logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 35 Senyum Canggung

Arana mengernyit melihat isi kamar kost nya yang terasa agak ‘kosong’. Gimana enggak? Ranjang dua tingkat hanya tersisa satu kasur. Tak ada lagi lemari kecil milik temannya. Termasuk kompor, kasur santai, alat-alat dapur, bahkan sikat gigi. Tak ada lagi outer dan cardigan yang menggantung di dinding. Hanya ada barang-barang milik Arana.
Oh, apakah ini ada hubungannya dengan perasaan Silvi terhadap Galih?
Adakah Silvi kecewa karena Galih, sosok yang dikaguminya sejak lama ternyata adalah suami sahabatnya sendiri?
Arana menyasak rambutnya cemas. Lantas dia berlari ke luar. Menghambat taksi, kemudian melesat ke restoran.
**
Lima tahun yang lalu.
Rumah sakit saat itu tengah sunyi. Silvi, gadis mungil dengan jaket kebesaran itu, duduk meringkuk memeluk kedua kaki. Bersandar di dinding koridor lantai bawah. Tersedu. Sendiri.
Ibunya, yang sejak kecil mengasuhnya tanpa pamrih, baru saja dinyatakan meninggal. Semua orang tahu Silvi yang paling berduka. Semua orang tahu, meski dirinya tetap tersenyum bahkan tak menangis itu, pasti sangat terluka. Kehilangan ibu yang selama ini membesarkannya seorang diri, mustahil bagi gadis semurni Silvi untuk tak bersedih.
Padahal malam sudah larut, padahal dingin begitu menggigit, gadis itu masih saja sesenggukan di sana, tanpa peduli brankar kosong yang bisa saja bergerak sendiri.
Saat itulah, atmosfer tiba-tiba berubah. Silvi spontan mendongak begitu seseorang berjalan ke arahnya. Sosok perempuan dengan gaun rumah sakit. Berambut panjang dan tergerai. Meski pucat, senyumnya tampak lembut. Ada tongkat di sisinya. Serta sebelah kaki yang diperban.
Silvi tampak tak takut. Dia lantas bertanya, “Siapa?”
Perempuan itu mengulurkan tangan. “Arana.”
Silvi mengabaikan uluran tangan itu. “Ada apa?”
Arana menarik tangannya kembali. Masih tersenyum. “Ngapain tengah malam di sini?”
Silvi menyeka air di wajahnya. Mengalihkan pandangan. “Bukan urusan lo.”
“Hmm. Kalo gitu, maaf. Aku kira hantu, ternyata kamu,” ujar Arana hendak berbalik. “Pulang gih. Bahaya sendirian di sini.”
Melihat Arana berbalik dan berjalan tertatih dengan tongkat, tanpa pikir dua kali Silvi beranjak. Berseru, “Anu!”
Arana berbalik. Tersenyum. “Hm?”
Walau ragu, Silvi tetap mengajukan pertanyaan. “Kaki lo ... kenapa?”
“Oh, ini,” Arana tertawa. “Kamu tau kan, ada takdir yang nggak bisa diubah? Ini contohnya. Aku pikir, lari dari kenyataan bisa bikin bahagia. Nyatanya ... aku malah dikasih ini.”
Silvi lihat Arana tersenyum melihat sebelah kakinya yang tak berpijak pada lantai. Meski senyum itu lembut, jelas, itu adalah senyum luka.
“Walau gitu, aku tetep beruntung masih dikasih kesempatan buat hidup. Aku, satu-satunya orang yang selamat di kecelakaan bus seminggu yang lalu.” Arana terkekeh. “Ingat nggak? Itu loh, yang katanya nggak satu pun ada yang selamat. Jahat banget ya, aku diklaim mati. Hehe.”
Silvi mengernyit tak habis pikir. “Apa ....”
“Hm?”
Air mata Silvi kembali mengalir. Wajahnya memerah. Menatap Arana tajam dengan kening berkerut.
“Apa ... apa yang bikin lo, tetep ketawa?”
“Ng, maksud kamu?”
Tangis Silvi pecah. “Lo cacat! Lo hampir mati! Apa yang bikin lo tetep ketawa, seolah-olah kecelakaan itu nggak ada artinya buat lo sama sekali!?” Silvi melangkah, mendorong Arana sekuat mungkin. Membuat Arana terhuyung jatuh ke belakang. “Kalo bokap lo, nyokap lo udah nggak ada, dan kaki lo kek gitu, kenapa lo masih bersyukur tetep hidup? Kenapa!? Kenapa orang kayak lo selalu ngerasa baik-baik aja padahal Tuhan ngerebut semuanya dari lo? Kenapa orang kayak lo selalu bikin gue benci!!?”
Arana kaget. Dirinya yang kini terduduk terperangah melihat gadis sebaya dirinya tengah sesenggukan usai bergebu-gebu. Silvi menjatuhkan dirinya, duduk bersimpuh. Jemarinya seolah meremas lantai. Air mata itu jatuh seiring dengan bunyi gericik air di kolam taman.
“Ibuku baru aja meninggal,” kata Arana mengagetkan Silvi. “Kamu bener. Buat apa berharap tetep hidup kalo semua yang kita punya direbut sama Tuhan? Tapi, apa nggak terlalu naif buat nanya kayak gitu?” Arana terkekeh. “Apa sih yang kita punya? Bahkan tubuh kamu sendiri, bukan kamu yang punya, ‘kan?”
Silvi terdiam. Berhenti tersedu.
“Bahkan untuk berdiri aja ...,” Arana masih terkekeh, “kalo nggak dikasih izin, kita nggak bakal mampu.”
Silvi mendongak memperhatikan Arana yang mencoba berdiri sendiri dengan susah payah.
“Selagi aku punya Allah ...,” Arana mengulurkan sebelah tangannya di hadapan Silvi, “walaupun semua di Bumi lenyap,” Arana tersenyum. “Aku bakal baik-baik aja.”
**
Begitulah, kesan pertama Silvi bertemu Arana untuk yang pertama kali. Gadis cantik yang selalu tersenyum itu, dalam lima tahun ini, tak pernah Silvi lihat dia menangis. Gadis lembut berbalut busana lebar. Ah, jujur saja. Silvi benar-benar mengagumi sosoknya sejak saat itu.
Namun, segalanya tiba-tiba berubah. Untuk pertama kalinya dia lihat Arana menangis. Belum sempat memahami makna tangisnya, Silvi malah dikejutkan oleh pertanyaan Galih. Silvi dikejutkan oleh opini aneh. Kenapa Arana menangis? Kenapa Galih mengejarnya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Akhirnya, pertanyaan itu terjawab ketika Azka, koki kesayangannya Galih, datang kepadanya menanyakan kejadian itu. Kesempatan Silvi untuk bertanya ada apa di antara Arana, sahabatnya, dengan Galih, sosok yang semua orang tahu Silvi menyukainya.
Lalu, pijakannya goyah saat tahu Arana adalah istri sahnya Galih, yang menghilang sejak lima tahun lalu.
Sejak Silvi bertemu Arana untuk pertama kali. Dan Galih mulai kehilangan sejak saat itu.
Satu-satunya alasan bagi lelaki itu untuk bertahan tidak melirik wanita mana pun.
Karena sudah ada Arana di hatinya.
Kenapa Arana tak pernah bercerita? Selama lima tahun ini, kenapa Silvi tak tahu sama sekali kalau gadis itu sudah pernah menikah? Dan lagi, kenapa harus Galih? Kenapa bukan Ogik? Kenapa harus Arana?
Kenapa, lagi-lagi, Tuhan merebut mimpinya?
“Sil ....”
Silvi spontan menoleh. Entah sejak kapan Ogik berdiri di sampingnya tengah memegang spatula.
“Dari kemaren gue pantengin lo ngelamun melulu kenapa sih? Pucet, lagi. Sakit?”
Silvi menggeleng. Kembali membasuh piring yang sempat terbengkalai.
Ogik menghela napas. “Atau jangan-jangan ada hubungannya sama kejadian kemaren?”
“Apa sih tuh liat ayam lo gosong tuh.”
“Lo kecewa kan, Galih udah ada istri?”
Tangan Silvi spontan berhenti membasuh piring yang berbusa. Melihat itu Ogik menghela napas lagi. Prihatin.
“Gue pikir kalian demen Galih cuma buat candaan. Harusnya dari awal lo musti bikin perisai buat hati lo sendiri, Sil. Nggak ada akhir yang baik buat orang yang terlalu berharap.”
Silvi hanya diam. Kata-kata itu membungkamnya.
“Tapi, kali aja buat lo ada ending yang bagus. Kita kan tau bos kita gimana.”
Silvi menoleh. Dia lihat Ogik yang tersenyum lalu mengangkat bahunya.
“Mungkin lo musti belajar ilmu poligami, kalo nggak pengen jadi pelakor.”
“Silvi!” Seseorang melongok di pintu ruang masak, mengalihkan perhatian Ogik dan Silvi. “Ada yang pengen ketemu sama lo.”
“Siapa?”
Cewek yang memanggil Silvi itu membuka pintu, memperlihatkan seseorang yang berdiri di sampingnya kepada Silvi.
Perempuan berambut tergerai dengan sweater kebesaran. Menyapa Silvi dengan lambaian tangan. Tersenyum canggung.
“Arana?”

Bình Luận Sách (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất