logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

bag 5. Jamu Instan

Bag 5. Jamu instan
"Dasar debu, hanya bikin kotor nama baik keluarga!" Ibu mertua berkata sambil bersungut-sungut.
"Maaf ibu, maaf, …
Kebakaran … kebakaran …
Aku segera berlari keluar, dan mencari sumber suara. Ternyata banyak ibu-ibu yang berkumpul dan membakar batang tanaman empon-empon, akarnya diambil, dan tanahnya akan ditanami lagi.
"Ada apa ini ibu-ibu?" Aku bertanya pada ibu-ibu yang berkumpul.
"Ini, Mbak, kami membakar batang-batang tanaman biar tidak jadi sampah," Mbah Marjo berkata sambil memasukkan batang-batang yang kering.
" Jangan dibakar semuanya, yang dibakar yang sudah kering saja, sedangkan yang masih basah bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, dan akarnya dicuci bersih setelah itu dikeringkan. Kalau semua batang dibakar akan menghasilkan asap, itu bisa jadi penyakit," Aku memberi penjelasan kepada ibu-ibu.
"Owh, begitu ya, untuk empon-emponnya bagaimana? Apa bisa kami seperti Mbah Marjo?" tanya salah satu ibu-ibu.
"Mumpung banyak yang berkumpul disini, kita pindah ke balai desa, sekalian saya terangkan proses-prosesnya. Tolong itu apinya dipadamkan dulu!" kataku.
Setelah api padam, kami segera berjalan menuju balai desa, sekalian saja aku terangkan proses-proses pembuatan jamu instan. Tiba-tiba terlintas di otakku akan membuat semacam wedang uwuh, jahe instan, dan kunyit asam instan. Mulai dari empon-empon yang dicuci bersih kemudian diiris tipis-tipis, kemudian dikeringkan. Setelah itu dikemas untuk takaran satu gelas, tentunya dengan tambahan gula dan daun pandan kering.
Semalam aku sudah mempelajari proses-proses pembuatannya, sebenarnya aku belum ada persiapan apa-apa untuk usaha ini. Tujuan awalku hanya ingin membantu supaya empon-empon tidak dibuang.
Saat ini aku sudah berada di rumah, dan mulai memikirkan usaha baru yang akan aku rintis. Butuh tempat untuk tiap proses-prosesnya, dan juga membutuhkan tenaga untuk mengerjakannya.
"Mas, aku butuh tempat untuk proses produksi jamu instan nya, Mas, ada usul!" Mas Anung terlihat berfikir.
"Kita pakai rumah belakang saja, Mah, rumah itukan kosong, bisa kita pakai dulu," ucap Mas Anung.
"Bagaimana dengan, ibu, Mas? Apa beliau mengijinkan?" tanyaku ragu.
"Nanti, biar aku yang minta ijin, lagian rumah itu juga kosong, daripada rusak mending kita gunakan," Mas Anung meyakinkanku.
"Oke, makasih ya, Mas! Nanti kita bersihkan dulu ya, Mas!" Aku menjawab sambil memeluk tubuh Mas Anung.
Alhamdulillah usaha baru ku sudah mulai berjalan, sedikit demi sedikit hasil sudah bisa aku dapatkan.
"Nung, Anung," Ibu mertua berteriak di depan rumahku.
"Njih, Bu, Mas Anung baru beristirahat, ada apa?" tanyaku.
"Itu maksudnya apa? Banyak tumpukan empon-empon di halaman belakang rumah, trus itu mengapa ada beberapa warga yang keluar masuk seenaknya?" Ibu mertua bertanya dengan tatapan penuh kemarahan.
"Rumah belakang saya pakai untuk produksi jamu instan, dan ada beberapa warga yang bekerja disini," aku menjelaskan panjang lebar.
"Untuk apa? Supaya kamu dianggap pahlawan?" Ibu berkata dengan penuh amarah.
"Maaf, Ibu, bukankah kemarin Mas Anung sudah menjelaskan?" Aku bertanya dengan sopan.
"Kamu itu, dasar menantu tidak berguna, cepat panggil, suamimu!" Ibu mertua berteriak sambil menunjukkan jarinya padaku.
"Mas, cepat bangun, ibu marah-marah, cepat temuin Ibu!" Mas Anung kubangunkan dengan menggoyang-goyangkan badannya, akhirnya dia duduk dan segera menemui ibu mertuaku.
Jamu-jamu instan ini aku titipkan di warung-warung sekitar desa dan kecamatan, karena memang masih terbatasnya tenaga jadi hanya bisa sekitar kecamatan dulu. Untuk pasar kami juga prioritaskan karena jangkauannya lebih besar dari toko-toko ecer. Aku senang melihat antusias warga yang terlibat dari pembuatan jamu instan ini, tidak hanya aku yang diuntungkan tetapi warga sekitar juga kebagian penghasilan.
"Sudah jadi bos sekarang ya, ingat kamu memakai rumahku, kamu harus membayar sewanya, mana uangnya!" Perintah ibu mertuaku. Ibu yang seharusnya bangga dengan kemajuan anak menantunya. Aku sengaja mengalokasikan dana untuk sewa tempat, berjaga-jaga seandainya ibu mertua menagih pembayarannya.
"Ini, Bu, satu juta untuk satu bulan," aku berkata sambil menyerahkan amplop pembayaran.
"Lha, begitu, jangan lupa siapkan uang untuk pernikahan Musa, berjaga-jaga seandainya kurang," ucap ibu mertua sambil tersenyum puas. Aku hanya melongo mendengar kata-kata yang diucapkan ibu mertuaku. Dan beberapa warga yang masih berada di tempat produksi hanya mengelus dada, karena mereka memang sudah mengenal watak Ibu Mertuaku.
"Mbak Dias, aku ada pesanan jamu banyak, ada masing-masing meminta kiriman 100 pack, kemarin aku menitipkan sample di toko oleh-oleh sekitar kampus, dan tadi mereka mengabari minta kiriman besok, stoknya ada kan, Mbak?" tanya adikku Dira tiba-tiba.
"Kamu itu, datang bukannya salam langsung nyelonong saja," aku menjawab sambil bersungut-sungut.
"Lha dari tadi salam tidak ada yang menjawab, ya aku langsung ke belakang saja!" Adikku berkata sambil senyum-senyum.
"Besok aku ke kampus, Mbak, kalau bisa barangnya sekalian tak bawa saja," adikku melanjutkan omongannya.
"Memang bisa kamu bawa sendiri semuanya? Banyak lho! Besok kamu kami antar ke asrama saja, sekalian mengirimkan pesanan," jawabku panjang lebar.
" Oh iya...ya, skincarenya juga sekalian disiapkan mbak, ini catatannya!" adikku menyodorkan catatan pesanan yang harus dibawa besok.
"Alhamdulillah untuk rezeki yang tidak terduga ini, terima kasih ya Allah," gumamku pelan.
"Malah senyum-senyum, ayo buruan disiapkan," adikku menarik tanganku supaya segera menyiapkan pesanannya.
Aku segera mengambil barang-barang yang di pesan Dira, memisahkan dan membungkusnya dengan rapi sesuai nama pemesannya. Setelah itu pindah ke rumah belakang, bagian produksi jamu memisahkan pesanan Dira, yang jumlahnya lumayan banyak. Semoga ini bisa menjadi salah satu jalan rezeki kami.
Aku dan Dira dua bersaudara yatim piatu, rumah orang tua kami beda kecamatan dengan rumah suamiku. Saat ini, rumah orang tua kami dipakai saudara dari bapak. Setelah lulus SMA, Dira diterima di salah satu perguruan tinggi negeri yang mengharuskan dia tinggal di asrama. Walaupun anak bungsu, Dira tidak manja, dia bekerja berusaha hidup mandiri. Dengan membantu penjualan daganganku.
"Wah, kumpul nih, keluarga cemara, mau ambil jatah bulanan atau mau numpang makan?" Ibu mertua bertanya tanpa melihat kesibukan yang kami lakukan.
"Saya ambil pesanan, Bu, alhamdulillah lumayan banyak. Saya juga sudah kangen sama ponakan-ponakan comel." Dira menjawab tanpa memperhatikan ibu.
"Mbak, nanti aku tidur disini ya!" Dira berkata sambil tangannya tetap bekerja mencocokkan pesanan.
Ibu masih di rumah belakang, ikut mengecek dan memisah-misahkan bahan-bahan jamu. Di rumah jamu ini aku di bantu tiga ibu dari desa ini, yang sebelumnya sudah berprofesi sebagai pedagang jamu gendong. Untuk bahan-bahannya semua ambil dari desa ini juga. Untuk pemasarannya aku sendiri yang turun tangan, setelah pulang dari mengajar langsung berkeliling.
Dret … dret … handphoneku berbunyi.
"Dias, sudah lihat pengumuman reward di group belum? Atau ada email masuk dari PT?" Winny temanku bertanya lewat telepon.
"Pengumuman apa? Aku belum buka hp dari tadi, masih sibuk dengan jamu nih. Harap maklum aku kan pejuang receh!" jawabku.
"Ealah, malah pidato cepat buka grupnya! Benar tidak itu nama kamu?" teriak Winny.
"He … iya, sebentar aku buka," jawabku.
"Bismillah," gumamku.
Ada apakah dengan grupnya Dias? Penasaran kan!
Jangan lupa follow akun otor supaya bisa selalu update kelanjutan ceritanya,
Selamat membaca

Bình Luận Sách (10)

  • avatar
    VitorPaulo

    tá B tá tá tá tá tá tá

    1d

      0
  • avatar
    rmdhni_16aulia

    bagussss

    07/03/2023

      0
  • avatar
    a******8@gmail.com

    semangat kak ♥️ Bila berkenan, silahkan mampir ke Phoenix King Resurrection 🤗🙏🏼 kisah Kaisar Dunia yang bangkit setelah dibuli dan akan balas dendam pada Klan yang telah membuangnya ✨

    02/07/2022

      1
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất