logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Teror

Mobil sedan warna merah yang Baron kemudikan, melaju dengan kecepatan sedang. Membelah lengangnya jalan raya yang terkesan lebih sepi dari biasanya. Di kursi belakang, Ernest yang duduk bersama Arthur masih terfokus memandangi secarik kertas yang diapit oleh kedua jemari tangannya. Kertas selebaran dari Supranatural High School yang meminta secara resmi agar Ernest dapat bergabung bersama mereka.
"Ck! Nih orang masih aja mantengin selebaran gak jelas kayak gitu. Udah, dibuang aja kenapa sih?" celetuk Arthur hendak merampas kertas itu dari tangan Ernest. Namun pemuda berdarah Tionghoa itu melarangnya, dengan alasan ... dalam selebaran itu tercantum namanya. Daripada hanya kertas selebaran, pamflet itu lebih mirip seperti surat undangan yang dikhususkan untuk Ernest.
"Eh, jangan! Lo gak tahu sih, ini kertas bisa jadi satu-satunya karcis buat nyembuhin parnonya gue tau! Menurut Devian nih ya, kalo gue masuk ke sana, maka rasa takut gue terhadap para makhluk astral itu bisa diobati. Atau paling nggak, gue bisa beranian dikitlah setelah sekolah di sana. Gue tertarik sih pengen masuk ke SHS ini, tapi ... nama sekolahnya itu loh, Bro! Masih bikin gue merinding," ungkap pemuda berbibir tipis itu menyatakan ketertarikannya.
Dari depan, Baron yang sedari tadi fokus mengemudi pun ikut menimpali. "Halah ... namanya aja Supranatural High School, Bro! Ya udah pasti di dalemnya Mbah-Mbah Dukun semua yang sekolah, ya nggak sih? Hahaha ...," ledeknya yang disusul gelak tawa oleh Arthur dan cengiran geli oleh Dylan. Ernest yang merasa tersinggung dengan candaan teman satu gengnya itu menghela napasnya berat, kemudian membuang mukanya ke arah jendela mobil yang menunjukan tempat-tempat gelap di sisi jalan raya yang dilalui oleh mobil tersebut.
"Devian itu ... nama cowok yang nolongin lo di Bioskop tadi, bukan sih?" tanya Dylan yang duduk di samping kursi kemudi, membuka suaranya. Setelah tawa meremehkan Baron dan Arthur berangsur hilang.
Malas, Ernest hanya menjawabi dengan sebuah anggukan. Untungnya, waktu itu Dylan tengah memerhatikan kaca spion bagian dalam mobil. Jika tidak, ia tidak akan tahu respon seperti apa yang Ernest berikan untuk menanggapi pertanyaannya. "Emangnya, itu anak punya kemampuan ekstra ya? Kok dia bisa ngobatin lo yang katanya pingsan gara-gara diteror hantu gitu sih?" sambung Dylan yang kali ini menoleh ke belakang, bersama tubuhnya yang sedikit ia miringkan.
"Katanya sih, dia anak indigo gitu. Yang emang sejak lahir udah punya kemampuan supranatural," jawab Ernest merilekskan punggungnya pada sandaran kursi.
"Punya kemampuan supranatural sejak lahir? Wah, jangan-jangan itu cowok panda, juga dukun tuh! Atau bisa jadi dia nipu lo! Hahaha ... Ernest-Ernest, makanya lo jadi orang jangan polos-polos banget kenapa!" sela Baron yang membuat mood Ernest semakin memburuk.
Ernest mendengus sebal. "Semerdeka lo aja deh, Bar! Mau ngomong apa aja terserah! Dari dulu, gue emang selalu kalah kalo ngomong sama lo! Udah ah, gue capek. Gue mau tidur aja," sungut pemuda bermata kecil itu seraya menutupi wajahnya dengan jaket jeans miliknya. Namun belum sempat Ernest memejamkan matanya, sekelebat bayangan putih yang sempat dilihatnya berdiri di pinggir jalan, membuat Ernest kembali menurunkan jaket yang menutupi bagian kepalanya tersebut.
"Tadi, apaan ya?" seloroh pemuda dengan style rambut pendek itu pelan, sembari melongok keluar jendela mobil yang dibukanya.
"Lo lagi ngapain sih, Nest? Buka-buka jendela mobil segala? Udara di luar tuh dingin tau, udah-udah ... tutup lagi gih!" titah Arthur yang mulai terserang kantuk.
"Ta-tapi ... itu, tadi di pinggir jalan ada cewek sendirian doang loh! Mungkin dia lagi nyari angkutan umum kali ya, tapi 'kan ini udah kelewat malem. Bar, Bar! Mending lo puter balik deh, kasian tuh cewek sendirian," pinta Ernest yang malah hendak membuka pintu mobil. Padahal saat itu, kendaraan roda empat yang mereka tumpangi masih sedang melaju.
"Eh, Nest! Lo gila ya? Apa jangan-jangan lo udah bosen idup? Mobil masih jalan, mau keluar aja!" omel Arthur bergegas menutup kembali pintu mobil yang baru sempat dibuka sedikit oleh Ernest.
Karena takut temannya akan berbuat hal-hal yang ekstrem, dengan terpaksa Baron pun menghentikan laju mobilnya. Namun belum sempat Baron dan Dylan melepaskan sabuk pengaman yang mengurung tubuh mereka, Ernest sudah lebih dulu turun dari dalam mobil untuk memastikan keberadaan sosok perempuan yang dilihatnya barusan.
"Mana? Sekarang mana coba, cewek di pinggir jalan yang lo bilang tadi? Gak ada, kan? Lo tuh lagi halu kali, Nest!" ungkap Baron dengan menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil.
"Tapi, tadi gue lihat itu cewek ada di sana loh. Ceweknya pake gaun putih ala Noni Belanda gitu, tapi kok ... sekarang dia gak ada ya?" sahut Ernest bingung sendiri.
Baron menggeleng lemah, sedangkan Arthur yang tak sanggup membuka matanya lebih lebar lagi hanya dapat menguap berulang kali. Di saat Ernest tengah sibuk mencari sosok yang sempat dilihatnya beberapa menit yang lalu, arah pandangan mata Dylan justru terfokus pada sebuah bangunan kuno yang berdiri kokoh lima meter di depan bagian kanan tubuhnya.
Benteng Vredeburg adalah tempat yang tengah Dylan amati lamat-lamat. Dari majalah misteri yang pernah dibacanya, gedung yang dibangun zaman VOC dulu, memang terkenal dengan keangkerannya. Karena setiap malamnya, ada saja beberapa pengguna jalan yang akan ditampakan sosok-sosok tak kasat mata penunggu benteng tersebut. Dan yang lebih sering mengganggu para pengguna jalan adalah penampakan hantu Noni Belanda beserta para pasukan pengawalnya yang tak memiliki kepala. Sadar mungkin yang sempat Ernest lihat tadi adalah salah satu makhluk astral penunggu benteng, Dylan menginstruksikan pada temannya untuk segera kembali masuk ke dalam mobil.
Belum sempat Arthur dan Ernest ikut masuk ke dalam mobil mengikuti jejak Dylan dan Baron, sebuah suara seperti peluru yang ditembakkan oleh sebuah senapan, sudah lebih dulu bersarang di dalam gendang telinga mereka berempat. Arthur yang masih menguap, lantas membuka matanya lebar lalu saling melempar pandang dengan Ernest yang juga tak kalah terkejutnya. Belum sempat mereka mengasumsikan suara tembakan itu berasal dari arah mata angin mana, sebuah kepala yang bagian lehernya berlumuran darah, sudah lebih dulu menggelinding di bawah kaki kedua pemuda tersebut. Dan berhenti bergerak dengan posisi wajah kepala tak bertuan itu menghadap ke arah Ernest dan Arthur.
Melihat mata merah dari kepala yang terputus itu bergerak-gerak menatap mereka, sepasang sahabat itu sontak menjerit histeris.
"Aaarrgghh!!! HANTU!!!"
Ernest dan Arthur bergegas masuk ke dalam mobil dan langsung duduk di kursi yang mereka tempati semula, dengan posisi tubuh mereka yang saling berpelukan erat.
"Bar, Bar! Ayo cepetan lo nyalain mesin mobilnya. Kayaknya ada yang gak beres sama ini tempat," titah Arthur menepuk pundak Baron yang langsung menuruti keinginannya.
Sepasang lampu mobil bagian depan menyala terang, seiring deru mesin yang kembali menyala. Belum sempat roda dari kendaraan berwarna merah itu bergerak maju, sebuah dentuman keras dari atap mobil terdengar memekakan telinga empat sekawan itu yang refleks menutup lubang telinga mereka menggunakan tangan.
"Apaan tuh?!" seloroh Baron hendak keluar dari mobil untuk memeriksanya. Namun aksinya segera ditahan oleh Dylan yang terlihat tegang menatap ke arah depan mobil.
"Lo gak perlu keluar buat mastiin apa yang jatuh tadi, Bar. Karena benda yang jatuh tadi udah ada di depan kita," ucap Dylan dengan keringat dingin yang sudah membanjiri lehernya.
Mendengar ada nada ketakutan dari suara temannya itu, Ernest dan Arthur yang sejak tadi sibuk berpelukan sontak mengalihkan pandangannya ke depan dasbor mobil. Hal yang sama juga dilakukan oleh Baron yang mulai menggerakkan bola matanya ke arah yang dimaksud.
Sepasang mata Baron, Ernest dan Arthur terbelalak lebar. Manakala mereka bertiga menemukan sesosok wanita yang mengenakan pakaian zaman koloni Belanda, dengan luka tembakan di perutnya yang mengucurkan banyak cairan berwarna merah, tergeletak tak berdaya di atas mobil. Pemandangan mengerikan yang terhidang tepat di depan mata mereka, membuat Dylan CS menjadi manekin hidup di dalam mobil. Mereka berempat baru dapat berteriak dan memutuskan untuk beralih haluan, memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah kepala Noni Belanda itu berputar dengan sendirinya ke belakang dan memamerkan seringai menyeramkan di wajahnya yang mulai membusuk.
*****
Tepat pukul 00:14 AM, mobil sedan milik Baron memasuki pelataran sebuah rumah besar bergaya eropa yang semua bangunannya dicat dengan warna putih susu.
"Dy, gak apa-apa 'kan malam ini kita semua nginep di rumah lo?" tanya Baron seraya mematikan mesin mobilnya.
"Udah, gak apa-apa. Ayo masuk! Lagian di rumah cuma ada gue sama si Mbok doang," balas Dylan yang sudah menapakan kaki kirinya di luar mobil. Lalu membuka pintu bagian belakang mobil untuk membangunkan Arthur dan Ernest yang rupanya terlelap saat dalam perjalanan menuju ke rumahnya.
"Nest, Ar ... bangun-bangun, udah nyampe tau. Yuk, masuk!" ujar Dylan beringsut menyusul langkah kaki Baron yang sudah berada di depan pintu utama rumah keluarga Mahardika.
Ernest mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum dirinya merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku, karena kejadian horor di jalan tadi. Sembari menguap, Ernest membangunkan teman di sampingnya yang masih tertidur. "Ar, Arthur! Bangun. Udah nyampe rumah Dylan nih, yuk masuk! Atau gue tinggal aja nih lo sendirian di dalam mobil?"
"Hmm, apaan sih lo, Nest! Ganggu aja. Udah sana duluan! Nanti gue nyusul," timpal Arthur dengan mata yang masih sulit dibuka.
Tanpa berpamitan lebih dulu, Ernest yang mendapat respon seperti itu langsung berjalan sempoyongan memasuki rumah besar Dylan, dengan pintu mobil bagian belakang yang masih dibiarkannya terbuka.
Arthur yang kelewat lelah, mulai mendengkur. Semakin dalam dirinya terbuai mimpi, kepala pemuda berahang lebar itu yang bersandar pada kursi mobil, seolah akan terjatuh. Namun tinggal beberapa senti lagi kepala Arthur membentur jok mobil, tubuh pemuda itu kembali menegak. Udara dingin tengah malam yang berasal dari luar mobil membuat Arthur sontak melipat kedua tangannya di depan dada. Jarak sepersekian detik, hidung lancip Arthur mulai bergerak-gerak. Kala ia mencium aroma tidak sedap yang dihantarkan oleh semilir angin tengah malam yang membuatnya bergidik. Aroma anyir yang semakin menyergap indera penciumannya, membuat tidur nyenyak Arthur terusik. Karena sesaat kemudian remaja lelaki itu langsung membuka kelopak matanya.
"Ini ... bau apaan sih, Nest? Parah banget baunya," celetuk Arthur menutup hidungnya menggunakan ujung lengan sweater yang dikenakannya, sembari kedua netra yang Arthur edarkan ke sekeliling. "Loh! Kok gue ditinggal sendirian sih, di sini?" tambahnya yang langsung terperanjat kaget, karena tak mendapati keberadaan ketiga temannya di dalam mobil.
Kruk ... krukk ....
Suara yang mirip seperti kuku jari yang tengah mencakar sesuatu, tertangkap telinga Arthur. Karena penasaran ia pun langsung mencari sumber suara tersebut, tak butuh waktu lama pemuda berdagu lancip itu mulai mencurigai suara aneh yang didengarnya berasal dari sebuah tangan berkuku panjang yang tengah menggaruk kaca mobil di sampingnya.
"Bar? Itu lo ya yang mau nakut-nakutin gue? Gak lucu tau, Bar!" suara berat Arthur menggema memenuhi ruang kosong dalam mobil tersebut. Karena tidak ada tanggapan yang berarti dari sang empunya tangan berwarna pucat pasi di balik kaca jendela itu, dengan nyali yang semakin mengecil Arthur mengumpulkan sisa keberaniannya untuk menjulurkan lehernya mendekati jendela tersebut. Belum sempat Arthur melongok keluar, kemunculan sosok hantu perempuan dengan rambut yang acak-acakan dan lensa matanya yang berwarna putih, sudah lebih dulu mengejutkan Arthur yang langsung melompat keluar dari mobil dan berlari memasuki rumah Dylan, dengan salah satu sepatunya yang membawa serta sebuah kertas selebaran.
KREBB!!
Dengan dada yang masih kembang kempis, Arthur menutup keras daun pintu di belakang tubuhnya. Ernest dan Baron yang tengah mendengarkan arahan Dylan yang sedang memperkenalkan ruangan demi ruangan dalam rumahnya yang jarang mendapat kunjungan itu, sontak teralihkan perhatiannya pada kehadiran Arthur.
"Kalian semua pada tega ya! Kenapa tadi gue ditinggal dalem mobil sendirian sih? Di sana masih ada hantunya, tau! Kayaknya itu hantu ngikutin kita pulang deh," cetus Arthur yang masih enggan melepaskan pintu rumah yang menjadi sandaran tubuhnya tersebut.
"Salah lo sendiri. Tadi waktu gue bangunin, lo malah bilang gue suruh duluan. Ya udah gue tinggalin lo sendirian di dalam mobil," seloroh Ernest yang tak mau disalahkan.
"Udah-udah, jangan pada salah-salahan gitu. Mending kalian semua tidur gih, kita tuh cuma butuh istirahat doang biar gak halu terus. Sana masuk, tuh kamar tamunya di sana. Gue mau ke dapur dulu, haus," sela Dylan menepuk bahu Arthur sebelum pemuda itu menggerakan tungkainya menuju ruang dapur.
"Dy, tunggu! Gue ikut lo. Gue mau ke toilet soalnya!" seru Baron bergegas mengejar Dylan.
Ernest kembali menguap, berjalan lunglai memasuki kamar yang Dylan tunjuk sebagai tempatnya menginap. Sedangkan Arthur yang berjalan di belakang Ernest sontak menghentikan langkah kakinya, kala mendengar suara kertas yang terseret-seret di bawah sana.
"Apaan nih?" lirih Arthur mengernyit bingung, setelah mengambil kertas selebaran yang menempel pada alas sepatu kirinya. "Supranatural High School untuk Arthur Samuel?" ejanya membaca kertas selebaran itu dengan mata yang ia sipitkan.
Sementara itu di ruang dapur, Dylan yang tengah meracik teh hangat untuk dirinya, mulai terganggu konsentrasinya saat mendengar suara kucing berkelahi dari halaman belakang. "Choky? Jangan-jangan dia berkelahi lagi sama kucing tetangga," gumam Dylan yang langsung membuka lebar pintu belakang rumahnya, setelah sebelumnya mematikan api dari kompor yang ia gunakan untuk merebus air.
"Pus? Choky?! Kamu di mana?" Dengan awas, Dylan mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru arah, mencari kucing hitam peliharaannya yang seharusnya tengah tidur lelap di dalam rumah. Aksi pencarian Dylan berhenti saat pemuda itu menemukan kucing hitamnya tengah duduk seorang diri di bawah sebuah pohon mangga yang rindang.
"Choky, kamu lagi ngapain di sini?" tanya Dylan menautkan kedua alis tebalnya. Merasa heran karena Choky terus menggeram dengan kepala yang mendongak ke atas pohon.
Sambil memeluk tubuh kucingnya yang ada di dalam gendongan, Dylan berujar, "Kamu lagi lihat apaan sih, Chok? Emang ada apa di atas pohon?" tanya Dylan yang lantas ikut mengangkat kepalanya untuk memandang searah dengan tatapan kucingnya.
Kedua mata Dylan membulat sempurna, saat ia menemukan sesosok makhluk yang wajahnya hanya dihuni sebuah mata berukuran besar dengan satu mulut yang gigi hitamnya berderet runcing, tengah bergelantungan di atas pohon menatap kucing peliharaannya. Melihat kedua tangan panjang makhluk itu yang sampai menjuntai ke tanah seolah hendak menangkapnya, Dylan segera mengambur masuk ke dalam rumah.
Napas pemuda yang memiliki dahi bulat itu tersengal-sengal, sedangkan kucing peliharaan yang masih berada dalam pelukannya, terus menatap pohon yang kini berjarak beberapa meter saja dari sepasang pintu kaca yang baru saja Dylan tutup. Takut makhluk menyeramkan itu akan mengejarnya, Dylan cepat-cepat mengunci pintu tersebut, lalu melapisinya dengan gorden tebal berwarna krem yang menghalangi jarak pandang dalam rumah tersebut dari suasana horor di luar rumah. Dan dari tirai gorden yang digesernya, sebuah kertas selebaran jatuh di atas tubuh kucing hitam peliharaan yang masih dipeluknya.
"Supranatural High School?"
Sejak zaman kuno, di berbagai negara yang ada di penuju dunia, mitos kucing hitam yang identik dengan hal-hal mistis memanglah sudah sangat populer. Hanya saja, dari sekian banyak mitos kucing hitam yang berkembang di tiap negara, tidakkah kalian tahu? Dibanding seekor anjing yang hanya dapat menggonggong saat melihat kehadiran makhluk astral di pekarangan rumah majikannya tepat tengah malam, seekor kucing jauh lebih pemberani. Karena macan kecil itu justru akan mengusir makhluk astral yang berniat jahat, jauh-jauh dari rumah majikannya. Dan bahkan, (khusus) kucing hitam akan dengan suka rela mengorbankan nyawanya untuk menjadi penangkal sihir atau mantra jahat (santet, teluh dan semacamnya) dari orang yang berniat buruk pada majikannya.
*****
Baron yang baru saja selesai membersihkan diri setelah buang air besar, menepuk-nepuk perutnya yang terasa lega dengan satu tangannya yang lain mulai memutar knop pintu di depannya. Gerakan tangannya yang membuka lebar pintu toilet itu terhenti, bertepatan dengan pemandangan tidak menyenangkan yang dilihat oleh Baron kala itu. Karena ia baru saja melihat hantu wanita bersurai panjang yang mengenakan daster putih penuh bercak darah di sekitar dadanya, tengah berdiri melayang di sudut lorong yang menjadi satu-satunya jalan untuk Baron dapat keluar dari kamar kecil itu.
Pintu yang tadi sempat Baron buka, kembali pemuda itu tutup dengan cara membantingnya. Buliran peluh yang muncul dari pori-pori tubuhnya, membuktikan bahwa Baron tengah dikuasai rasa takut yang teramat sangat. Wajahnya yang berubah pucat, mengisyaratkan tak beraturannya kinerja jantung yang tak dapat lagi memompa aliran darah ke seluruh tubuh secara normal. Kedua tangannya yang memegangi dinding di kiri dan kanan yang menghimpit kloset duduk itu, seolah menjadi saksi bisu akan luruhnya keberanian Baron yang terkenal sebagai preman sekolah, hingga tak memiliki nyali sedikit pun untuk keluar dari dalam ruangan pengap itu.
Baron menelan air ludahnya sulit, kala terbesit dalam benaknya akan ucapan Devian sewaktu di Bioskop; yang meminta Baron untuk mengembalikan benda yang diambilnya, sebelum si pemilik benda itu datang sendiri untuk meminta kembali benda yang diambilnya.
"Apa mungkin ini ada hubungannya sama gelang yang gue ambil ya?" gumam remaja yang memiliki tubuh padat berisi itu seraya melirik ke arah pergelangan tangan kirinya yang mengenakan sebuah gelang dari batu giok.
Tak betah jika dirinya harus berlama-lama tinggal di tempat yang bau itu, Baron memutuskan untuk mengintip keluar.
Setelah satu matanya yang Baron gunakan sebagai teropong di sela-sela pintu yang ia buka sedikit tak menemukan hal-hal yang mencurigakan, Baron mengelus dadanya lega. "Hhh ... syukurlah, itu Miss Kunti udah pulang ke alamnya kayaknya sih," celoteh Baron sebelum secara mendadak, tubuhnya terasa seperti tersengat listrik ratusan volt. Seiring dengan bulu roma di lehernya yang meremang karena embusan udara dingin di dekatnya. Sadar bahwa di tempatnya berada tidak memiliki ventilasi udara, Baron yang kepalang penasaran refleks menoleh ke samping kiri tubuhnya, dan langsung disambut delikan mata dari wajah gosong makhluk astral dengan separuh kepalanya yang sudah melepuh.
"Kembalikan milikku," pinta hantu itu membuat Baron berteriak lantang.
"HANTUUU!!! Tolong, ada hantu!!" Baron berlari kalang kabut keluar dari dalam toilet. Namun karena terinjak tali sepatunya sendiri yang terlepas, tepat di lorong yang menjadi sekat antara kamar mandi dan dapur itu, Baron jatuh tengkurap tak sadarkan diri di lantai. Disusul ikut terjatuhnya selembar kertas putih yang mendarat tepat di atas punggungnya.
Bersambung

Bình Luận Sách (77)

  • avatar
    damaniklina

    semakin baca kebawa saya semakin suka dengan jalan ceritanya. cerita yang bagus.

    03/02/2022

      0
  • avatar
    Riska Batubara

    bagus

    23/03

      0
  • avatar
    Nur Alif

    bagus

    23/07/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất