logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 2: Di Matamu

Berkat pak Doni, Ridwan kecil tumbuh menjadi anak yang tulus meski berbeda dari yang lain.
"aku ikut main dong" kata Ridwan kecil (7) mendekati anak-anak tetangga dan komplek sebelah yang sedang bermain kejar-kejaran.
"sori ya, tidak ada tempat untuk orang miskin dan berpenyakitan sepertimu disini, hus" kata Wara (7), putra dari orang kaya komplek sebelah mengusir Ridwan.
"hikz hikz" tangis Ridwan.
"dia menangis bos" kata teman Wara.
Wara teringat akan sesuatu. Ia membuka dompetnya dan mengambil sehelai kartu nama.
"karena kamu orang miskin, ni ambil kartu namaku. Kalau kamu butuh pinjaman uang, telpon aku aja di kartu nama itu." kata Wara memberinya sebuah kartu nama.
"terima kasih" kata Ridwan seraya mengambil kartu itu.
"uda pergi sana!" kata Wara mengusir Ridwan.
Ridwan pun pergi seorang diri.
~
Sejak kecil, Ridwan dilatih banyak hal.
Mulai dari mengendarai becak pak Doni, mengendarai motor yang dipinjam dari tetangga, mencuci pakaian, menjahit, memanjat pohon, berenang walaupun di kanal yang bau, menabung uang jajan walau recehan, membetulkan seng saat gubuk bocor ditimpa hujan, bahkan menolong orang yang meminta pertolongan.
"piring dan cangkir ini hanya ada satu di rumah ini. Yah walaupun sebenarnya ini gubuk reot, anggap saja sebagai rumah yang mewah. Daripada nggak ada sama sekali, ngerti kan?" kata pak Doni hendak mengajari Ridwan kecil cara mencuci piring.
"iya pak Doni" kata Ridwan kecil memperhatikan.
"jadi kamu harus hati-hati saat kamu mencucinya. Bahkan benda apapun yang kamu cuci, harus hati-hati jangan sampai pecah" kata pak Doni.
"iya, terus cara mencucinya gimana pak?" kata Ridwan.
"perhatikan. Di permukaan dibilas seperti ini.. lalu di bawahnya seperti ini.. dan ini" pak Doni menjelaskan.
Semakin usianya beranjak, semakin bertambah pula sisik yang ada di kulitnya.
"ketika kamu lewat di depan orang, baik saat berjalan ataupun berkendaraan, usahakan kamu menyapanya lebih awal" kata pak Doni.
"ok pak" kata Ridwan kecil.
"caranya seperti ini, perhatikan ya" kata pak Doni sambil menaiki sepedanya.
Pak Doni mulai mengayunkan sepeda dan menyapa tetangga yang dilaluinya.
"halo, hai, assalamu 'alaikum, permisi" sapa pak Doni kepada satu per satu tetangganya.
Di antara mereka, ada beberapa tetangga yang sedang beraktivitas pagi.
Di kompleknya, Ridwan diperlakukan seperti orang biasa pada umumnya.
Namun, ketika ia sudah berlalu dan hendak memasuki komplek tetangga, saat itulah dia mulai mendapatkan cemohan caci maki dari orang-orang.
Itulah sebabnya ia selalu dibimbing oleh pak Doni untuk terbiasa bersabar dengan hal itu.
"kamu harus membiasakan diri, anggap saja orang-orang yang mengejekmu itu iri denganmu" kata pak Doni.
"itu kan tidak mungkin pak Doni, tapi baiklah akan ku coba" kata Ridwan kecil.
Ridwan mencoba membiasakan diri menerima kehidupannya.
Walau terkadang dia lebih mendapatkan cacian ketimbang belas kasih di mata masyarakat di luar komplek tempat tinggalnya.
"lihat tuh, kulitnya aneh, ih" bisik seseorang yang melihat Ridwan ketika Ridwan melintas.
Membuat Ridwan bersedih.
Tak jarang dia dianggap sebagai orang yang berpenyakit.
"eh Rid, kalau lewat jangan di area sini. Kamu mau nularin penyakit mu itu ya hah?" bentak pak Trisno. 
"maaf pak, maaf saya hanya lewat untuk membeli mi instan" kata Ridwan tertunduk malu dan sesekali mengeluarkan air mata.
"enak aja lu maaf, maaf." kata pak Trisno yang jijik melihatnya.
Rumah pak Trisno sebenarnya berada di komplek yang dipadati orang-orang kaya dan sangat bersih.
Namun karena rumahnya berada di bagian paling luar maka tak jarang dilewati oleh tetangga sebelah yaitu orang-orang yang tinggal di komplek orang-orang miskin, komplek tempat tinggal pak Doni.
Terkadang pak Doni mengiringi Ridwan saat dia berjalan di tengah ujaran kebencian yang dihadapinya.
"kamu jangan dengarkan orang-orang yang merendahkanmu, acuhkan saja. Ingat pesan pak Doni! amarahmu jangan sampai terpancing dengan cacian ataupun pujian orang. Jadilah dirimu yang terbaik, ok." kata pak Doni yang selalu menyemangati Ridwan di setiap lontaran cacian.
"aku sedih pak Doni, sedih mendengarkannya huhuhu" kata Ridwan.
Di tempat lain ia mudah dicurigai sebagai penjahat.
"mainanmu jatuh adik kecil, ini" kata Ridwan menghampiri seorang anak kecil mengambilkan mainannya.
"mama... Aku takut sama orang ini" tangis anak kecil melihat wajah Ridwan.
"pak polisi tolong.. Tolong aku.." teriak Ibunya saat melihat Ridwan ada di dekat anaknya.
"ada apa bu?" kata pak Polisi yang tak jauh di sekitar sana.
"alien ini ingin menculik anak saya pak, tolong pak." kata Ibu itu tanpa mengetahui alasan anaknya berteriak.
"hah? alien? nggak pak, nggak" kata Ridwan membela diri.
"sudah, kamu ikut kami ke kantor polisi sekarang juga" kata pak Polisi memborgol Ridwan.
Di kantor polisi Ridwan menceritakan yang sebenarnya dengan bukti yang ada. Ridwan pun dibebaskan.
Di sekolahnya, dia dimusuhi dan sering dihajar setiap ada siswa yang menangis akibat melihat wajahnya.
"anak ini harus kita beri pelajaran, dia menakuti sembarang orang" kata Anton.
"aku tidak menakutinya, tidak" kata Ridwan membela diri.
"ah, kamu jangan pandai berakting. Buktinya anak ini menangis" kata Anton di samping seorang temannya yang menangis akibat ketakutan melihat wajah Ridwan.
"setuju, ayo kita beri dia pelajaran" seru anak-anak yang lain sambil memberi Ridwan pelajaran.
Buk buk buk..
Kecuali hanya satu siswa yang mau berteman dengannya.
Itupun saat dia beranjak SMA.
"hai bro, nama kamu siapa?" kata siswa tersebut.
"aku? namaku Ridwan. Maaf, apakah kamu tidak takut denganku?" kata Ridwan.
"takut? dengan kamu? kamu mau menantang aku bergulat?" kata siswa tersebut.
Ridwan terdiam tak tahu harus berkata apa.
"haha sudahlah bro aku hanya bercanda, sori ya aku tidak sekaku murid-murid yang lain. Aku menerima semua kalangan. Btw, kenalkan namaku Bari" kata siswa tersebut seraya mengulurkan tangannya ke Ridwan.
Ridwan pun berjabat tangan dengannya. Dan ia menjadi teman baik Ridwan saat itu.
Masa kelulusan SMA tiba. Ridwan dan Bari beradu akting di panggung teater SMA.
"rasakan ini penjahat" kata Bari yang memainkan peran sebagai pahlawan.
"arrrggg" kata Ridwan pura-pura pingsan.
"anak itu walaupun kulitnya aneh tapi dia berbakat berakting." kata guru kesenian Ridwan.
~
"bro, aku akan berangkat ke Jakarta. Ambillah ini sebagai kenang-kenangan persahabatan kita." kata Bari memberinya gantungan kunci berbentuk hewan landak.
"hehe yang ada di kulitku kan sisik, bukan duri" kata Ridwan.
"sori bro, di mataku lebih mirip duri." kata Bari.
"terima kasih sob, hati-hati ya di jalan" kata Ridwan berjabat tangan dengan sahabatnya.
Ridwan hendak mengenang gantungan kunci pemberian Bari itu di kotak penyimpanan kenangannya. Sebuah kotak yang berisi benda-benda kenangan Ridwan sejak SD hingga SMA.
Namun, ia melihat ke kotak kenangan tersebut.
Rupanya kebanyakan berisi benda-benda dari teman-teman sekolah Ridwan yang selalu membulinya.
Ridwan pun tak jadi menyimpan gantungan kunci pemberian Bari di kotak tersebut.
Dia hanya menggantungnya di depan cermin.
"begini lebih bagus" kata Ridwan setelah menggantung gantungan kuncinya.
Dalam kesehariannya, Ridwan tak lepas dari cacian dan sering diusir ataupun dijauhi.
Namun bukan berarti semua hal buruk terjadi pada dirinya.
Kenyataannya Ridwan tidak pernah mengeluh kepanasan sedikit pun di tengah terik matahari.
Sisik yang ada di kulitnya melindunginya dari sinar panasnya matahari.
"lalala nanana oh hidup ku.." Ridwan mengendarai sepeda sepulang sekolah sambil bernyanyi santai.
Walaupun ujaran kebencian yang diterimanya seakan tiada henti.
Namun hari demi hari, pak Doni bisa dibilang telah berhasil melatih Ridwan menjadi pribadi yang sabar.
~

Bình Luận Sách (258)

  • avatar
    SherliSherli

    kerenn

    6d

      0
  • avatar
    AjaRoni

    bagus

    7d

      0
  • avatar
    ZahroAisyah

    bagus

    27d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất