logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 PERTEMUAN KEDUA

Setelah pertemuan di tenda ketoprak Cirebon sore itu, Joni tidak serta merta langsung menghubungi Tika tanpa suatu alasan yang mendukung. Ia takut kalau-kalau Tika berpikir aneh tentang dirinya. Ia juga takut kalau Tika akan menjauhinya saat ia menghubungi tanpa tujuan yang pasti.

Hari demi hari terlewati begitu saja. Akan tetapi tak sehari pun ia membiarkan wajah Tika hilang dari bayangan di kepala. Wajah Tika seolah lekat pada seluruh tubuh dan jiwanya. Entahlah, ia pun bingung akan perasaannya sendiri.

Saban malam ia terbayang-bayang akan senyum Tika yang begitu memikat. Seumur hidupnya, baru kali itu ia memandang seorang wanita nan cantik dari jarak pandang yang kurang dari tiga puluh sentimeter.

Ketika perasaan makin tak karuan, rintik sore turun seakan sedikit memberikan peringatan kepadanya untuk bergerak agar makin tak tertinggal. Rintik itu berbicara dalam kesejukannya bahwa tidak ada wanita cantik yang tidak diantre.

Joni memutuskan untuk pergi memesan ketoprak di jam dan situasi yang sama. Ia berharap menemukan perempuan yang sama. Perempuan yang memesan tahu dobel pada porsi ketopraknya.
***

Mata Joni tak bisa berkedip kala melihat punggung perempuan yang selama dua minggu ini merasuki pikirannya. Instingnya tidak salah. Ada satu hal yang pasti––Tika memang suka makan ketoprak saat rintik sore sedang bertandang.

“Hai, ketemu lagi.” Joni berbasa-basi. Bagi sebagian orang, kalimat sederhana yang baru saja diucapkannya itu merupakan hal paling klise dan cara paling bodoh untuk menyapa seorang perempuan yang berhasil mencuri hati mereka.

Tika menatapnya lekat-lekat. Sambil mengunyah suapan ketoprak yang sudah diaduk sebelumnya, ia berupaya mengingat-ingat siapa lelaki yang ada di sebelahnya itu.

“Joni, yang kemarin minta nomor hape kamu,” sambung Joni cepat.

Tika mengangguk. Pada kunyahan terakhir yang dirasa tekstur ketopraknya mulai halus dan siap mendarat mulus di lambungnya, ia menelan cepat-cepat. “Oh, ya. Saya inget.”

Joni berhasil melawan kecamuk gugup yang sedari tadi merajai dirinya.
Perkenalan kedua yang singkat itu seolah menjadi polesan paling ampuh bagi Joni untuk mengambil langkah awal. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, kali ini Joni lebih berani dan berupaya memberanikan diri. Rasa yang semula lindap dan dipercaya akan hilang, kini makin menguat. Ia tahu bagaimana harus menuntaskannya, yakni dengan mengeksekusinya.
Hampir tiga bulan saling bertukar pesan sedikit banyak membuatnya mulai paham dengan Tika. Selain itu, beberapa kali mereka pergi bersama sekadar menonton film atau makan malam di warung pinggir jalan. Kini ia telah mantap. Tika adalah gadis pujaannya. Gadis yang tak akan salah jika dipilih sebagai pendamping hidup.
Mengenalmu adalah sebuah kebetulan yang menjadi anugrah di kala aku mengingatnya. Mereka bilang bahwa apa yang aku rasakan saat pertama kali memandangmu adalah sebuah isapan jempol belaka. Aku mengiyakannya untuk beberapa saat. Namun, ketika aku memikirkannya lagi dan lagi. Bertemu denganmu bukanlah sebuah kebetulan biasa. Ada anugrah yang terselip di sana. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menjemputnya menjadi sebuah kemungkinan. Apakah kamu mau membantuku mewujudkan kemungkinan itu menjadi sebuah kenyataan?
Wanita mana yang tidak klepek-klepek dituliskan prosa semacam itu? Tanpa pikir panjang, Tika langsung menerima cintanya bulat-bulat. Bayangannya melambung jauh. Jauh––sangat jauh. Tentang rumah impian yang ada di tengah padang rumput hijau seperti yang sering ia lihat di luar negeri melalui televisi. Hidup berdua saja menghabiskan waktu bersama sambil menyeruput teh hangat dan sepiring biskuit renyah. Atau membaca buku di kasur selepas terjaga dari tidur semalam. Tidak ada kebahagiaan yang lebih bahagia dibandingkan hidup bersama Joni, berlari dengan anak-anak mereka kelak, bermain layang-layang di lapangan lebar, dan berpiknik di akhir pekan, dan menggowes sepeda beriringan seperti iklan sepeda keluarga.
Meski Joni bukanlah lelaki idamannya, tapi Tika yakin seratus persen––ia adalah tulang rusuk milik Joni yang hilang. Selama menjalani bahtera percintaan, keluar masuk kapal––bahkan kapal negara seberang, tidak ada sosok Joni yang lain. Sosok yang mampu meluluhlantakkan hatinya hanya dengan prosa sederhana itu.
Setahun kemudian, pesta nan megah diselenggarakan dari patungan kedua orang tua mereka. Sebidang tanah warisan dijual. Mobil keluarga dilelang. Sertifikat rumah disekolahkan ke bank karena biaya yang diperlukan terlampau besar. Pokoknya, pesta pernikahan Joni dan Tika harus diingat oleh semua undangan.
Bukan main biaya yang digelontorkan oleh keluarga kedua mempelai. Inilah pesta bahagia. Inilah pesta yang patut dirasakan semua keluarga. Semua yang terbaik diberikan untuk pernikahan mereka. Sepasang anak muda yang mabuk cinta dan pula anak pertama. Orang tua mana yang tidak bangga saat anaknya menikah di usia yang ideal? Karena itu, pesta seperti ini mungkin tidak bisa dirasakan oleh semua orang. Tidak semua orang mendapat hak istimewa seperti itu.
Tidak butuh waktu lama setelah pernikahan, Tika mengandung. Joni tiba-tiba merasa dirinya perkasa dan kuat. Kata orang, laki-laki akan merasa menjadi laki-laki sesungguhnya kalau istrinya mengandung anak pertama. Joni akan jadi bapak. Lelaki mana yang tidak senang saat tahu dirinya sebentar lagi akan jadi bapak?
Tika tertawa lepas saat melihat suaminya berjingkrakan di kamar sederhana berukuran tiga kali tiga meter persegi. Kamar sederhana yang tak luas itu hanya dihiasi oleh beberapa bingkai kecil foto pernikahan mereka, foto saat mereka resmi berpacaran, dan foto saat mereka makan ketoprak bersama satu bulan sebelum pernikahan.
Empat sisi dinding seolah menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka berdua. Dalam beberapa kesempatan, Joni memeluk istrinya erat-erat. Hal yang dianggap mustahil terjadi begitu saja dan menjadi kenyataan. Kehamilan yang terlalu awal, namun membahagiakan. Mereka mengakui itu.
“Kamu senang?” tanya Tika yang tengah bersandar pada bahunya.
Ia tersenyum, kemudian mengangguk pelan. Momen itu dilanjutkan dengan tangannya membelai lembut rambut sang istri. “Aku tidak menyangka bahwa kita akan mendapatkan anugrah terindah di awal usia pernikahan kita, Sayang.”
Malam itu, mereka berdua tak mampu terpejam. Semalaman yang mereka lakukan adalah saling bersandar.

Bình Luận Sách (435)

  • avatar
    KhoirilOing

    saya suka dengan novelah ini sangat bagus dan menarik

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Dyan Adriansyah

    sangangat menarik, dan tutur bahawsa nya juga sangat efektif. saya sanganat terhibur sekali dengan novel ini, daripada saya belo buku yg akhirnya menjadi barang bekas lebih baik saya membaca di sini. sangat menghibur sekali pokonya

    23/01/2022

      2
  • avatar
    FaridaqilMuhd

    good the best

    4d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất