logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Keputusan

Setelah pertemuan dengan Lukman, Naura lebih banyak diam. Pak Tommy berulangkali mengirimkan pesan lewat aplikasi Whatsapp, dia ingin menjadi orang yang pertama kali tahu hasil dari pertemuan Naura. Padahal sudah berulangkali Naura menyampaikan kalau dia harus laporan ke Pak Hendi dahulu, baru kemudian ke Pak Tommy.
“Ada, Pak. Bu Naura sedang bicara dengan Pak Manik,” ujar Beni berbohong.
“Pak Tommy mau bicara.” Beni menyerahkan benda pipih itu ke arah Naura.
“Kamu kok nggak angkat telepon saya? Berkali-kali saya chat kamu tapi kamu nggak balas, maksudnya apa, Naura? Kamu sudah nggak nganggab saya lagi?” ujar Pak Tommy sengit.
Pak Tommy sedang menjadi sosok aslinya, sebagai seorang bos yang otoriter, kasar dan suka menyudutkan bawahannya. Naura tidak mau terpancing dengan kata-kata pria itu, namun dia juga tidak ingin pembicaraannya di dengar Beni. Saat ini posisi Naura tersudut, Beni semakin yakin kalau memang ada hubungan istimewa antara Naura dan Pak Tommy.
“Tadi saya sedang berbicara dengan Pak Manik, Pak. Saya mau ambil dokumen impor yang bermasalah kemarin, rencana kita akan urus sendiri. Jadi saya nggak sempat balas chat atau pun telepon, Bapak. Saya pun belum laporan ke Pak Hendi, nanti begitu sampai kantor saya akan laporan ke Bapak,” jelas Naura menyakinkan Pak Tommy.
“Di pabrik sedang banyak tamu, kamu kalau sudah selesai buruan balik kantor. Jangan lupa makan siang dulu, ada yang mau saya bahas nanti setelah kamu tiba di kantor,” ujar Pak Tommy mengakhiri pembicaraan.
“Kita belok kanan, Pak,” ucap Naura mengarahkan Beni yang ragu membelokkan setir mobilnya.
“Hampir saja, seingatku juga begitu. Untung diingetin,” jawab Beni.
“Aku nunggu di mobil aja, ya,” pinta Beni. Naura mengangguk pelan dan membuka pintu mobil.
Sudah lama sekali Naura tidak berkunjung ke kantor Pak Manik, biasanya hampir setiap bulan mereka saling mengunjungi. Sekedar untuk menjaga agar kerja sama antar perusahaan terjalin baik, namun sayangnya sejak masalah demi masalah terjadi Pak Manik sudah jarang datang ke pabrik menemui Pak Hendi.
Pak Manik adalah kenalan Pak Alex, orang tua mereka masih ada hubungan kekeluargaan. Makanya Naura serba salah dengan keadaan ini, hubungan dia dengan Pak Manik tanpa cela sama sekali. Namun akibat masalah ini, hubungan antara Pak Manik dan Pak Alex jadi memburuk.
“Sampaikan salam saya ke Pak Alex, Naura. Mohon maaf kami tidak berani melanggar ketentuan negara, kamu tau ‘kan kalau selama ini kami sudah cukup banyak membantu Pak Alex,” jelas Pak Manik.
“Iya, Pak. Saya mengerti, saya mohon maaf sebelumnya. Dokumennya saya terima, ya, Pak. Saya mau langsung pamit karena sudah ditunggu di pabrik,” ujar Naura kemudian menyalami Pak Manik.
Pak Manik sempat memeluk Naura, layaknya memeluk anak sendiri. Usia Pak Manik memang lebih tua dari Pak Alex, namun masih terlihat sehat dan gagah.
“Be carefull, Naura. Kami harus hati-hati dengan Alex, Hendi dan Tommy. Bekerjalah dengan hati nuranimu, saya yakin kamu sudah lama gundah dengan permainan Hendi. Segalanya memang butuh uang, namun uang bukanlah segalanya,” pesan Pak Manik.
Pak Manik memang tidak menyukai kebiasaan Pak Hendi yang suka memberi uang pelicin, demi mempermudah urusan pengeluaran barang dari bea cukai. Sewaktu urusan impor dipegang oleh Pak Tommy, memang jarang sekali pengajuan uang pelicin untuk petugas bea cukai. Hal itulah yang membuat Naura harus bolak-balik ke bea cukai untuk klarifikasi, memang cukup memakan waktu. Tidak satu pun dari mereka yang mau mencari seorang yang berpengalaman mengenai impor barang dari luar negeri, mereka bergantung pada Naura sama sekali tidak memiliki pengalaman akan hal tersebut. Naura mempelajarinya secara otodidak, Pak Manik salah satu pembimbing Naura.
“Saya sudah selesai, Pak. Kita makan siang dulu,” ujar Naura.
“Siap, bos!” jawab Beni.
***
Setiba di kantor, Naura melihat beberapa mobil mewah keluar dari gerbang keluar pabrik.
“Tamu dari mana, ya, Pak?” tanya Naura.
“Agung Makmur, mereka mau investasi untuk pabrik kita. Pak Hendi ‘kan mau impor besar-besaran tahun depan,” ujar Beni.
Naura mengulum senyumnya, “Lukman suruh siap-siap, Pak. Banyak kerjaan, tuh, nanti,” ucap Naura.
Beni hanya menimpali dengan tawa, “Udah, sih, nggak usah mundur. Kamu bertahan aja,” pinta Beni.
“Big No. Udah cukup, Pak. Saya butuh ketenangan hati dalam bekerja, sudah saatnya saya kembali ke jalan yang benar,” jawab Naura berteka-teki.
“Kita meeting lima belas menit lagi, Naura. Maaf tadi saya banyak tamu, jadi tidak sempat membalas telepon dan chat kamu. Kamu panggil Tommy, papa juga. Biar bisa terang benderang masalah ini, saya mau tau kesalahan kita dimana,” ujar Pak Hendi saat melihat Naura melintas di depan ruangannya.
“Baik, Pak. Pak Beni juga ikut meeting, Pak?” tanya Naura.
“Iya, ajak sekaligus. Gimana? Kamu sudah ketemu orangnya ‘kan? Menyakinkan nggak?” tanya Pak Hendi seketika membuat lidah Naura kelu tidak bisa berkata-kata.
“Bisa, Pak. Namanya, Lukman. Dia sudah berpengalaman lima belas tahun di bidang impor,” jawab Beni memuji sosok Lukman. Naura hanya diam, Pak Hendi menangkap gelagat aneh dari diamnya Naura.
“It’s true, Naura?” tanya Pak Hendi memastikan.
“Iya, Pak. Menurutnya, begitu.”
“Oke, sip. Good job, Ben. Kamu ke ruang meeting duluan, nanti saya menyusul.”
Naura dan Beni berjalan beriringan, masuk ke ruang meeting.
“Kamu nggak manggil Pak Tommy dan Pak Alex, Naura?” tanya Beni mengingatkan.
“Oh, iya. Hampir lupa,” jawab Naura segera berlari ke ruangan Pak Tommy.
Naura mengetuk pintu ruangan Pak Tommy yang terbuka, dia sedang menandatangani beberapa dokumen di atas mejanya.
“Masuk, dear. I know you already coming, jam berapa kita meeting?” ujar Pak Tommy seperti sudah mengetahui isi kepala Naura.
“Sepuluh menit lagi, Pak. Meeting dengan Pak Hendi dan Pak Alex, saya mau panggil Pak Alex dulu, permisi.”
“Tunggu,” ucap Pak Tommy menghalangi keinginan Naura memanggil Pak Alex.
“Kamu nggak bisa cerita dulu ke saya sebelum kita meeting? Saya harus tau lebih dulu dong, ‘kan saya atasan kamu.”
“Yuk, Tom. Kita meeting, papa sebentar lagi datang.”
Tiba-tiba Pak Hendi muncul di depan pintu ruangan Pak Tommy, Naura terselamatkan.
“Oke,” ujar Pak Tommy datar.
“You owe me, Naura,” ucap Pak Tommy. Makna dari ucapannya adalah Naura harus menemaninya sampai dia menyelesaikan semua pekerjaannya di kantor.
“Oke, silakan Naura. Saya pengen tau kesan kamu soal …, siapa tadi namanya? Lukman, ya?” tanya Pak Hendi setelah semuanya berkumpul di ruangan meeting.
Naura duduk berhadapan dengan Pak Hendi, lalu di sebelah kanan dan kiri Pak Hendi ada Pak Tommy dan Pak Alex. Dia tidak ingin salah ucap, karena dia yakin inilah awal yang tepat untuk melepaskan diri dari bayang-bayang kesalahannya.
“Pak Lukman memiliki pengalaman lima belas tahun di bidang impor, tadi dia minta dokumen asli untuk bisa langsung dikerjakan. Kebetulan saat hanya bawa fotokopi, jadi belum bisa dia kerjakan. Tadi sudah saya ambil dokumen yang diminta dari kantor Pak Manik, jadi keputusan ada di tangan Bapak. Kalo bisa lanjut, besok pagi saya akan kembali ke bea cukai dengan Pak Lukman,” jelas Naura.
“Feeling kamu bagaimana?” tanya Pak Alex.
“Dia bisa kerja nggak, Naura?” Pak Tommy menambahi pertanyaan Pak Alex.
“Bisa, Pak.” Jawab Naura berusaha menyakinkan, padahal dia sendiri tidak yakin.
“Oke, saya pegang omongan kamu. Saya kasih waktu satu minggu, barang itu sudah harus masuk pabrik!” pinta Pak Alex sambil mengetukkan telunjuknya ke meja.
Naura hanya diam, ada keraguan dihatinya. Ketiga penguasa di kantor ini menatap tajam ke arah Naura, dia memikul tanggung jawab yang cukup berat.
“Siap, Pak. Saya usahakan.”
“Jadi kita nggak salah ‘kan impor crane? Lukman bahas itu nggak?” tanya Pak Alex.
“Dia hanya bilang barang itu tidak perlu di re-export, bagaimana caranya dia perlu dokumen asli dari barang itu,” ujar Naura.
“Memangnya dari dokumen fotokopi dia nggak bisa pelajari? Memang beda dokumennya, Naura?” tanya Pak Tommy sengit.
“Maksud Lukman, kalau seandainya kami bawa dokumen asli. Bisa langsung diurus, kalau hanya fotokopi tidak bisa, Pak.” Beni angkat bicara.
“Oke, saya paham. Kamu hubungi dia, pagi-pagi kamu ke bea cukai. Sendirian. Saya mau lihat kamu bisa nggak kerja sama dengan dia, kalau bisa, dia layak kita pertimbangkan. Kita nggak perlu pake Manik lagi, kita urus sendiri barang kita,” ucap Pak Hendi yang diikuti anggukan kepala Pak Alex.
“Saya coba hubungi Lukman, ya, Pak,” ujar Beni.
Setelah sambungan telepon tersambung, Beni langsung menyerahkan telepon ke Naura.
“Selamat sore, Pak Lukman. Besok pagi saya tunggu di bea cukai, ya, Pak. Saya sudah laporan ke atasan saya, kira-kira perlu waktu berapa lama ya, Pak?” tanya Naura dihadapan yang lainnya.
“Paling lama satu minggu,” jawab Lukman.
Naura melihat raut kebahagiaan dimuka ketiga atasannya, akhirnya Naura bisa melihat kembali senyum terlukis di pipi Pak Alex.

Bình Luận Sách (109)

  • avatar
    AjaRoni

    bagus

    6d

      0
  • avatar
    DavidHimang

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    Moh Zamzam

    din sanmers ajgd aburuts anvvsagdyemnjaki skjis akis

    16/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất