logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Cantik Istri untuk Suami

Arana merebahkan tubuhnya ke kasur setelah shalat witir. Sudah hampir larut suaminya belum juga pulang. Mana di luar hujan deras. Apa mungkin jadwal kuliahnya padat, ya? Ah. Memikirkan itu Arana jadi terpaksa bangkit keluar dari kamar menuju ruang tamu.
Arana menyibak gorden, menatap nanar hujan yang turun. Lalu dia dikejutkan oleh sebuah mobil sport yang parkir di halaman rumah. Arana mengernyit, sejak kapan Galih pulang? Kenapa dia nggak tahu?
Ah, tentu saja dia nggak tahu. Galih punya kunci duplikat. Kali aja dia langsung ke atas tanpa Arana ketahui.
Duaarr!!!
Arana terpekik begitu petir menggelegar kuat hingga kilat menyambar membuat langit berubah putih sekejap. Arana refleks menutup kedua telinganya. Dia ... menangis, melihat sekeliling. Takut. Kegelisahan abstrak lantas menyerang dadanya bertubi-tubi.
Duaaarr!!
Arana terpekik lagi. Sambil tetap menutup telinganya, Arana berlari menaiki tangga. Untuk gadis yang begitu phobia dengan suara petir harus segera mencari tempat untuk berlindung. Kalau dulu dia selalu berlindung di pelukan Ibu, kini dia terpaksa mencari pelukan yang baru.
“Galih!!” teriak Arana menggedor-gedor pintu kamar Galih. Arana yakin cowok itu pasti ada di dalam kamar. Dia pasti sudah pulang. Namun naas, pintu tak kunjung terbuka hingga petir berulang kali menggelegar, membuat Arana meringkuk bersandar di pintu, menangis histeris sambil menutup telinganya.
“Ibu ...,” lirih Arana di sela isaknya. “Ibu ....”
Arana merasa pintu bergerak. Begitu dia berdiri, dia lihat cowok jangkung menghadap dirinya dengan tampang bingung.
Arana sesenggukan. “Gal—AAA!!” teriak Arana yang refleks memeluk Galih, tersedu-sedan di dadanya. Galih kaget, tentu saja. Cowok itu bingung setengah mati mau melakukan apa.
“Lo—“
“Takuut.” Arana terisak. “Aku takuut.”
Petir terus menggelegar, disambut tangisan Arana yang semakin kencang. Galih yang buntu mencari jalan keluar hanya mampu mengelus pelan punggung dan kepala Arana, walau kaku. Dia bisikkan kalimat supaya gadis itu bisa tenang. Yang mana dia malah dibuat bingung sendiri dengan kalimat yang baru diucapkannya.
“Nggak usah takut. Gue di sini.”
**
Ketika Arana membuka mata, dia dapati sepasang mata di depan matanya. Ada hidung yang menyentuh hidungnya. Juga ada tangan kekar yang membelenggunya. Wajah ganteng itu menyeringai, menyapa sinis Arana di awal Subuh.
“Udah hampir jam lima,” bisik Galih, membuat Arana terperanjat, bangkit dari kasur dengan tampang singa betina. Dia sentuh wajah dan rambut tergerai yang sudah terlepas dari hijabnya, seolah-olah sedang mengecek apakah ada organ tubuhnya yang hilang.
“Jangan macam-macam kamu!” tunjuk Arana pada Galih yang terkekeh di kasurnya. “Jangan bilang kalo kamu—“
“Sex sama lo?” Galih ketawa. “Jangan kepedean.”
Napas Arana tertahan. “Siapa yang suruh kamu ngebuka hijab aku!?”
“Hijab lo bikin kasur gue penuh. Yaa, gue lepas deh.” Sungguh jawaban yang membagongkan.
“Aku nggak pernah ngijinin kamu buat buka, ya!”
“Kenapa sih, sensi amat? Kayak orang lain aja.”
“Masalahnya kamu itu—“ Arana terdiam, tak jadi melanjutkan kalimatnya. Dia raih guling guna melempar wajah Galih yang masih memamerkan senyum asimetris.
Arana mengambil hijabnya yang tergeletak di sofa. Dia buka pintu kamar sambil menunjuk matanya lalu menunjuk ke arah Galih dengan dua jari. Menekankan kata, “Awas kamu.”
Pintu ditutup, melunturkan senyum Galih. Cowok itu memperbaiki posisi tidurnya yang tadi miring menjadi menghadap langit-langit. Dia sentuh dadanya, ada bedug yang berdendang.
Jantungnya berdegup dan itu terlalu kencang. Galih kesal karena harus mengakui itu.
“Aku tau ini nggak adil; seorang cewek yang nggak pernah nyentuh yang bukan mahramnya, sekarang malah meluk cowok yang mungkin udah dipeluk puluhan cewek yang bukan halalnya. Aku tau. Tapi aku nggak pernah nuntut ke Tuhan. Karna aku yakin, kalo emang cowok itu takdirku, seberapa banyak pun cewek yang meluk dia, rasanya bakal beda. Yang halal bakal lebih istimewa. Tuhan Maha Adil. Aku selalu yakin itu.”
Galih memicing matanya rapat. Suara lirih Arana masih berdengung di kupingnya.
“Tapi kalo emang dia bukannya takdir aku, aku yakin. Tuhan pasti kasih yang lebih baik dari sebelumnya.”
Galih mengusap kasar wajahnya. Degupnya masih belum berhenti. Terlebih ketika syarafnya membayangkan wajah teduh Arana ketika tidur, juga senyum manis saat Galih mencoba mengusap air matanya. Dan ... aroma rambut Arana yang menyejukkan.
Galih langsung beranjak, berlarian masuk ke kamar mandi. Tanpa melepas pakaikannya terlebih dahulu, dia langsung menyalakan shower, membiarkan dirinya basah dihujani air.
**
“Aku bisa naik ojol, nggak butuh jasa antar dari kamu!”
“Bacot. Ini titah Mama. Gue nggak bisa nolak. Lagian masak iya cadaran tapi boncengan sama non muhrim.”
“Mahram!”
“Whatever.”
Di balik cadarnya, bibir Arana mengerucut. Dia lempar tatapan sebalnya keluar jendela mobil, menatap rumah demi rumah yang ditinggalkan.
Tak lama mobil kian berbaur di jalan raya. Sementara suasana dalam mobil klise banget; hening. Nggak ada yang memulai percakapan—
“Lo emang beneran takut geledek, atau cuma modus buat tidur di kamar gue?”
Ternyata Galih yang memulainya. Langsung saja lirikan sadis mata Arana menjawab pertanyaan itu. “Amit-amit jabang bayi.”
“Kenapa bisa phobia?”
“Kenapa aku musti cerita? Toh kamu nggak bakalan peduli.”
“Seenggaknya gue tau dikitlah tentang bini gue. Kalo ntar phobia lo kambuh di tempat umum, otomatis orang-orang langsung nyari siapa lakinya. Kalo mereka nanya dan gue nggak tau, kan nggak lucu.”
Arana diam sejenak sebelum menjawab, “Waktu kecil, aku punya temen. Kita main berdua di lapangan pas hari hujan. Tiba-tiba ada geledek, dan geledeknya nyambar teman aku. Langsung, di depan mata sendiri.”
Hening satu detik, dua detik ....
“Pfft.” Galih memukul stirnya sambil terpingkal. “Buahahahahaha!!”
Arana tersenyum kecut. “Itu bukan hal yang pantas buat ditertawakan.”
“Lo ngarang? Disambar geledek di depan mata lo sendiri? Hahahah!”
“Badannya terbelah, badan sama kakinya pisah. Hangus. Wajahnya ngarah ke aku. Sejak itu kalo dengar geledek, aku ngerasa geledek bakal nyambar aku dan aku, juga ngerasa temen aku itu bakal ngikutin aku. Mungkin buat kamu ini lawakan goblok. Tapi buat aku ini kelemahan yang harus aku tanggung seumur hidup.”
Galih diam, berhenti memukul stirnya. Dia lirik Arana. Sorot gadis itu jelas menyiratkan pilu. Dari sana Galih berubah yakin bahwa cerita itu bukan karangan belaka.
“Harus meluk orang?”
“Harus.”
“Kalo misalnya tadi malam gue nggak ada?”
Arana menoleh. “Kamu bakal capek gendong cewek pingsan ke kamarnya.”
Hening. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Hingga gedung kampus Arana mulai terlihat, suasana masih tetap hening. Sampai akhirnya Galih kembali bicara saat mobil berhenti untuk membiarkan Arana turun.
“Lo cantik. Sayang ditutup pake cadar gitu.”
Arana urung menutup pintu mobil usai keluar. Dia memilih membungkuk, menatap lekat mata Galih.
“Cantik perempuan sejati itu cuma untuk suami.”
Pintu ditutup, meninggalkan Galih yang sendirian termangu.

Bình Luận Sách (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    14d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất