logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 42. Kegelisahan Gudy

Gudy mengerjap, tidak menyangka dengan pertanyaan mendadak dari Kinanti. Kalau di tanya begitu, memang Gudy menunggu, tapi kalau jawaban dari Kinanti yang cepat malah hanya berupa penolakan, maaf saja Gudy masih waras untuk memilih nanti saja.
"Kalau Tante mau menjawab iya, maka sekarang boleh banget, tapi kalau jawabannya tidak, mohon maaf Tante, nanti saja ya. Moga-moga kalau diundur, jawaban Tante jadi berubah." Gudy tersenyum manis. Senyum dengan tujuan menenangkan diri dari goncangan dahsyat keputusan sang calon ibu mertua.
Kinanti tertawa renyah, merasa lucu dengan tingkah dan ucapan pemuda di depannya. "Apa benar begitu?"
Gudy mengangguk semangat, "benar Tante." Buru-buru Gudy menambahkan di saat melihat Kinanti hendak membuka mulut. Terlalu parno, Gudy takut kata yang keluar dari mulut Kinanti adalah berupa penolakan. "Maaf sekali Tante karena tidak bisa berlama-lama lagi. Saya ada meeting di perusahaan."
"Lagi pula siapa yang ingin kamu berlama-lama di sini?" Arkan menyindir ketus.
Gudy mengabaikan sindiran Arkan. Entah apa sebabnya calon kakak iparnya ini begitu tidak menyukainya, padahal dia merasa tidak pernah berbuat salah pada Arkan. "Kalau begitu saya pamit dulu, assalamualaikum."
"Waalaikum sallam," semua orang yang ada di depan pintu menjawab bareng.
"Buru-buru amat," Bagus menggeleng heran.
Kinanti mengangguk, "heem, padahal mamah cuma mau bilang menyetujui lamarannya pada Uri."
"APAA!" Arkan melotot shok. "Mamah gak boleh nyetujuin dia lamar Uri!"
Maria yang kesal langsung mencubit perut berotot Arkan hingga si empunya menjerit kesakitan. "Apaan sih Kak Arkan. Jangan ngomporin mamah! Apa lagi sampai hasut buat gak suka sama pak Gudy."
Arkan cemberut sambil ngelus-ngelus perutnya yang perih akibat bekas cubitan Maria. Adiknya ini sudah ada bibit-bibit emak tiri Cinderella, cubitannya dahsayat sekali. Kalau sudah berhubungan dengan cubitan perempuan, Arkan angkat tangan. Sakitnya nyelekit.
"Sudah! Kalian ini malah bertengkar! Ayo kita masuk, Papa sudah kangen sama mamah kalian." Bagus menengahi, lalu membawa Kinanti ke dalam rangkulan dan masuk ke dalam rumah.
Arkan menggeleng, menatap heran Kinanti dan Bagus yang sudah masuk lebih dulu. "Papa dan Mamah lupa kali kalau ngajak itu berarti masuknya harus bareng."
Maria terkekeh, "ya sudah, ayo kita juga masuk!"
***
Gudy melirik Maria yang tengah serius di meja kerjanya. Padahal dia yang bos saja tidak sesibuk itu. Gudy menggaruk belakang lehernya, merasa bingung ingin harus berkata apa untuk memulai pembicaraan.
Sejujurnya ada sesuatu yang ingin dia bahas bersama Maria, yaitu tentang pelangkah yang diinginkan Arkan. Calon kakak iparnya itu menginginkan mini market miliknya ini. Kalau benar itu yang dia inginkan sehingga mendapat restu darinya, sesungguhnya Gudy sama sekali tidak keberatan. Malah akan dengan rela seluas lapang sepak bola menyerahkan mini market yang sudah dia rintis dari nol ini pada Arkan.
Lagi pula ada tanggung jawab lebih besar yang saat ini menantinya. Tujuan awal ia akan menyerahkan mini marketnya ini untuk dikelola Nudy, karena dirinya sudah waktunya bekerja di perusahaan ayahnya untuk menggantikan sang bos yang ingin pensiun dam menghabiskan waktu tua untuk pacaran dengan bundanya. Namun, rupanya tidak perlu susah payah dia membujuj adik kurang ajarnya itu, karena sang calon kakak ipar bisa menggantikannya.
Kedua sudut bibirnya berkedut menahan tawa saat memikirkan dia akan bersanding dengan Maria di pelaminan. Dia dan Maria akan menjadi Ratu dan Raja sehari, pasangan serasi, dan hidup sampai menua bersama dikelilingi oleh anak-anak yang lucu. Walaupun kata Maria dia tidak bisa memberinya keturunan, itu bukan masalah. Bukankah madih bisa dwngan cara mengadopsi? Cerdasnya. Gudy bangga dengan segala pemikirannya.
Dia dan Maria..., akan melakukan malam pertama yang bahkan tidak bisa terlupakan seumur hidup.
Gudy menjadi greget sendiri, ingin segera membawa Maria ke pelaminan agar segera sah dan bebas ia sentuh sepuasnya.
Gudy tidak sadar kalau Maria malah sejarang tengah memandanginya dengan sedikit kerutan di dahi. Ia jelas heran, karena mendapati wajah berpikir Gudy yang begitu kuat.
"Pak Gudy lagi mikirin apa?" Maria bertanya penasaran.
Dengan tidak sadar dia menjawab, "lagi mikirin saat kita malam pertama nanti."
"HAH?" Maria mengerjap beberapa kali. Sejurus kemudian pipinya merona sampai ke telinga. Ia menunduk, menyibukan diri lagi dan berpura-pura tidak mendengar perkataan Gudy barusan.
Gudy pun yang juga baru saja sadar dengan apa yang dia ucapkan barusan langsung berdehem canggung. Menggaruk lehernya, lalu membuang wajah dan berpura-pura meligat langit-langit ruangannya. Sesekali matanya akan bertemu dengan mata Maria yang sama-sama curi pandang.
Sama-sama canggung, itulah yang saat ini kedua orang dalam satu ruangan itu rasakan.
Mendapati suasana yang mendadak tidak nyaman, Gudy berdehem singkat untuk menarik perhatian Maria. "Em, Maria. Ada yang ingin saya tanyakan."
Maria mendongak, mengangguk mengiyakan. "Ya, tanyakan saja!"
"Tentang pelangkah yang Arkan inginkan, saya akan memberikannya. Soal mamahmu, apa dia sudah ada tand-tabda memberikan lampu hijou untuk saya?" Gudy menatap Maria penuh harap.
Maria menunduk, mentembunyikan rasa malu pada dirinya. Melihat wajah Gudy yang sangat tampan dan kini menatap penuh harap padanya, ia tidak bisa menengkan laju jantungnya agar berdetak normal.
"Kenapa Pak Gudy tidak menanyakannya langsung pada mamah?" Maria menjawab tanpa menatap wajah Gudy secara langsung.
"Takut jawabannya adalah tidak," Gudy menjawab dengan tak bersemangat.
Maria mendongak, menatap langsung ke arah Gudy. "Kalau Bapak tidak menyanyaknnya langsung, bagaimana bisa tahu jawaban mamah iya atau tidak."
"Hm, mungkin nanti sepulang dari mini market saya akan main ke rumahmu, sekalian ngantar kamu pulang juga." Gudy menjawab dengan nada berat. Mau bagaimana pun dia menghindar, sepertinya memang harus segera dia hadapai. Lebih cepat lebih baik, agar bisasegera bersanding di pelaminan.
Selesai pulang kantor, Gudy memang benar mengantar Maria pulang ke rumah. Keyakinan hatinya yang tadi sempat ia paku dalam hati, kini meleleh seiring langkah kakinya melangkah memasuki pekarangan rumah sang calon mertua. Gudy mengelap keringat yang tiba-tiba mengucur, padahal hari malah sedang mendung.
Belum juga Maria membuka pintu, pintu sudah terbuka dari dalam. Gudy hampir saja melompat. Kinanti tersenyum ramah pada Maria dan Gudy. "Oh, kalina rupanya. Ayo, silahkan masuk Nak Gudy."
***

Bình Luận Sách (126)

  • avatar
    Ike Roesli

    Mantap... ceritanya gak bertele2... endingnya jg cukup singkat tapi 👍👍👍👍👍

    04/04/2022

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Makin seruu

    18/08

      0
  • avatar
    Itsmetata

    bagus

    27/02

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất