logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Cinta karena Cinta

Seperti janji Rio kemarin, Sabtu pagi dia sudah tiba di rumah Naura. Tetangga sebelah rumah Naura mengenali sosok Rio, menyapanya dengan senyum.
“Assalamu’alaikum,” ucap Rio pelan sambil mengetuk pintu.
Bangunan berlantai dua ini tampak sepi, “lagi di atas kayaknya, Om,” ujar seorang perempuan setengah baya yang tengah menyapu teras rumahnya.
Rio melirik arloji ditangannya, 'baru pukul delapan. Kepagian', gumam Rio.
“Loh, kok nggak ngasih kabar?” ucap Naura terkejut mendapati Rio dihadapannya.
“Udah lama nggak keliatan, ya, Bun?” ujar perempuan tadi ikut menimpali keterkejutan Naura.
“Iya, Bude. Bude Marni sampe hapal, loh,” jawab Naura berbasa-basi.
Jarak rumah yang berdekatan satu sama lain, membuat kejadian di luar rumah Naura sering terekam di ingatan tetangganya. Hubungannya dengan Rio salah satu contohnya, Bude Marni--tetangga Naura yang beberapa kali sempat berkomunikasi dengan Rio. Rio memang pria yang ramah.
“Kapan Bude dapat undangan, nih?” goda Bude Marni.
“Undangan apa, Bude?” Rio balik bertanya sembari tersenyum lebar.
“Kami masuk dulu, Bude,” ujar Naura. Tangannya bergelayut manja di lengan kekar milik Rio. Bude Marni mengangguk, lalu masuk ke rumahnya.
“Dinda ... Bagas ... Ada Om Rio,” jerit Naura.
Naura mendengar gemuruh suara kaki berlarian, lalu mereka berebut ingin memeluk Rio. Rio mendekap mereka bergantian, lalu duduk dengan kedua tangan direntangkan di atas bahu Dinda dan Bagas.
Naura terharu melihat momen indah di hadapannya, tidak hanya dia yang merindu sosok pria muda ini. Anak-anaknya pun begitu merindukan Rio.
“Om, kemana aja?” rengek Dinda manja.
“Iya, nih, Om dah lama banget nggak kesini. Sebel,” Bagas menambahi.
“Om kerja, Nak. Kerja, kemarin baru pulang dari Kalimantan. Tanya aja sama Bunda kalo nggak percaya,” ujar Rio sambil mengecup kedua pipi anak-anak Naura.
Naura semakin terharu, manik matanya berair. Dia bangkit dan berjalan ke arah dapur, “minum apa, Yo?” tanya Naura.
“Apa aja, Bun. Tadi aku bawa mangga, lupa diturunin dari mobil. Bikin jus mangga, ya, Bun. Aku ambil dulu mangganya,” ujar Rio meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
“Bagas aja, Om, yang ambil. Boleh nggak?” tanya Bagas sumringah.
“Boleh, dong. Tolong, ya, Nak. Ada di kursi depan,” jawab Rio sambil menyerahkan kunci mobil ke Bagas.
Bagas berlalu dengan tawa bahagia yang masih tertinggal, kerinduan terhadap pria spesial yang sudah hampir dua tahun menjalin hubungan dengan ibunya.
“Om Rio dari Kalimantan nggak bawa oleh-oleh,” tanya Dinda manja.
“Wah, kalo untuk princess mana pernah lupa, Om.”
Rio mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tas yang dibawanya.
Seuntai kalung manik-manik dari batu khas Kalimantan berwarna biru pupus, dihadiahkan Rio untuk Dinda. Dia berdecak kagum, “bagus banget, Om,” ujar Dinda.
Naura penasaran dengan hadiah yang diberikan Rio untuk Dinda, kalung itu sudah terpasang di leher jenjang Dinda nan putih. Menambah kecantikan si empu penyuka aksesoris, Rio memang pintar mengambil hati anak-anak Naura.
“Terima kasih, Om. Dinda suka banget,” ujar Dinda memeluk Rio erat.
“Bagas melewatkan sesuatu, ya?” tanya Bagas heran dengan sekantung plastik putih berisi mangga di tangan kirinya.
“Nggak, Bunda juga belum kebagian oleh-oleh dari Om Rio,” ujar Naura meraih mangga di tangan Bagas.
“Tenang, untuk Bagas juga ada, kok!” seru Rio dan memberikan kaos berwarna hitam gambar kepala suku dayak bergaya futuristik.
“Keren, Om. Terima kasih,” jawab Bagas.
“Tinggal Bunda yang belum, ya?” gurau Rio.
Naura tengah sibuk mengupas mangga dan memasukkannya ke dalam blender, “Bunda mentahnya ajalah,” ledek Naura.
“Buat Bunda spesial, nanti aja,” ujar Rio sambil tertawa menggoda.
“Hayo, pada ganti baju dulu. Siap-siap, sebentar lagi kita berangkat. Nanti jus mangganya Bunda bawa sekalian.”
Bagas dan Dinda menuruti permintaan Naura, mereka berlarian ke lantai atas. Tinggallah Rio seorang diri, dia memainkan jemari di ponsel yang tengah digenggamnya.
“Diminum, Yo,” ujar Naura menghidangkan segelas jus mangga di hadapan Rio.
“Thank you, Bun. Wah, enak. Manis mangganya, semanis yang bikin,” ujar Rio memuji Naura.
“Gombal,” jawab Naura duduk di samping Rio.
“Gaklah. Masa aku gombal!” jawab Rio dan meletakkan ponsel di meja.
Ada yang harus dia perhatikan saat ini, Rio mengenggam tangan Naura, lalu mengecupnya.
“Aku ada sesuatu untuk kamu, semoga kamu suka.”
Dia menyerahkan kotak kecil beludru berwarna merah, Naura membukanya dengan perlahan. Sebuah cincin!
Rio meraih cincin itu dan memakaikan di jari tengah tangan kiri Naura, “alhamdulillah pas. Aku lupa ukuran jari kamu,” ujar Rio.
Naura memandangi cincin dengan hiasan batu kecubung berwarna biru laut diatasnya, “ini batu topas, ya, Yo. Cantik,” puji Naura.
“Iya, sejenis itu katanya. Kamu suka?” tanya Rio.
“Suka, suka sekali,” jawab Naura.
“Ini koleksiku yang ke berapa, ya? Terima kasih, Sayang. Tinggal cincin kawinnya belom,” ledek Naura.
Rio tertawa, “sabar. Nggak lama lagi, kalau waktunya sudah tepat kita pasti menikah,” jawab Rio.
Kalimat yang sama, yang sering diucapkan Rio jika Naura menanyakan rencana pernikahan. Naura sudah empat tahun menjanda, Teguh—suami pertama Naura meninggal saat usia Dinda sembilan tahun. Rio adalah pria pertama yang mampu mengisi kekosongan hati Naura, darinya Naura kembali merasakan cinta dan kasih sayang.
Pun begitu dengan anak-anak Naura, Rio sosok yang sempurna untuk menjadi ayah pengganti mereka. Namun sudah hampir dua tahun berhubungan, tidak satu pun pembicaraan ke arah pernikahan. Rio memang lebih muda tiga tahun dari Naura, tetapi Naura menemukan kecocokan dengan Rio. Dia malah merasa Rio lebih dewasa dibanding dirinya, dia begitu menyayanginya dan juga anak-anak Naura. Memperlakukan mereka seperti anak kandung sendiri.
Naura tahu, Rio memiliki trauma di pernikahan pertamanya. Istrinya berselingkuh dan membuat dia tidak bisa berjumpa dengan anak perempuan sampai sekarang, itulah sebabnya Rio memperlakukan Dinda seperti anak yang dia rindukan.
“Bun ...,” panggil Dinda.
“Kami sudah siap, tinggal Bunda yang belum. Idih, cincinnya bagus. Dinda maulah, Om,” rengek Dinda.
“Dinda ‘kan sukanya kalung, Bunda sukanya cincin. Memang sekarang kakak suka cincin juga kayak, Bunda?” tanya Rio dengan mimik lucu.
“Cincin Bunda bagus, Dinda mau juga,” rengeknya.
Naura mengulum senyum, jika Dinda sudah merengek seperti itu alamat lama sembuhnya. Saat ini hanya Rio yang selalu berhasil menyembuhkan rengekan Dinda. Naura mengganti baju dengan cepat, dia kembali memandangi cincin pemberian Rio. Sungguh cantik memang, wajar kalau Dinda pun menyukainya.
“Pakenya gantian aja, Dinda mau pake? Muat emangnya?” tanya Naura karena dilihatnya wajah Dinda masih cemberut.
“Boleh, Bun?” jawab Dinda.
“Boleh, dari pada nanti turun hujan,” ledek Naura dan cincin itu pun berpindah ke tangan Dinda.
“Muat kok, tapi di jari telunjuk.”
Naura mengalah demi Dinda, Rio menyadari hal itu.
“Yuk, kita berangkat,” ujar Rio.
Rio merengkuh bahu Bagas dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya digenggam Dinda. Mereka berjalan beriringan, meninggalkan Naura.
Beberapa pasang mata ikut senang dengan kebahagiaan mereka, Naura sadar sudah saatnya dia menanyakan kesungguhan Rio untuk berkomitmen dengannya. Menjadi ayah untuk anak-anaknya dalam wujud sebenarnya, sebuah keluarga yang utuh. Bukan yang datang dan pergi seenak hati.

Bình Luận Sách (109)

  • avatar
    AjaRoni

    bagus

    6d

      0
  • avatar
    DavidHimang

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    Moh Zamzam

    din sanmers ajgd aburuts anvvsagdyemnjaki skjis akis

    16/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất