logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 42 Yang mengalah pada waktu

Liany meminta Satria untuk kembali ke rumah saja setelah dari rumah sakit, meskipun hanya semalam saja di hotel mewah hatinya sudah cukup senang. Tentu saja Lilis pun senang mereka pulang sehingga tak harus repot menghapalkan jalan ke kamar mereka di lantai yang semuanya terlihat mirip. Satria yang masih ingin tinggal akhirnya mengalah, kondisi tubuhnya juga terasa sedikit lemah dan rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk istirahat.
“Dalam minggu ini kita akan pindah ke rumah baru, jadi bersiaplah,” ujar Satria setelah mereka tiba di rumah. Rangga sudah tertidur pulas di dalam box sementara Lilis sedang beristirahat di kamarnya.
“Apa tidak terlalu cepat, Sat?” tanya Liany sambil membuka kancing bajunya, terlihat daster berwarna merah muda yang diletakkannya di bangku meja riasnya, dia akan mengganti bajunya dengan daster motif bunga itu.
“Lebih cepat ‘kan lebih baik, Sayang,” jawab Satria lalu mendekap mesra Liany dari belakang.
“ini hanya rumah kontrakan, kalau kita sudah punya rumah sendiri yaa lebih baik kita pindah ke sana. Ooh iya, kamu belum lihat rumahnya ‘kan? Kita ke sana besok yaa supaya kamu tahu apa saja yang kamu butuhkan untuk mengisi di rumah itu, kamu bebas membeli apa saja dan mengaturnya.”
Liany tersenyum manis sambil membisikkan kata terima kasih kepada suaminya, Satria hanya mengangguk lalu mendaratkan kecupan di bahu Liany dengan mesra. Lelaki itu melepaskan pelukannya dan membiarkan Liany meloloskan daster itu ke tubuhnya yang ramping. Satria mengamatinya dari pantulan cermin lalu menghadang Liany yang akan keluar dari kamar.
“Aku baru sadar kalau kamu itu, sexy banget kalau pake daster,” bisik Satria nakal yang disambut dengan siku Liany yang mendarat di perut Satria. Satria mengaduh pelan dan pura-pura kesakitan lalu dengan cepat dia menarik lengan istrinya sehingga membuat keduanya terjatuh di ranjang. Dengan gesitnya Satria melancarkan ciumannya bertubi-tubi sehingga membuat Liany tertawa geli dan berusaha lepas dari dekapan suaminya.
“Tidak akan kulepaskan kamu saat ini, Mama Rangga,” kata Satria pura-pura garang yang membuat Liany semakin tertawa hingga akhirnya Liany tak bisa melawan lagi dan menerima cumbuan suaminya dengan senang hati.


Bunyi wajan yang beradu dengan sutil serta aroma wangi bumbu menguar di udara ketika Liany masuk ke dapur. Di sana dia sudah mendapati Lilis yang tengah membuat nasi goreng untuk beberapa porsi.
“Bikin apa, Lis?” tanya Liany yang sedang mengambil air minum. Aktifitas dewasa yang dilakukannya barusan bersama Satria membuatnya kehausan.
“Bikin nasi goreng, Bu, soalnya kita belum punya bahan makanan terus Lilis lapar, mau pesan makanan online data Lilis habis, Bu, jadi …”
“Maaf yaa Lilis, soalnya saya belum sempat belanja, nanti kita belanja bareng yaa? Besok kamu ikut saya dan Bapak untuk lihat rumah baru.”
Lilis segera mematikan kompor, matanya berbinar senang menatap majikannya.
“Waaah mau, Bu …. Mau…! Eeh tapi Bu, kenapa mesti pindah? Rumah ini juga sudah bagus kok,” seru Lilis yang dengan semangatnya membagi nasi goreng itu ke dalam tiga piring. Selain mengasuh anak ternyata Lilis juga sangat cekatan di dapur.
“Ini rumah kontrakan saja, Bapak sudah beli rumah baru, saya juga belum lihat, besok kita lihat sama-sama, tapi nanti sore kita belanja bahan makanan dulu yaa,” jawab Liany. Diambilnya satu piring nasi goreng buatan Lilis dan dicobanya, Liany mengunyahnya pelan lalu mengangguk-angguk puas.
“Nasi goreng buatan kamu enak banget, Lis. Huumm .. maaf yaa, tugas kamu ‘kan cuma jagain Rangga saja, sekarang kamu harus turun ke dapur juga,” ujar Liany dengan perasaan tidak enak.
“Eehh gak apa-apa, Bu, malah Lilis senang bisa masak dan bantu-bantu yang lain, Den Rangga anaknya pintar gak rewel jadi Lilis punya banyak waktu luang.” Lilis tersenyum lebar tanpa beban yang membuat Liany terlihat lega.
“Terima kasih banyak yaa, Lilis,” ucap Liany lagi.
“Ahhh … itu udah bagian dari pekerjaan Lilis, Bu. Lilis percaya Ibu dan Tuan itu orangnya baik, Lilis aja diajak nginap di hotel dan makan di restoran, gaji Lilis juga lebih gede dari yang dulu. Kerja dengan Ibu dan Tuan itu Lilis udah syukuuuurr banget,” jawab Lilis dengan rasa haru.
“Kita makan sama-sama yaa, Bapak masih tidur, nanti sore kita belanja dan biar saya yang masak makan malam,” ajak Liany sambil menunjuk kursi di depannya. Sejenak Lilis ragu karena dia tidak pernah satu meja makan dengan majikannya. Biasanya mantan majikannya itu menyuruhnya makan di dapur tidak boleh di meja makan yang sama.
“Kamu kenapa, Lis?” tanya Liany yang melihat mata Lilis memerah.
“Lilis gak pernah dibolehin makan semeja dengan majikan Lilis, kenapa Ibu ngajakin Lilis makan di meja ini? Huuuaaahhh… Lilis merasa terhormat dan terharuuuu, Buuu…!” seru Lilis yang justru mengundang tawa Liany. Perempuan itu pun berdiri dan mengusap-usap bahu Lilis dan membimbingnya duduk.
“Lilis, dengar, kau adalah partner saya bekerja, kamu punya hak untuk diperlakukan manusiawi, kamu perlu biaya hidup dan saya butuh tenaga dan kepercayaan untuk membantu saya mengurus Rangga dan rumah ini.” Lilis berusaha menenangkan dirinya mendengar kata-kata Liany yang benar-benar menghargai tenaganya.
“Lilis janji Bu, Lilis akan lakukan yang terbaik buat Den Rangga dan rumah ini, nyawa Lilis taruhannya!” seru Lilis Lagi sambil menepuk dadanya. Liany tertawa kecil dan kembali duduk ke tempatnya semula.
“Huusss … jangan ngomong sembarangan aah, gak baik, cukup kamu jangan bikin Bapak ngomel itu udah bagus,” ujar Liany lagi lalu mulai menyantap nasi gorengnya. Hal itu diikuti Lilis dan keduanya benar-benar menikmati santapan mereka.


Mata Liany ditutup dengan selembar kain, Satria membantu Liany turun dari mobil yang diikuti Lilis dengan Rangga dalam gendongannya.
“Waaah … bagus ba—“
Satria segera menutup mulut Lilis yang hampir merusak kejutannya, mata Satria membulat dengan wajah garang yang membuat Lilis segera paham untuk menutup mulutnya. Lilis menjauh sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kirinya.
“Ayo, melangkah lah lima langkah,” pinta Satria sambil membimbing tangan Liany. Istrinya itu mengikuti perintah Satria sambil berhitung dalam hati. Satria membuka ikatannya tetapi belum membolehkan Liany membuka matanya sebelum dia berhitung.
“Tiga… dua … satu…! Open your eyes, Honey!”
Liany membuka matanya perlahan, dilihatnya pintu rumah dengan pita merah besar terpasang di sana. seluruh pandangan matanya menyapu rumah bercat putih itu, rumah yang besar dengan halaman yang luas serta paviliun yang terpisah di samping rumah. Rumputnya yang segar serta lengkap dengan beberapa permainan anak dan kolam pasir.
“Rumah yang indah ....” gumam Liany dengan penuh haru.
“Ayo kita lihat di dalamnya, lusa kita akan tanda tangan dokumen agar rumah ini resmi atas nama kamu,” ujar Satria sambil mempersilahkan Liany melewatinya dengan gerakan melambai dan sedikit membungkuk ala kerajaan dongeng.
Perempuan itu mengambil kunci yang masih berada di dalam kotak putih pemberian Satria dan membuka pintu perlahan. Ruang tamu yang luas dan masih lengang karena belum ada perabotannya.
“Aku sudah bilang jika nyonya rumah ini yang akan memilih sendiri perabotnya dan mengaturnya sesuai keinginannya.” Satria meminta Liany mengulurkan tangannya agar bisa menggandengnya melihat ke seluruh ruangan.
Lilis melihat seisi rumah dengan perasaan takjub, betapa keras pengasuh itu mencoba menghitung dan menaksir berapa harga rumah ini tetapi hal itu membuatnya pusing. Dia pun beralih pada ruangan belakang dan menduga-duga di mana letak kamarnya. Dari kejauhan dia melihat kedua majikannya sedang masuk ke kamar yang ukurannya lebih besar, pasti itu adalah kamar utama.
“Rangga, rumah barunya bagus banget, di sini Rangga bisa main sepuasnya sama Kakak Lilis, belajar jalan dan lari ke sana ke mari, pasti asik banget!” Lilis mengobrol dengan bayi tujuh bulan yang memandangnya dengan penuh suka cita. Selayaknya dia paham jika suasana orang-orang terdekatnya sedang bahagia.
“Kita susul Mama dan Papanya Rangga yuuk…” Lilis pun melewati ruang tengah yang luas dan desain rumah yang membuatnya berdecak kagum.

“Kamu menghabiskan berapa banyak untuk rumah ini, Sat?” tanya Liany yang terkagum-kagum dengan keindahan rumah yang dibeli suaminya.
“Hmmm… hampir separuh dari tabunganku, separuhnya lagi aku berencana untuk membelikan kamu mobil dan—“
“Sudah cukup, Sat, semua ini sudah lebih dari cukup, aku gak minta apa-apa lagi,” potong Liany cepat. Satria menarik pinggang Liany hingga merapat ke tubuhnya.
“Aku akan lakukan apapun untuk membuatmu bahagia, apapun itu untuk tidak membuatmu merasa kesusahan lagi, tidak merasa kekurangan dan bangga karena memiliki diriku,” ujar Satria dengan tatapannya yang dalam pada Liany.
“Cukup dengan dirimu ada dalam hidupku dan Rangga itu sudah membuatku bahagia, Sat,” jawab Liany dengan penuh haru, dadanya terasa sesak dengan rasa syukur serta kecintaannya pada lelaki yang tengah merengkuh tubuhnya hangat.
“I Love you, Liany,” bisik Satria mesra.
“I love you more, my husband,” balas Liany kemudian menyambut ciuman hangat suaminya di bibirnya, sesaat mereka berbalas dengan keintiman dan kemesraan yang menggelora.
“Bu, Den Rangga… yaaa Allah ampuni Lilis … mata Lilis ternodaaaa!” seru Lilis yang melihat Satria dan Liany sedang berciuman mesra di dalam kamar yang masih kosong itu. Mendengar seruan Lilis yang mengejutkan itu sontak Liany dan Satria saling menjauh.
“Liliiisss! Ngapain kamu ke sini hah?!” hardik Satria dengan kesalnya, ibu jarinya mengelap sudut bibirnya yang terkena lipgloss milik Liany. Liany mencoba bersikap tenang dan membawa Lilis keluar kamar.
“Lain kali, kamu ketuk pintu dulu yaa, jangan sampai mata kamu ternoda lagi,” tegur Liany halus.
“Iii-iya, Bu, Lilis minta maaf, tadi Lilis mau ketuk pintunya tapi pintunya udah terbuka setengah jadi Lilis masuk deeh, maaf kalau Lilis gak sopan, Lilis janji gak bakal ulangi lagi,” ujar Lilis sambil menaikkan dua jemarinya berbentuk V.
“Jangan kebanyakan janji deeh Lis, bahaya kalau kamu gak bisa tepati. Oh ya, kenapa kamu cari saya?” tanya Liany yang memperhatikan Rangga dalam gendongan Lilis.
“Tadi den Rangga gelisah, kayaknya den Rangga pup, Bu. Di sini kan belum bersih tempatnya buat den Rangga ganti diapers. Kita pulang dulu ya, Bu?” tawar Lilis.
“Ouh, oke, tunggu yaa, saya panggil Bapak dulu, kita langsung pulang habis dari sini.”
Liany mendekati Satria yang masih memeriksa jendela dan pintu kamar utama mereka.
“Sat, Rangga pup, kita pulang dulu, yuk, nanti di rumah kita bicarakan lagi soal perabotnya,” pinta Liany. Lelaki itu hanya mengiyakan dan mengikuti langkah Liany meninggalkan ruang kamar itu.


“Wilma, aku gak usah kemo ya, rasanya percuma aja,” ujar Tante Katrin ketika dokter Wilma memeriksa lagi keadaannya.
“Ayolah, Katrin, jangan menyerah dulu, kita belum tahu kan hasilnya kalau belum dicoba.” Dokter Wilma berusaha meyakinkan sahabatnya itu untuk melakukan pengobatan tahap selanjutnya.
“Wil, tolong dong, perlengkapan make up kamu aku pinjam dulu, Myla dan Papanya tidak lama lagi akan datang berkunjung, aku gak mau terlihat pucat.” Tante Katrin tersenyum dengan tatapan memohon.
“Oke, tunggu sebentar yaa.” Dokter Wilma pun meninggalkan ruangan Tante Katrin dan sesaat kemudian dia kembali dengan perlengkapan riasan yang cukup lengkap. Dokter itu membantu Tante Katrin untuk duduk dan mulai membersihkan wajah sahabatnya. Tangan dokter Wilma cukup terampil untuk merias wajah Tante Katrin, sentuhan blush on dan lipstik yang merah terang membuat Tante Katrin terlihat lebih segar dan ceria.
“Terima kasih banyak, Wilma. Tolong jika aku sudah tidak ada nanti kamu bantu hibur Rudy dan Myla yaa,”
“Duuh Kat, ngomong apa sih kamu? Kamu kuat dan harus bertahan, setelah ini setujui untuk kemo ya? Aku tinggal dulu untuk visit ke pasien lainnya,” ujar dokter Wilma yang membantu kembali sahabatnya untuk berbaring.

Sejam kemudian Myla dan Om Rudy benar-benar datang berkunjung. Suaminya membawakan seikat bunga mawar merah yang segar dan wangi.
“Waah Mama cantik sekali, dalam tidur seperti ini pun Mama tampak cantik,” puji Myla sambil mengecup pipi Tante Katrin yang dingin. Myla mengernyitkan dahinya, tak ada hembusan napas yang terasa dari Tante Katrin.
“Ma… Mama?” Myla memegangi tangan Tante Katrin yang dingin, tidak ada denyut nadi di sana. Om Rudy pun mendekati istrinya yang terlihat seperti putri tidur, cantik dan wajahnya begitu tenang.
“Pa… Papa … denyut nadi Mama gak ada!” seru Myla panik. Om Rudy bergegas keluar mencari dokter untuk memeriksa Tante Katrin. Tangan Tante Katrin yang lain terlihat memegang lipatan kertas yang terselip di sela jarinya. Myla mengambil kertas itu tanpa sempat membacanya, jantungnya berpacu sambil menolak kenyataan jika mamanya telah pergi.

Bình Luận Sách (253)

  • avatar
    KusumaMutmainnah Ningtyas

    ceritanya sungguh bagus smpe buat nangis, dan ketawa krn kisahnya😁

    24/01/2022

      0
  • avatar
    FonatabaSiphora Nelly marline

    bagus banget ceritanya kak.. please ada lanjutannya dong semoga Tante Katrin gak meninggal amin

    16/01/2022

      1
  • avatar
    Devi Damayanti

    novel yang sangat baik dan berkualitas penuh arti dalam kehidupannya rumah tangga yang baik juga banyak rintangan dan halangan dari mertua dan adik ipar yang sama-sama ingin menguasai harta yang bukan miliknya, dan kita bisa ambil hikmahnya dari novel tentang pengorbanan seorang istri untuk suami.

    12/01/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất