya sampai pingsan, Syifa belum juga membuka semua.
*
“Kenapa baru bilang, Laras?! Ini penting buatku!” Bagai terpukul palu besi kepala ini mendengar laporan adikku.
Saat kami di Jakarta, Denok selalu nginap di tempat April dan ada tetangga yang lihat anak itu diajak ke kafe remang-remang.
Aku tak tahan lagi untuk diam. Denok masih di sekolah dan aku sekarang akan ke rumah wanita itu! Belum juga ganti pakaian sejak dari penerbangan tadi, mobil langsung kulajukan membelah jalan sampai baru sadar dengan kecepatan penuh. Emosi ini begitu ingin meledak.
Aku menolak keras ada orang yang akan merusak pikiran putriku.
Di rumah sederhana itu tidak ada orang. Parkiran kosong dan pavingnya berlumut juga berumput di selanya, sama seperti hati pemiliknya.
Sampailah aku di toko pakaian serba seratus ribu miliknya. Ada terparkir sedan mini second yang harganya di bawah 100 juta, pengganti mobil mewahnya dulu, bersebelahan dengan mobil Mas Danang. Berarti lelaki itu ada di sini. Bagus biar tahu kelakuan istrinya. Mereka ini memang hebat, susah dan punya hutang banya tapi tetap gaya pakai mobil. Urat malunya sudah putus.
“Halo, Ce. Aku di depan ruko Galaksi. Lanjutin rencana kita, ya.”
“Beneran kamu? Baguslah. Lanjutin.”
“Oke, siap. Xie xie, Ce.”
“Sama-sama, Aya.”
Aku turun dari mobil setelah simpan ponsel ke dalam tas.
“Mana bosmu?” Aku tak melepas kacamata hitam, bertanya pada penjaga pakaian yang tengah mengganti pajangan manekin.
“Ada di belakang, Bu.”
Tanpa bertanya lagi aku langsung ke dalam. Ruang belakang ini rupanya ada sebuah pintu kaca riben, semacam ruang kantor. Aku mendorong tanpa mengetuk. Tak disangka mata langsung tertuju pada dua orang yang tengah bercint*, sambil berdiri di sudut.
Kubuang muka ke arah tembok. Bagai disengat, permukaan kulit wajah ini terasa panas.

Bình Luận Sách (61)

  • avatar
    EzamFiza

    Semangat

    03/06

      0
  • avatar
    Riyani Dewi

    dijamin seru

    24/05

      0
  • avatar
    hanaNur

    Ceritanya bagus banget,sarat akan pengajaran.

    24/02

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất