logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

bag 7. Akad Nikahnya Musa

bag 7. Akad nikahnya Musa
Tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depan rumah ibu mertua.
"Assalamualaikum, Mbak, apa benar disini rumah Ibu Zaenab?"
"Waalaikumsalam, iya benar, ini rumahnya," jawabku ragu-ragu.
"Saya ada perlu dengan Ibu Zaenab, apakah beliau ada di dalam?" Bapak itu bertanya dengan sopan.
"Ada di dalam, Pak. Silahkan masuk!" Aku menjawab sambil menarik tangan Mas Anung dan segera meninggalkan rumah ibu mertua.
Bapak itu berjalan dengan tenang mendekati ibu mertua yang sedang sibuk memisahkan makanan tradisional yang akan dibawa besok.
"Assalamualaikum, Ibu Zaenab!" Ibu mertua menatap bapak itu tanpa berkedip.
"Waalaikumsalam, iya saya sendiri, ada yang bisa saya bantu?" Ibu mertua berkata dengan sopan.
"Saya Tomo, apa ibu sudah tidak mengenali saya? Saya sahabat almarhum Bapak Zaenal." Bapak itu menjawab sambil menatap ibu mertua.
"Tomo, yang membawa lari uang penjualan tanah?" Ibu mertua menatap tajam penuh kebencian.
"Hmm … sebenarnya bukan saya yang membawa uangnya, benar saya yang mencarikan pembeli. Sebelumnya saya mohon maaf." Bapak itu berkata penuh penyesalan. Menarik nafas dengan kasar dan menghembuskannya perlahan.
"Kamu penyebab kematian suami saya, sekarang ada perlu apa lagi? Karena kamu, suami saya merasa bersalah kepada anak-anaknya. Sertifikat tanah dan uang hasil penjualan tanah juga kamu bawa kan!" Ibu mertua menatap sinis dan terlihat tidak suka.
"Maaf, maafkan saya, saya tidak bermaksud mengambil tetapi saya mengamankan. Sekarang saatnya saya mengembalikan kepada yang lebih berhak, ini saya serahkan kepada ibu," Bapak itu menjelaskan dengan hati-hati, kemudian menyerahkan amplop yang lumayan tebal dan satu lembar cek.
"Maksudnya ini apa? Untuk membayar nyawa suami saya?" Ibu tidak terima dengan penjelasan yang dijabarkan.
"Seandainya, menginginkan penjelasan lebih mendetail, saya antarkan sekarang ke pemilik utamanya. Tanah itu letaknya sangat strategis sehingga jadi incaran orang-orang yang melek akan bisnis. Sekali lagi saya minta maaf, dan saya mohon maafkanlah, biar saya bisa tenang!" Bapak itu terlihat memohon.
Oke, ini saya terima. Tapi ingat, persoalan kita belum selesai, setelah acara pernikahan anak saya, saya masih butuh penjelasanmu!" Ibu mertua menatap bapak itu dengan penuh kebencian.
***
Aku berusaha beristirahat sejenak untuk menenangkan pikiran, takut ikut terbawa emosi seandainya berada di dekat ibu mertua. Berkali-kali ku tarik nafas dan ku hembuskan kembali, sabar … hanya kata-kata itu yang selalu kutanamkan dalam hati.
"Mas, tolong yang dua kerdus njenengan bawa!" Aku berkata sambil menunjuk kardus yang ada di depanku.
"Mah, maafkan Ibu, aku minta maaf tidak bisa selalu berada di sisimu untuk membelamu," terlihat penyesalan di mata Mas Anung. Jujur aku tidak tahan melihat tatapan matanya yang selalu meneduhkan.
"Sudahlah Mas, aku sudah paham dengan segala tingkah laku ibu, sudah sepuluh tahun aku jadi menantu di keluargamu." Aku berkata sambil menggandeng tangan Mas Anung. Sungguh aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya.
"Terima kasih, Mah." Mas Anung meletakkan kedua kardus yang dibawanya, kemudian mencium keningku.
Tak terasa sepuluh menit berlalu dan sampailah kami di rumah ibu mertua lagi.
"Dias, ayo bantu Mbak, sini!" Mbak Nina begitu melihatku langsung berteriak memanggil.
"Iya, Mbak, ada apakah?" Tanyaku penasaran.
"Kamu itu keterlaluan ya, sudah tahu di sini repot, malah bolak balik pulang ke rumah! Untuk menghindari pekerjaan gitu?" Mbak Nina terlihat emosi. Makanan yang seharusnya dibungkus cantik masih tetap dibiarkan dan belum dikerjakan. Entah dia bingung atau memang menungguku untuk mengerjakan semua ini.
"Mbak, dengar ya, aku tuh dari tadi sudah mengerjakan ini semua, sisanya ya kamu dong yang mengerjakan. Apa harus aku semua yang mengerjakan? Tidak malu dengan orang yang selalu kau sebut debu di keluargamu ini, Mbak?" tanyaku menantang.
"Kurang ajar ya kamu, apa gunanya kamu sekolah tinggi-tinggi kalau tidak memiliki sopan santun!" Mbak Nina terlihat emosi.
"Jangan sebut sekolah disini, Mbak, sopan santun itu kebiasaan. Aku akan bersikap sopan dan santun kepada orang yang menghargai sopan santun itu sendiri," ucapku penuh penekanan.
"Sudah-sudah, ayo kita kerjakan bersama saja," Mas Anung mendekat dan berusaha mendamaikan kami.
Ibu mertua duduk di depan pintu kamar sambil memegang amplop dan selembar kertas, beliau benar-benar terlihat kacau.
Semua hantaran dan souvenir sudah tertata rapi di dalam rumah, untuk mempermudah supaya besok pagi bisa langsung dimasukkan ke dalam bus.
**
Musa, Ibu Mertua dan Mbak Nina sudah terlihat rapi pagi ini, senyum ceria menghiasi bibir mereka. Terlihat sekitar lima belas pasang kerabat juga sudah siap menuju tempat akad nikah.
Bus melaju pelan karena memang jalannya yang padat. Perjalanan kurang lebih tiga puluh menit menuju lokasi akad nikah, terlihat wajah tegang Musa dan Ibu Mertua selama perjalanan. Musik gamelan sudah terdengar begitu kami memasuki desa calon mempelai wanita. Terlihat keramaian di depan balai desa. Acara akad nikah dan resepsi diselenggarakan di balai desa karena kebetulan rumah orang tua Nina berada di depan balai desa.
Setelah sampai rombongan disambut dan dipersilahkan duduk. Acara terlihat megah dan mewah.
"Sah" terdengar jelas di telingaku, senyum bahagia terlihat pada kedua mempelai.
"Alhamdulillah, akhirnya sah juga Musa," gumamku pelan.
Aku merasa ada yang aneh dengan pesta ini, mengapa gubug-gubug yang seharusnya menyediakan makanan dan minuman untuk tamu masih kosong ya. Mulai terdengar bisik-bisik dari para tamu yang hadir, seharusnya setelah acara akad nikah para tamu bisa menikmati hidangan yang disediakan kedua mempelai.
Tiba-tiba terdengar suara
"Assalamualaikum, selamat pagi kepada tamu-tamu yang hadir disini, kami selaku keluarga besar H. Marjuzi dan bapak Zaenal beserta kedua mempelai Nina dan Musa memohon maaf atas ketidaknyamanan keadaan saat ini. Pada acara akad nikah dan resepsi hari ini, kami belum bisa menyediakan minuman dan hidangan yang seharusnya sudah dinikmati, karena pihak katering sampai saat ini belum tiba di lokasi. Kami sudah berusaha menghubungi berkali-kali tetapi selalu ditolak. Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamanan kali ini. Terima kasih."
Aku yang mendengar dan menyaksikan acara ini, benar-benar kaget. Ibu mertua dan Mbak Nina terlihat pucat pasi.
Mempelai wanita dan ibunya langsung pingsan mendengar pengumuman itu. Orang tua Nina merasa sangat dipermalukan pada acara ini, mereka tidak kuat dengan musibah yang menimpa saat ini.
Astagfirullah … astagfirullah, hanya kata-kata itu yang bisa aku ucapkan untuk menetralkan perasaan saat ini.
Mas anung berlari membopong ibu, sepertinya ibu benar-benar tidak kuat menanggung malu.
"Jangan pegang-pegang tanganku, haram tanganku kau sentuh!" Ibu menolak bantuanku dengan kasar.
"Pasti kamu sumber masalahnya, apa yang kamu lakukan pada pesta pernikahan Musa!" Aku menghirup nafas dalam-dalam, mengumpulkan segenap tenaga untuk menghadapi ibu. Tapi saat ini bukan saatnya aku membalas semua tuduhan ibu mertua.
Tiba-tiba terdengar jeritan dan keributan dari dalam balai desa. Kemudian terlihat beberapa orang berlarian masuk.
Apa yang terjadi di balai desa ya …
Penasaran, ikuti terus cerita ini, jangan lupa follow, like dan komen akun author ya … terima kasih, author berdoa semoga selalu diberikan kesehatan dan rejeki yang lapang, selamat membaca

Bình Luận Sách (10)

  • avatar
    VitorPaulo

    tá B tá tá tá tá tá tá

    20h

      0
  • avatar
    rmdhni_16aulia

    bagussss

    07/03/2023

      0
  • avatar
    a******8@gmail.com

    semangat kak ♥️ Bila berkenan, silahkan mampir ke Phoenix King Resurrection 🤗🙏🏼 kisah Kaisar Dunia yang bangkit setelah dibuli dan akan balas dendam pada Klan yang telah membuangnya ✨

    02/07/2022

      1
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất