logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 46. Tamat.

Dua bulan kemudian
Gudy menggeliat merubah posisi tidurnya untuk mencari kenyaman, tapi saat satu tangannya meraba tempat di samping yang selalu menjadi kebiasaan Maria tidur ia tidak dapat menemukan istrinya itu. Gudy langsung membuka matanya, untuk memastikan. Benar saja, Maria tidak ia temukan di mana-mana.
"Sayang," Gudy memanggil serak.
Tidak ada jawaban. Gydy turun dari ranjang, mencari keberadaan istri yang baru ia nikahi dua bulan lalu itu. Kini dirinya dan Maria sudah tinggal di rumah mereka, tidak lagi tinggal bersama orang tua Maria.
Drama menjengkelkan dengannya Arkan tidak mau mengijinkan Maria untuk pindah membuat Gudy ingin menggigit habis sosok kakak iparnya itu. Pada akhirnya setelah sang nyonya besar Kinanti menjewer telinga Arkan, barulah ia dapat membawa Maria lepas dari sosok kakak yang selalu memonopoli istri tersayangnya itu.
Gudy melihat jam, jam masih menunjukan waktu dini hari. Jam 1 lewat 30 menit, tapi Maria sudah menghilang saja. Baru Gudy mau melangkah ke luar dari kamar, suara keran di putar dari arah kamar mandi mengurungkan niatnya.
Gudy membelokan langkahnya ke arah kamar mandi, mengetuk pintu. "Sayang, kamu di dalam?"
Tidak ada jawaban, yang ada hanya suara seseorang muntah-muntah. Mendadak perasaan Gudy menjadi tidak nyaman, ia mengetuk lagi pintu dengan cepat.
"Sayang, jawab! Apa kamu di dalam?"
"Iya, Mas." Maria menjawab dengan sedikit teriak.
"Aku masuk ya?" Gudy bertanya, tapi tangannya memutar kenop dan mendorongnya masuk.
Saat melihat wajah Maria yang kacau, Gudy langsung menghampirinya dengan perasaan cemas. Ia memeriksa dahi Maria, lalu turun ke lehernya.
"Apa kamu sakit?"
Maria menggeleng, "hanya masuk angin."
Gudy mengangguk mengerti, "masih mual?"
"Iya, perutku sangat tidak nyaman. Lemas juga," Maria mengusap dahinya yang berkeringat dingin. Menatap Gudy dengan pandangan sayu, "ayo Mas, kita kembali tidur."
Gudy mengangguk sembari membawa tubuh Maria kembali ke kamar. Baru saja gudy membaringkan tubuh Maria, Maria sudah bangun kembali dan berniat berlari ke kamar mandi. Namun, naasnya kaki dia tersangkut selimut dan menyebabkan tubuhnya oleng seketika, beruntung Gudy dapat menangkapnya tepat waktu. Alhasil, Maria mengeluarkan cairan berwarna kuning di lantai.
Maria menatap sedih muntahannya di lantai, tanpa dapat dicegah air matanya mengalir dengan deras. Maria menatap Gudy dengan luapan rasa bersalah yang teramat dalam.
"Mas Gudy, maaf. Aku muntah di lantai, tapi aku langsung bersihkan kok."
Gudy menyipitkan mata begitu melihat Maria menangis. Ada apa? "Kenapa kamu menangis? Tidak apa-apa kamu muntah dilantai, itu hanya perlu dibersihkan." Gudy mengusap air mata yang mengalir bak air sungai di pipi Maria, "sudah, jangan menangis! Sekarang kamu naik lagi ke atas tempat tidur, biar aku yang bersihkan sekaligus buatin teh hangat untuk membuat perutmu nyaman."
"Tapi,"
"Tidak apa-apa," Gudy tersenyum sembari menatap Maria dengan senyuman penuh pengertian.
Setelah memastikan Maria tidur lagi, bergegas Gudy ke luar kamar untuk membuatkan teh hangat. Sebenarnya Gudy mengantuk berat, dia abru tidur jam 12 malam. Itu berarti baru satu setengah jam ia tidur dan sekarang dipaksa bangun karena Maria muntah-muntah.
Saat Gudy sampai di kamar, ia langsung membangunkan Maria yang masih berbaring di atas tempat tidur. Membantunya meminum teh hangat, lalu membaringkan lagi istrinya ini.
"Kamu tidur aja duluan, Mas mau bersihkan muntahannya dulu."
Maria menatap Gudy yang turun dari ranjang, pergi ke kamar mandi dan kembali dengan seember air dan lap. Setelah mengelap bersih muntahannya di lantai, Gudy kembali ikut bergabung bersama Maria ke atas kasur.
Gudy membawa tubuh Maria ke dalam dekapannya. "Kenapa belum tidur, hm?"
"Menunggu Mas," Maria menjawab serak.
"Setelah matahari terbit, kita langsung cek kondisimu ke Dokter." Merasa Maria ingin menolak, buru-buru Gudy menambahkan perkataannya. "Tidak ada penolakan."
Pada akhirnya Maria hanya mengangguk pasrah. Keduanya kembali tidur, mengarungi mimpi yang sempat tertunda. Tanpa tahu paginya, Gudy dan Maria dikejutkan dari kabar yang dikatakan Dokter.
"Apa Dokter todak salah memeriksa?" Maria bertanya sekali lagi.
Saat ini Maria dan Gudy sudah duduk berhadapan dengan seorang Dokter perempuan paruh baya. Maria baru selesai diperiksa dan sudah duduk di kursi yang ada di samping Gudy.
Sang Dokter tersenyum, "sama sekali tidak. Saat ini usia kandungan bu Maria memasuki trimester pertama, di mana sang ibu harus menjaganya penuh kehati-hatian karena masih rentan. Usianya baru satu bulan, tapi bila Bu Maria dan Pak Gudy ingin mendapatkan hasil yang lebih kalian bisa memeriksakannya ke Dokter kandungan."
Gudy hanya bisa terdiam dengan bibir sedikit terbuka, terlalu terkejut dengan perkataan Dokter. Sebelumnya ia sudah tidak pernah lagi membayangkan di dalam rumah tangganya akan hadir seorang bayi yang akan meramaikan rumahnya dengan suara celotehannya, tapi rencana Allah SWT. ternyata lebih menakjubkan.
Gudy menggenggam tangan Maria dengan erat, perlahan sebuah senyuman lebar terbit pada kedua sudut bibirnya. Matanya menggembun, terlalu bahagia karena akan menjadi seorang ayah.
"Terima kasih," Gudy berbisik di dekat telinga Maria. Ia tak kuasa menahan luapan bahagia, Gudy memeluk Maria dengan erat menyaluekan rasa senangnya.
Sedangkan Maria sudah terisak bajagia. Tak pernah terpikirkan ia akan menjadi seorang ibu. Ternyata benar, karunia Allah SWT. itu sangat indah. Maria yang dicampakkan Fiko karena dianggap tidak bisa memberinya keturunan kini bahkan setelah dijadikan ratu oleh laki-laki yang tengah memeluknya erat, ia juga akan diamanahkan seorang bayi.
Maria sangat bahagia.
"Kita akan menjadi orang tua," Maria balas memeluk Gudy dengan erat.
Gudy melepaskan pelukannya pada Maria, menatap sang Dokter dengan riak bahagia pada wajahnya. "Kami permisi dulu, Assalamualaikum."
"Waalikum salam," sang Dokter menjawab. Ia menyodorkan secarik kertas berisi resep obat untuk Maria. "Ini ditebus ya Pak dan Ibu."
Gudy mengambil kertas itu, memasukannya pada saku celana. "Baik, Dokter."
Baru saja Gudy dan Maria menutup pintu, mereka dikejutkan dengan kedatangan Fiko yang tiba-tiba berdiri di depan Maria dan Gudy. Fiko meremas keryas yang ia pegang di tangannya, menatap Maria dan Gudy dengan pandangan penuh luka.
"Kalian... ngapain di sini?" Fiko bertanya sedikit ragu. Melihat Maria mengelus perutnya, tiba-tiba perasaan yang tidak bisa ia gambarkan menelusup ke dalam hatinya. Sesak dan pengap, "apa kamu hamil?"
Maria tidak tahu kenapa Fiko bisa bertanya seperti itu, karena sebelumnya ia yang mengatakan kalau dirinya mandul. Namun, itu bukan prioritasnya sekarang, karena tampaknya singa lucu di sampingnya tengah terbakar. Maria harus segera pergi dari sini sebelum sang singa mengamuk gak jelas.
"Ya, alhamdulillah Allah SWT. masih mempercayakannya pada saya." Maria berucap sambil diiringi senyum tipis, senyum yang menggambarkan kesopanan sekaligus menegaskan jarak di antara dirinya dan Fiko.
"Kami permisi," Gudy menimpali sebelum Fiko kembali bertanya. Dengan sengaja ia menarik tubuh Maria dengan melingkarkan tangannya posesif di pinggang Maria. Melenggang pergi, karena sejujurnya ia masih melihat cinta di mata mantan suami Maria itu untuk istri tercintanya ini. Bahkan ucapan salam oun tidak Gudy ucapkan.
"Tunggu!" Fiko memanggil.
Maria dan Gudy otimatis berhenti, mereka menoleh ke arah Fiko.
"Maaf karena dulu sudah menyakitimu, Maria."
Maria tersenyum, kemudian mengangguk. Setelah itu ia dan Gudy tidak lagi berhenti atau sekedar untuk melihat ke belakang. Masih ada masa depan, jadi masa lalu biarlah berlalu.
Fiko yang ditinggal hanya dapat menelan ludah pahit. Ia semakin meremas surat di tangannya, surat yang menyatakan kalau dirinya mandul. Fiko datang ke sini karena penasaran, kenapa dua wanita yang ia nikahi tak kunjung hamil anak dirinya. Setelah diperiksa, berkali-kali Fiko mengutuk diri. Penyesalan dan rasa bersalah menggerogoti tubuhnya.
Fiko sangat menyesal karena sudah melepas wanita sebaik Maria demi hal yang dari awal ada pada kesalahannya sendiri.
"Maaf," Fiko berbisik sendu saat melihat punggung yang dulu selalu menyemangatinya kini bersisian dengan punggung orang lain.
Ia sadar, Maria sudah tidak mungkin ia jangkau lagi. "Ku harap kamu tidak melupakan kalau Mas pernah menjadi bagian dalam hidupmu."
Tamat

Bình Luận Sách (126)

  • avatar
    Ike Roesli

    Mantap... ceritanya gak bertele2... endingnya jg cukup singkat tapi 👍👍👍👍👍

    04/04/2022

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Makin seruu

    18/08

      0
  • avatar
    Itsmetata

    bagus

    27/02

      0
  • Xem tất cả

Kết thúc

Những lời khuyên dành cho bạn