logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

If You are My Destiny

If You are My Destiny

hayeljunmaula


Chương 1 Dia

Aku adalah hujan. Jika kau takut sakit, berteduhlah.
-Galih
.
Arana tak mungkin salah lihat. Tidak! Dia hafal betul wajah Galih. Tak lucu kalau dia menyangkal bahwa laki-laki yang dia lihat itu adalah seseorang yang mirip Galih. Tidak, tidak, tidak!
Dia benar-benar Galih, suaminya! Suami yang nekat dia tinggal sejak lima tahun yang lalu. Tanpa kata, tanpa cerai, dia menghilang dari Galih begitu saja. Selama lima tahun itu dia benar-benar putus kontak dengan Galih. Ya, untuk dirinya yang sebatang kara, nggak susah buat mengasingkan diri seolah lenyap ditelan bumi. Dia emang ahlinya bersembunyi.
Namun kini, walau Galih yang tengah duduk di meja sana sama sekali tak menyadari ada yang memerhatikannya, Arana yang ahli bersembunyi itu basah hatinya. Matanya berair. Bukan, bukan rindu yang membuatnya begitu.
Hatinya perih, iya.
Kejadian lima tahun lalu seketika berputar di benaknya.
Arana berbalik. Berlari dia meninggalkan temannya dan keluar dari restoran.
"Arana!" teriak Silvi menggema, mengundang pengunjung restoran yang sedang asyik makan menyempatkan diri untuk menoleh padanya. Termasuk laki-laki yang menjadi alasan kenapa Arana pergi.
Galih lantas menyapu pandangan. Matanya menyipit menatap perempuan dengan rambut lurus tergerai menutupi setengah punggung. Berusaha menyangkal nyeri begitu perempuan dengan kemeja dan jins sepaha itu melenggang cepat keluar dari restoran.
“A ... rana?" gumamnya lirih.
**
Beberapa tahun lalu.
Ini menyakitkan, sungguh. Bagaimana mungkin ibu tirinya tega menjodohkan dirinya dengan tujuan untuk memperbaiki ekonomi yang kini kian merosot?
Risa, wanita 54 tahun itu membentak Arana kasar. Nggak peduli dia lagi sakit. Yang penting bentakannya membuat Arana mau menurut.
"Keluarga Galih itu kaya-raya! Kamu beruntung dipilih sama keluarga mereka! Asal kamu tau, banyak cewek-cewek ngantri cuma untuk ngemis agar mereka bisa menjadi istri Galih!"
"Astaghfirullah, Ibu, Rana masih 20 tahun, masih pengen bebas kuliah. Kan aku udah bilang, aku insya Allah pasti bisa ngasih Ibu duit tiap bulan. Aku kan juga kerja."
"Alasan kamu itu-itu terus! Kamu pikir kerja di toko buku bisa biayain hidup Ibu, apa? Untuk biaya kamu aja nggak kesampaian, malah ngimpi mau ngasih Ibu tiap bulan!"
Lagi-lagi Arana menangis karena ucapan ibu tirinya.
"Rana pengen menikah karena Allah, Bu, bukan karna harta."
"Kan Ibu yang nyuruh. Kalo kamu nggak nurut berarti kamu durhaka!"
"Astaghfirullah, Bu ....”
"Sudah! Besok pagi keluarganya datang. Awas kalau kamu nggak siap-siap. Sekarang sana tidur!" bentak Ibu seraya menutup pintu kamar Arana kasar.
Arana melepas mukenanya. Di tepian kasur dia menutup wajah, menangis tanpa suara. Hanya isak yang terdengar. Arana benar-benar merasa tak berdaya sekarang.
Andai saja ayah kandungnya masih hidup, pastilah beliau menentang keputusan ibu tirinya. Ayahnya yang bijak, tak mungkin mengamanatkan anak tunggalnya dengan cowok yang shalat aja diragukan. Ayahnya tak akan sembarang memilih menantu.
Tapi andai hanya tinggal andai. Ayahnya sudah berada di bawah tanah sejak Arana SD.
Ibu kandungnya juga sudah meninggal sejak melahirkan dirinya. Dan dia dibesarkan oleh Risa, istri kedua ayahnya yang jarang berlemah-lembut. Namun sekasar-kasarnya Risa, Arana tetap sayang. Karena berkat wanita itulah Arana masih bisa sekolah hingga kuliah.
Mungkin karena sakit, Risa terpaksa menyuruhnya menikah. Risa tak mampu lagi menanggung biaya pendidikan Arana. Walaupun dengan cara yang salah, Arana yakin Risa melakukan itu untuk kebaikan Arana.
Namun, ini tetap membuat hatinya perih.
Dia benar-benar berharap pagi tak muncul, agar dia terbebas dari perjodohan yang menurutnya sungguh gila.
**
Bukan Arana nggak kenal Galih. Bukan. Mereka malah satu angkatan di SMA yang sama, dulu. Galih yang langganannya ruang BK siapa pun tahu. Termasuk Arana yang bahkan pernah jadi bahan bully-an cowok itu.
Cowok itu pernah menarik jilbabnya dari belakang di depan orang rame. Kejadian memalukan itu nggak bakal bisa Arana lupakan. Dan kini, cowok degil itu tengah berkutat dengan ponselnya di saat ortunya dan ibu Arana larut dalam pembicaraan serius.
Sementara Arana menatap Galih dingin, nggak habis pikir dengan tingkah laku cowok itu yang nggak berubah.
Kalau saja Risa nggak sahabatan sama mamanya Galih, pasti Arana nggak bakal dihadapkan dengan situasi yang membuatnya ingin kabur ke hutan untuk berteriak bersama beruk-beruk dan monyet yang ada di sana.
Dan, tiba-tiba saja, Galih terpingkal sendiri—di depan layar ponsel yang masih dia mainkan, membuat semua pasang mata beralih padanya.
"Galih!" sahut Ayu. Wanita berkhimar lebar itu menepuk lengan anaknya. "Simpan dulu HP-nya!"
Galih tak mengindahkan titah mamanya. Dia tetap larut memainkan ponselnya.
"Galih." Suara dingin Ridwan, pria berbadan kekar yang duduk di samping Ayu segera membuat Galih buru-buru menyimpan ponselnya, disusul dengusan tidak suka.
"Kami berharap kalau Galih sudah nikah, dia bisa berubah. Istrinya cantik dan sholehah," ujar Ayu lembut.
Ridwan, suaminya mengangguk setuju. Risa terkekeh. Sementara Arana tersenyum getir di balik cadarnya.
"Sholehah apaan. Paling cadarnya cuma buat topeng. Secara kan sekarang jamannya cadar tapi teroris," ketus Galih enteng yang refleks disambut tatapan maut dan hardik dari sang papa.
"Jaga mulut kamu Galih!"
Galih memutar matanya jengah. Nggak sengaja tatapannya bertemu dengan sepasang iris cokelat almond cerah Arana. Sempat termangu sebentar, dia akhirnya menyeringai seolah meremehkan.
Saat itu juga keinginan Arana berkobar-kobar ingin menjambak kesal rambut cowok itu.
**
Acara akad serta pesta resepsi yang diadakan dalam satu hari telah selesai. Dekorasinya simpel tapi kesannya mewah. Banyak tamu undangan yang berdecak kagum ketika datang, namun decakan kagum mereka lebih tertuju pada mempelai wanita, Arana, perempuan cadar bergaun putih bak bidadari yang jadi sorot perhatian karena keanggunannya.
Setiap salaman, mereka pasti memuji Galih dan Arana, dibilang cocok berkali-kali. Galih hanya terkekeh, sementara Arana hanya tersenyum getir di balik cadarnya.
Di depan para tamu, Arana melihat jelas raut antusias Galih menyambut para tamu, seolah-olah dirinya yang paling bahagia dan menginginkan pernikahan itu. Namun, siapa yang tahu, di balik tawa cerianya ... nggak ada setitik pun kata yang terlontar di antara mereka selama bersanding.
Nggak ada. Dan Arana pun nggak ngarep sama sekali ada perbincangan di antara mereka walaupun cuma kata sederhana seperti; capek, nggak?
Sekarang, Arana berada di dalam kamar Galih yang sudah dihias sedemikian rupa—khas kamar pengantin. Sementara Galih masih di luar, menemani genk bandit masa SMA-nya dan teman-teman kuliah yang tentu saja masih single semua. Iyalah, orang umur mereka masih 19-20 tahunan.
Sudah hampir setengah jam Arana berada di kamar mandi setelah shalat Isya. Air kran sengaja dia nyalakan, membuat air bak meluap penuh. Dirinya bersandar di dinding bak yang membuat kaus putihnya kuyup. Membuat sekujur tubuhnya licin dilengketi air.
Air matanya terus mengalir dari tadi, tanpa henti, membuat kepalanya sakit dan matanya jadi bengkak. Bibirnya pucat kebiruan. Dia peluk kedua kakinya, menumpukan dagu ke lutut, menatap kosong lantai keramik yang dialiri air.
Hatinya perih. Dan dia memilih meluapkan sayatan perih itu lewat menangis di kamar mandi.
Dia selalu begitu; menangis di kamar mandi. Beralasan ingin mandi, tapi yang dia lakukan malah menangis sampai sesak di hatinya ringan. Dia terlalu malu menangis di ruangan di mana orang-orang bisa memergok dirinya. Kamar mandi menurutnya lebih nyaman.
Namun kali ini, entah kenapa dia ingin berteriak. Masalahnya, nggak mungkin dia nekat berteriak bebas di kamar mandi. Bisa-bisa dia dikira tak waras.
“Woi!” Suara Galih bersamaan ketukan pintu kamar mandi terdengar dari luar. “Lama banget lo, elahh. Gue mau mandi nih, gerah.”
Arana terkesiap. Tanpa menjawab dia segera meraih gayung lalu menyiram tubuhnya. Saat dia bangkit melihat wajahnya di cermin, lagi-lagi dia tersenyum getir. Apa kata suaminya jika melihat Arana dalam keadaan amburadul dengan mata bengkak begitu?
Setelah melepas kain basahan, Arana memakai handuk kimono, lalu menutupi rambut basahnya dengan jilbab sorong. Walau bagaimanapun, dia belum siap total memperlihatkan auratnya-kecuali wajah—pada suami sah yang sama sekali nggak dia cinta.
Yah, walau dia tahu itu salah besar. Semoga Allah memaafkannya.
Arana membuka pintu kamar mandi. Di depannya sudah berdiri sosok jangkung berkulit lebih cerah dari dirinya. Wajahnya mulus tanpa noda. Alis matanya tebal, hidung mancung serta bibir ranumnya merah muda. Urat lehernya terlihat, jakunnya juga jelas.
Ganteng banget.
Arana mengalih pandangan ketika sorot mata laki-laki itu menajam.
“Lain kali kalo mau tidur di kamar mandi tuh, ngomong. Biar sekalian sampe besok gue biarin lo di dalem. Udah sana minggir.”
Arana hanya bisa termangu ketika Galih melewatinya dengan sedikit senggolan kasar di lengan. Setitik air jatuh begitu saja dengan lancangnya.
Air matanya.

Bình Luận Sách (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    14d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất