logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Kemarahan Ibu

"Kamu gak mau pake jilbab ke sekolah, Ra?" Tiba-tiba Anggi mengagetkanku.
"Eh, kenapa?" Aku sampai-sampai tidak mendengar pertanyaan Anggi. 
"Yah, ngelamun ni anak. Aku tanya, kamu gak mau coba pake jilbab ke sekolah? Enak tau, Ra. Adem lho, jadi gak panas kalau kita jalan saat pulang sekolah," tuturnya. Dia mencoba membujuk dan merayuku untuk mengenakan jilbab. 
"Gak, ah. Aku belum siap, nanti aja. Suatu saat aku janji akan pake kerudung panjang kaya kamu," Aku menyahut dan menjelaskan sambil sedikit tersenyum. 
Sampailah kami di depan pintu gerbang masjid. Di dalam sana, rupanya dua orang perempuan berhijab lebar sudah menunggu kami. Satu di antara mereka sepertinya masih kuliah. Sementara yang satunya tidak bisa ku tebak karena beliau memakai cadar. 
"Assalamualaikum, Umi, Teh Rania." Anggi mendekat dan mencium tangan mereka satu per satu. Aku pun mengikuti apa yang Anggi lakukan. 
"Wa'alaikumussalam, Neng." Mereka menjawab dengan senyum ramah. 
"Oh iya, Serra. Perkenalkan...ini Ummi Fairuz dan ini Teh Rania." Sambil menunjuk ke arah mereka.
"Ummi, ini Serra. Dia temen satu kelasku, rumahnya di seberang rumah aku." Anggi memperkenalkanku kepada wanita bercadar itu. 
"MasyaAllah ... kumaha kabarna, Neng?" beliau menanyakan kabar. 
"Alhamdulillah, Ummi... baik." Aku hanya menjawab singkat sambil tersenyum malu. 
Tidak banyak yang kami bicarakan hari itu. Ummi Fairuz hanya memberikan arahan kepada kami tentang acara yang akan diselenggarakan oleh anggota DKM. Acaranya lumayan besar karena akan menghadirkan ustaz ternama di negeri ini. Pengawalan pun akan ketat. Aku dan Anggi karena masih remaja memang hanya diamanahkan sebagai pengarah dan penerima tamu perempuan saja. Namun, hal itu adalah pengalaman pertamaku menjadi panitia di luar acara sekolah. Terlebih, tamu undangan adalah warga sekitar masjid yaitu Kecamatan Buah Batu - Bandung. Pasti yang hadir pun sekitar ratusan orang. 
Ummi Fairuz kemudian memintaku untuk hadir dalam kajian mingguan yang ternyata Anggi sudah ikuti terlebih dahulu. Semenjak itu, aku mulai aktif menjadi anggota RPM (Remaja Pecinta Masjid) Al-Ikhlas. 
Seselesainya Ummi Fairuz dan Teh Rania memberikan arahan, kami pun bergegas pulang. Saat pulang pun kami melewati jalan yang sama sewaktu berangkat. Cuaca hari itu sangat cerah. Matahari menapakkan dirinya dengan gagah. Aku lupa siang itu Ayah akan berangkat lagi ke Jakarta. Ku segerakan langkah kaki ini supaya cepat sampai rumah. Jarak antara rumah dan masjid cukup dekat. Oleh karena itu, tak butuh waktu lama untuk menempuhnya. Sesampainya di depan rumah, aku dan Anggi berpisah. 
Di halaman depan, tampak Kak Reyhan sedang mencuci motor. Kendaraan roda dua itu adalah hadiah dari Ibu karena Kak Rey berhasil masuk di SMA favorit. Sama sepertiku, Kak Rey pun masuk ke kelas unggulan dan aktif di kegiatan OSIS juga Paskibra. 
"Kak, Ayah berangkat belum?" tanyaku dengan perasaan khawatir kalau-kalau Ayah berangkat tanpa sepengetahuanku.
"Belum, tuh masih di dalem lagi siap-siap," jawabnya. 
Belum sampai di dalam rumah. Ayah keluar dengan membawa tas ransel hitam, menggunakan jaket, lengkap dengan sepatu dan topi. Sepertinya beliau sudah bersiap-siap untuk berangkat. Segera ku hampiri Ayah. 
"Ayah, kok, gak nungguin aku, sih?" Dengan mata berkaca-kaca ku peluk Ayah. 
"Kalau gak nungguin, Ayah udah berangkat dari tadi atuh." pungkas Ayah. 
"Apa sih kamu, Neng. Kayak mau ditinggal Ayah selamanya aja," tukas Kak Rey. 
"Sembarangan, kalo ngomong gak pake otak." Ku lempar sandal yang ku pakai ke arahnya. 
"Canda... ih sewot, cepet tua nanti." Kak Roy tertawa girang mengejekku. 
"Udah-udah, Ayah berangkat sekarang, ya. Serra baik-baik di rumah, yang nurut sama Ibu," ucap Ayah. "Rey, jaga Adik dan Ibu ya." 
Aku dan kak Rey hanya diam mengangguk mendengarkan Ayah. Beliau pun pamit dan pergi. Sedari tadi tak tampak kehadiran Ibu di sini. Aku terdiam mematung di depan rumah melihat Ayah pergi. Beliau tidak pergi seorang diri. Seseorang datang menjemput membawa mobil Avanza, rupanya dia kawan seperantauan Ayah. Di depan pagar rumah beliau berhenti, membalikkan badan dan melambaikan tangan kepada kami. Aku dan Kak Rey membalas dengan senyuman sedih. 
Sementara itu, dengan tiba-tiba Ibu keluar, melemparkan handuk yang ku lempar tadi pagi kepada Kak Rey. Rupanya, Ibu marah karena handuk tersebut tergeletak di lantai depan kamar. Ibu berteriak mengomel seperti tanpa jeda. Ia sangat murka dengan hanya satu hal masalah yang aku buat. 
Bbbukkk! 
Aku sontak kaget karena handuk itu mendarat tepat di wajahku. 
"Kalau udah make langsung simpen di tempatnya!" teriak Ibu dengan nada kesal. 
"Iya, Bu. Aku lupa, tadi pagi terburu-buru," jelasku.
"Lupa mulu, terus kapan ingetnya? kamu pikir Ibu gak sibuk ngurusin rumah? sampe semuanya harus Ibu yang beresin," pungkasnya. 
"Iya, Bu. Maaf," jawabku sambil tertunduk sedih. 
"Bisanya cuma maaf, kamu itu sama aja kaya Ayah kamu." Ibu semakin murka. 
"Udah, Bu. Jangan marahin Serra. Tadi pagi aku yang lupa. Setelah Serra lempar handuk, aku simpen dulu di lantai soalnya aku kebelet mau ke WC, Bu." Kak Rey berusaha menenangkan Ibu.
"Kamu diem, Rey! Cepet masuk dan gak usah belain adik kamu!" Tampaknya Ibu semakin marah. Kak Rey pun masuk dan menepuk pundakku. 
"Kalau kamu masih ceroboh kaya gini lagi, besok-besok jangan main ke luar. Bisanya cuma main aja. Liat itu anaknya tetangga sebelah. Dia masih SD tapi udah rajin bersih-bersih." Ibu malah membandingkanku dengan anak tetangga. Padahal, setiap hari pun aku selalu membantu Ibu untuk mengepel lantai, setrika baju, cuci piring, dan pekerjaan lainnya. Namun, karena satu kesalahan yang aku buat, Ibu sampai semarah itu padaku. 
Sekali lagi, Aku pun meminta maaf dengan tulus. "Maafin Serra, Bu. Serra ga akan ceroboh lagi."
"Kalau kamu ngrasa ga betah di rumah, kamu bisa keluar aja dari rumah ini. Dasar anak manja!" Kata-kata Ibu semakin membuat hatiku hancur. 
Mataku mulai berkaca-kaca, aku hanya diam mendengar perkataan Ibu barusan. Tanpa pedulikan amarah Ibu, aku langsung masuk dengan menahan sedih di hati. Sesampainya di kamar, ku mrebahkan tubuh hanya untuk sekedar melepas lelah sejenak. Ku ambil pula buku 'diary' dan ku tuliskan semua isi hatiku saat itu. 
'Dear Diary'
Sedihnya hati ini karena semarah itu Ibu padaku. Aku tau pekerjaan Ibu di rumah sangat banyak. Ibu mungkin capek, tapi sampai semurka itukah? Sejauh ini aku selalu membantu Ibu merapikan rumah, tapi Ibu tak pernah menilai itu. Ibu hanya menilai dari kejelekanku. Aku mencoba memahami itu. Mungkin karena Ibu terlalu lelah. Andai Ayah masih di rumah. Ingin ku ceritakan semuanya pada Ayah. 
_Serralova_
Tanpa terasa air mata ini mengalir dengan derasnya. Sesak terasa memenuhi hati. Tanganku tiba-tiba gemetar, lalu ku lempar buku diary itu ke arah pintu kamar, dan aku menangis sejadi-jadinya.

Bình Luận Sách (234)

  • avatar
    e******s@gmail.com

    sangat seru dan menginspirasi

    11/06/2022

      0
  • avatar
    Wan Wan

    aduh, urusan mental ini selalunya dalem banget. jadi ikut terhanyut 😿 love yang banyak buat author mwah walaupun bikin sedih dari awal blurbnya 🙂🧡🧡🧡🧡🧡🧡

    19/05/2022

      0
  • avatar
    AmaliaRedyta

    Wah, bagus ini ceeitanya. Semangat update babnya, kak!

    31/03/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất