logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Provokasi

"Raline, kamu nggak bisa sudutkan aku begini. Kamu juga harus introspeksi diri. Kamu itu nggak becus ngurus anak, ngurus rumah tangga, Aku capek pulang kerja, rumah berantakan, kacau balau. Aku capek cari uang. Capek cari uang buat kalian, ngerti nggak?!" Galih pun berbalik marah, menutupi kesalahannya.
"A-aku dan Austin bukan hanya butuh materi. Tetapi kami butuh kamu ada di rumah!" ujar Raline dengan nada tinggi.
"Raline .... "
Galih dan Raline menengok ke arah wanita paruh baya itu. Wanita yang tidak lain adalah Ibu Galih, Nyonya Mira yang marah karena putra kesayangannya itu dimarahi istrinya.
Raline dan Galih terperanjat dengan kehadiran ibu mereka.
"Kamu kenapa sih terlalu menuntut suami kamu terus kayak begini?!" Wajah Bu Mira terlihat sangat kesal dengan kemarahan menantunya.
"Bu, Ibu kok ada di sini sih, Bu?" tegur Galih.
"Ya Ibu mana bisa diam di rumah kalau Ibu tahu cucu Ibu masuk rumah sakit kayak gini!" jawab Bu Mira ketus.
Dengan mata sembab, Raline pun menegur ibu mertuanya.
"Ibu apa kabar, Ibu sehat?" tanya Raline, mencium tangan ibu mertuanya dengan takjim.
"Ibu baik-baik aja. Raline, kamu dengar ya. Kamu itu nggak boleh menuntut suami kamu terus kayak begini. Itu tuh nggak baik!" tegur Bu Mira pada Raline.
"Maaf, Bu, aku cuma mau punya keluarga harmonis aja," jawab Raline dengan sabar menghadapi kemarahan ibu Galih itu.
"Gimana mau harmonis kalau kamu nuntut begini begitu terus?!" pekik Bu Mira menunjuk wajah Raline yang terus menangis. Matanya semakin sembab karena terlalu lama menangis.
"Ibu selalu saja nyalahin aku. Apapun yang aku lakuin, selalu saja salah dimata Ibu," batin Raline.
"Udah ya, Bu. Masalah ini sampai di sini saja. Nggak usah diperpanjang lagi." Galih pun menunduk. Ia genggam tangan Raline.
"Lin, aku sadar, ini semua salahku. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk. Aku tahu Raline begini karena panik. Austin masuk rumah sakit. Iya kan, Lin?!" terang Galih agar ibunya tidak curiga.
Raline hanya diam. Ia menundukkan wajahnya.
"Kamu ini emang suami yang bertanggung jawab. Ibu bangga sama kamu, Nak," ujar Bu Mira.
Galih hanya diam menunduk.
"Ayo, antarkan Ibu ketempat cucu Ibu." Bu Mira dan Galih melangkah pergi meninggalkan Raline yang hanya bisa menangis.
****
Kamar Austin
Raline pun menyusul suami dan Ibu mertuanya ke kamar Austin. Terlihat dokter yang menangani Austin sedang memeriksa.
"Demamnya Austin sudah turun. Kondisinya juga membaik. Sudah sehat. Austin sudah boleh dibawa pulang," terang sang dokter.
"Alhamdulillah," ucap syukur Galih.
"Terimakasih ya, Dok," ujar Raline dan Galih. Wajah mereka kini kembali tersenyum.
"Sama-sama." Dokter pun meninggalkan ruang perawatan Austin.
"Sayang, udah boleh pulang sekarang. Yuk, Papa gendong kita pulang, yuk!" kata Galih mengajak Austin bercanda. Anak kecil itu hanya tertawa.
Galih pun menggendong Austin sedangkan Raline membereskan barang milik Austin yang ada dilemari kecil milik rumah sakit itu.
"Kapok deh. Nggak lagi nakal diluaran. Ini aja Raline udah curiga. Kalau Ibu tahu, bisa makin parah," batin Galih sambil menciumi Austin. Raline hanya memerhatikan dari belakang tingkah suaminya.
****
Esok hari, di kantor Galih
"Apa, kapok?? Baru segitu aja udah kapok?! Cemen lu jadi orang!" gerutu Dion yang kesal karena sahabatnya itu mau berhenti berkencan lewat dunia maya.
"Gue nggak mau kehilangan anak dan istri gue. Tahu nggak, gue hampir aja ketahuan sama istri dan ibu gue," terang Galih.
"Justru disitu seninya, Galih. Antara ketahuan dan nggak ketahuan," jawab Dion tertawa.
"Ng-gak, nggaklah. Gue nggak mau ambil resiko. Gue nggak mau kehilangan semuanya.
"Ah, cemen lu. Baru segitu aja udah nyerah. Atau jangan-jangan lu suami takut istri?!"
"Ah, terserah lu mau ngomong apa deh," kata Galih pasrah.
"Ayolah, Lih. Masa lu mundur gitu aja?" Dion masih terus memprovokasi Galih.
"Ohya, biar tambah seru, gimana kalau kita taruhan?" ujar Dion memberi sahabatnya itu tantangan.
Galih pun menoleh ke arah Dion yabg duduk disampingnya.
"Taruhan?" tanya Galih mempertegas.
"Ayolah, Lih. Taruhan sama gue. Kalau nanti lu menang dan bisa dapatin cewek lebih banyak dari gue sampai 3 bulan ke depan, lu ambil tuh mobil gue. Mobil itu buat lu." Dion tertawa. Ia tak main-main dengan taruhannya.
"Gimana, mau nggak lu?" tanya Dion lagi.
Galih pun gamang. Mobil BMW versi terbaru itu nggak main-main harganya.
"Lu serius?!" tanya balik Galih.
"Kapan sih, gue bohong sama lu?!" ujar Dion tersenyum.
"Iya gue serius! Kalau gue kehilangan satu mobil itu kan ya nggak masalah. Kan bini gue tajir melintir," ujar Dion tertawa.
"Ah, benaran lu. Cemen banget sih jadi orang! Baru ketahuan gitu aja udah meringkuk.Ketakutan sama istri." Dion pun meledek sahabatnya itu, agar Galih semakin tertantang.
"Ya udah, gue berani taruhan sama lu!" jawab Galih mantap.
"Nah, gitu dong! Itu baru namanya sahabat gue." ujar Dion tersenyum karena provokasinya berhasil.
"Deal ya?" tanya Dion mempertegas.
"DEAL!!!" ujar Galih.
Kedua sahabat itu pun bersalaman sebagai tanda kesepakatan.
"Toss dong!" kata Dion tertawa.
Malam hari 21.30
Setelah pulang dari kantor dan makan malam, Galih masuk ke dalam ruang kerjanya. Raline ya percaya saja, ditambah pintu pun dikunci Galih.
Di dalam ruang kerjanya, Galih berbaring di atas sofa, dan mengambil gawainya. Ia kembali membuka akun sosial medianya dan chatting dengan semua wanita teman dunia maya.
"Ini pada agresif banget sih hari ini. Ngajak ketemuan. Ketemuan di hotel bintang 5?Bisa jebol dong dompet. Nggak ah!"
Galih says
"Nah, ini ngajak ketemuan juga nih. Minta beliin sepatu? Nih, apa-apaan sih? Pada minta kayak gini?! Wah, bisa kalah taruhan sama Dion nih?!Hancur dong harga diri aku. Padahal kan kalau gue menang kan bisa dapatin mobil dia. Kalau aku kalah taruhan,bisa-bisa dia ngeledekin gue terus kalau gue suami takut istri. Tapi kalau gue pakai uang gaji untuk beli permintaan cewek-cewek ini, bisa ketahuan Raline dong?!"
Galih terus mencari akal, agar bisa kembali kencan dan membeli semua permintaan teman kencannya itu tanpa harus Raline curiga.
"Hm, kenapa nggak kepikiran dari tadi?!" gumam Galih.
Galih pun beranjak dari ruang kerjanya.Ia menemui Raline di kamar Austin. Raline yang sedang membereskan pakaian Austin yang baru disetrika, melihat wajah Galih yang murung, sedih. Ia pun mendekati Galih yang duduk disofa.
"Siapa tuh yang datang?" ujar Raline, menengok ke arah Austin yang sedang berbaring diboxnya.
"Sayang, Austin." Galih mengajak bicara Austin, anak bayi itu pun bereaksi saat pipi gembulnya dimainkan sang ayah.
Raline pun melirik ke arah Galih, "Kamu kenapa, Mas?Kok wajahnya lesu gitu?"
Galih pun berdiri, membelakangi Raline.
"Aku baru dapat kabar jelek dari kantor. Kemungkinan tahun ini bonus nggak keluar karena kondisi keuangan perusahaan lagi kurang baik," terang Galih.
"Nggak apa-apa, Mas, kita berdoa aja ya, mudah-mudahan bulan-bulan depan kondisinya membaik, ya?" ujar Raline.
"Iya, tapi masalahnya aku sudah investkan 30% gaji aku untuk saham. Untuk invest masa depan kita," ujar Galih. Ia beralasan, agar bisa berfoya-foya dengan gadis-gadis cantik teman dunia mayanya.
"Ya udah, Mas, kita cukup-cukupin aja uang yang ada ya." Raline pun pasrah dan berusaha memahami kondisi suaminya.
"Maaf ya, kamu jadi ngirit gini sekarang," ucap Galih dengan wajah memelas.
"Nggak apa-apa, Mas," jawab Raline tersenyum.
"Kamu juga kerjanya jangan terlalu keras ya. Jangan lembur terus. Nanti kamu sakit lo," pesan Raline.
"Makasih ya, Sayang, kamu ini benar-benar istri yang pengertian. Aku beruntung banget punya istri seperti kamu," puji Galih. Ia pun memeluk erat Raline.
"Aku yakin, rumah tangga kita pasti baik-baik aja," tutur Raline tersenyum.
"Kamu nggak tahu aja, Lin, aku baru dapat bonus kemarin, tapi bonusnya aku pakai buat cewek lain," batin Galih.
****
Pagi hari pukul 08.00
"Assalamualaikum." Ibu Mertua Raline mengetuk pintu.
"Wa'alaikumsalam." Raline yang berada di dapur, bergegas membuka pintu.
"Raline ...."
"Bu, Ibu nggak apa-apa? Aku kaget banget pas tahu kalau rumah Ibu atapnya bocor?!" tanya Raline khawatir.
"Alhamdulillah, Ibu nggak apa-apa. Tapi ya Ibu harus ngungsi ke sini dulu deh. Kamu nggak apa-apa kan?" tanya balik sang mertua.
Raline menggeleng tanda ia tak keberatan jika mertuanya itu beberapa waktu tinggal dirumahnya.
"Masuk, Bu," ajak Raline sambil membawa koper sang mertua.
"Lagian Ibu kan bisa tinggal di sini, kapanpun Ibu mau?" tutur Raline mengajak Ibu Galih itu duduk di sofa ruang tamu.
"Alhamdulillah," ucap ibu mertua.
"Ohya, Raline, tapi Ibu mau minta tolong sama kamu, nanti tolong bayarin biaya renovasi rumah ya," ujar sang Ibu mengenggam tangan Raline.
Raline berusaha tersenyum
"Duh, gimana nih? Uang bulanan dari Mas Galih kan lagi berkurang. Tapi aku nggak mungkin nolak permintaan Ibu. Apa aku pakai dana darurat aja ya? Tapi itu ku sisihkan buat Austin. Kalau-kalau terjadi sesuatu. Mau minta sama Mas Galih juga aku nggak tega. Apalagi semalam Mas Galih terpukul banget gara-gara nggak dapat bonus tahunan," batin Raline.
Malam hari, pukul 20.00
Di kamar Raline dan Galih
Galih termenung, sambil memandangi ponsel pintar miliknya.
"Duh, saldo tinggal segini lagi. Padahal profile aku lagi di atas banget. Sedikit lagi, aku pasti bisa ngalahin Dion. Kalau aku menang taruhan, aku bisa dapatin mobil dia. Aku harus dapat modal lagi nih. Untuk bisa menggaet cewek lebih banyak. Gimana caranya ya?" gumam Galih.
Sesaat kemudian, ia melirik ke sebuah lemari yang letaknya ada di sisi ranjang.
"Ohya ...."
Galih pun membuka salah satu laci lemari itu. Ia mengeluarkan sebuah kotak perhiasan. Satu set perhiasan mewah milik Raline.
"Nah, ini dia, perhiasan aku sama Raline. Ini aku bisa jual semua nih," kata Galih mengecek satu persatu perhiasan sang istri.
"Tapi aku harus cari cara, biar Raline nggak curiga, kalau perhiasan dia hilang. Gimana ya?" pikir Galih.
"Oh iya .... " Galih pun mengambil ponsel, dan memanggil sebuah nama.
[Hallo, Bang. Bang, bisa bikinin perhiasan imitasi nggak? Sama persis dengan perhiasan saya. Nanti saya kirim fotonya]
[Oke, bisa]
[Wah, mantap. Bang, kalau bisa secepatnya ya]
[Oke, Bang. Saya tunggu ya]
Galih pun mematikan sambungan teleponnya dan mengirim gambar perhiasan milik Raline itu melalui aplikasi chat berwarna hijau.
"Wah, mantap!" Galih pun tersenyum bahagia.
"Nanti setelah perhiasannya udah jadi, aku tukar dengan yang imitasi. Lalu setelahnya, aku jual dan aku ganti setelah aku dapat bonus. Dan Raline nggak akan tahu," pikir Galih.
Ibu Galih memanggil dari luar, "Galih!"
Galih pun panik. Ia segera mengembalikan kotak perhiasan itu keempat semula.
"Ibu .... "
Sang Ibu mengetuk pintu lagi, kali ini dengan sedikit keras karena sang putra tak kunjung membuka.
"Galih!"
Galih pun membuka pintu.
"Iya, Bu. Ada apa, Bu?" jawab Galih yang kini ada dihadapan sang Ibu.
"Ini, besok kan Ibu harus bayar renovasi rumah. Kamu ada uangnya kan? Cuma 5 juta aja kok," ujar sang Ibu tersenyum.
"Ibu minta sama Raline aja, Bu. Soalnya uang gaji aku sudah aku kasih sama Raline semua," jawab Galih ngeles.
Sang Ibu menarik nafas, dengan wajah kesal, "Ya udah deh, besok Ibu minta sama Raline aja."
"Iya,Bu." Galih pun bernafas lega.
Sang Ibu pun kembali ke kamarnya.
Keesokan harinya
"Raline, kamu kemarin kan janji mau bantu biaya renovasi rumah. Ingat nggak? Nah, sekarang Ibu harus bayar. Cuma 5 juta aja kok, ada kan?" tutur sang ibu mertua, membuat Raline kembali pusing.
"Maaf, Bu, sekarang uangnya belum ada. Kalau minggu depan gimana?" ujar Raline memelas.
"Kamu ini gimana sih?! Mana bisa tukang-tukang itu nunggu! Kalian itu kan udah lama berumah tangga, masa nggak ada sih tabungan sedikitpun?" ujar Ibu Galih yang langsung memarahi dan mencaci sang menantu.
Raline hanya terdiam
"Ya Allah, aku nggak mungkin membuka aib Mas Galih, kalau lagi ada masalah dikantornya. Aku pasrah aja deh dimarahi sama Ibu," batin Raline yang tertekan.
bersambung ....
"

Bình Luận Sách (56)

  • avatar
    syauqimuhammad arsyad

    ya allah dapat

    10d

      0
  • avatar
    Malla Pratama

    bagus cerita ny

    10d

      0
  • avatar
    RendraNa

    AKU DMSANGAT SENANG DALAM MEMBACS

    10/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất