logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 45 Bimbang

Jingga terpaksa menuruti keinginan ibu Angkasa untuk menginap. Kebetulan, dia memang sangat lelah. Jingga bahkan berencana cuti bekerja keesokan harinya. Meski begitu, dia sedang tidak ingin menyapa Angkasa. Dia masih kesal mengingat perlakuan kekasihnya itu sejak kedatangan Miko. Rasa kesal itu makin menjadi-jadi ketika dia melihat Angkasa duduk berhadapan dengan Melia.
Malam itu, Jingga duduk berdua dengan Angkasa di teras rumah. Untuk beberapa saat mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
“Jingga,” panggil Angkasa.
“Boleh aku menjelaskan sesuatu?”
Jingga tak menjawab. Dia bergeming dan tak sedikit pun menatap Angkasa. Hatinya masih sangat marah karena merasa bahwa kekasihnya itu mengkhianatinya.
“Tentang perempuan yang kamu temui di warung itu ... kamu salah paham, Ngga. Aku nggak ada hubungan apa pun dengan dia.”
Jingga menatap mata Angkasa dengan nyalang sehingga membuat pria itu salah tingkah.
“Aku tidak peduli!”
Angkasa mengembuskan napasnya dengan kasar.
“Jingga, maafkan aku. Aku tahu aku salah. Aku bahkan tidak mengabarimu selama beberapa hari hanya karena Miko datang ke rumahmu. Aku tahu. Aku sadar sekarang bahwa aku salah.”
Jingga menunduk. Andai saja saat itu dia tidak sedang di rumah orangtua Angkasa, sudah pasti dia akan mengamuk dan menampar mulut Angkasa yang berbicara seenaknya itu.
“Hei, Angkasa. Kamu kira enak menunggu? Kamu mencurigaiku tanpa alasan. Selama beberapa hari, kalau bukan karena ibuku, mungkin aku akan hancur seperti dulu dan kembali tenggelam dalam trauma masa lalu. Beruntung, Ibu tak pernah memaksaku untuk menjalin hubungan denganmu. Kamu kira mudah bagiku untuk melupakanmu? Bahkan, dengan bodohnya, aku masih nekat mendatangimu ke rumah. Nyatanya, kamu sedang bersama wanita lain. Gimana kalau kamu yang jadi aku?”
Angkasa diam seribu bahasa mendengar perkataan Jingga. Dia tahu dan sadar bahwa dia memang bersalah pada Jingga karena keegoisannya. Sekarang, jika Jingga tak percaya, itu juga karena salahnya.
“Maafkan aku, Jingga. Aku tahu aku salah dan egois.”
“Entahlah, apa aku bisa memaafkanmu atau tidak. Hatiku masih sakit karena tuduhanmu ditambah pula saat aku melihat wajahmu begitu ceria ketika bersama wanita itu.”
Angkasa terbelalak. Benarkah saat itu wajahnya sangat ceria ketika bertemu Melia? Dia bahkan tak menyadarinya. Itukah sebabnya Jingga sangat marah kepadanya? Ah, wanita memang sulit dimengerti.
“Tapi, Ngga ... sungguh aku nggak ada rasa sama dia. Kami hanya kebetulan bertemu.”
“Aku yakin kalian nggak kebetulan bertemu."
“Kenapa kamu nggak percaya?”
“Kamu kira aku nggak lihat muka dia semringah lihat kamu. Dia bahkan gugup ketika bertemu aku. Lantas, apa itu namanya kebetulan?”
“Tapi pertemuan itu memang kebetulan. Waktu aku mau mengurus warung, dia ternyata sudah ada di situ.”
“Apa kamu bodoh? Atau pura-pura nggak tahu?”
“Maksud kamu?”
“Dia orang spesial, kan?” tanya Jingga mencoba meyakinkan perasaannya.
Sejak awal melihat wanita itu, Jingga merasa ada yang berbeda. Wanita itu dan Angkasa seolah pernah ada sesuatu di masa lalu mereka.
“Dulu memang iya, tapi sekarang enggak,” jawab Angkasa jujur.
Dia sebenarnya belum ingin menceritakan tentang masa lalunya. Namun, mau tidak mau, suka atau tidak suka, Angkasa harus menceritakannya juga agar Jingga tak lagi salah paham padanya.
“Dia mantanmu?” tanya Jingga sambil melihat wajah Angkasa yang menunduk.
Angkasa mengangguk. Dia kemudian menceritakan tentang masa lalunya bersama Melia. Bagaimana permulaan mereka menjalin hubungan sampai mereka harus berpisah karena Melia tidak tahan dengan kesibukannya mengurusi cabang di kota-kota lain sehingga jarang ada waktu bersamanya.
“Kamu masih suka sama Melia, kan?”
“Enggak. Aku udah nggak ada rasa sama dia.”
“Kamu jangan bohong!”
“Apa aku harus bersumpah dulu baru kamu percaya?” Angkasa hampir putus asa meyakinkan Jingga.
“Kalau kamu memang udah nggak ada rasa sama dia, berarti dia yang ada rasa sama kamu.”
“Jangan mengada-ada!”
“Aku nggak mengada-ada. Kenyataannya emang gitu, kok. Aku yakin dia emang sengaja ke situ untuk bertemu kamu.”
“Tapi kami sudah lama nggak berhubungan. Lagipula dia sudah punya anak meskipun ....”
“Meskipun apa?”
“Ah, sudahlah, nggak usah dipikirkan.”
“Nah, kan? Untuk hal kayak begini aja kamu nggak jujur. Tapi kamu nggak ngaku kalau masih ada rasa.”
“Sumpah, Ngga, aku sudah nggak ada rasa sama dia.”
“Lalu kenapa kamu nggak ngelanjutin omonganmu. Meskipun apa?”
Angkasa mengembuskan napasnya. Dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan pada Jingga tentang status Melia yang seorang janda.
“Melia itu ... janda.”
Jingga terdiam beberapa saat. Dia tak habis pikir, mengapa seorang janda masih mengharapkan cinta dari seorang mantan yang lajang. Menurut Jingga, itu sangat tidak masuk akal!
“Aku mau istirahat dulu. Besok aku ke naik bus aja ke Jombang.”
Jingga beranjak dari duduknya, tetapi Angkasa mencegahnya. Dia mencekal pergelangan tangan Jingga. Lalu mengambil posisi berdiri. Tubuh mereka kini berdekatan.
“Jingga ... tolong! Maafkan aku.”
Jingga menatap mata Angkasa. Ada kesungguhan dalam ucapan pria bertubuh jangkung itu. Jingga yakin bahwa Angkasa memang tidak bersalah. Namun, sulit baginya untuk memaafkan sikap Angkasa ketika dia merasa terpuruk.
Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Angkasa. Dia melepaskan cengkeraman Angkasa lalu pergi ke kamar.
Angkasa menunduk. Ia merasa Jingga telah banyak berubah. Pria itu terus bertanya-tanya, apakah kesalahannya sefatal itu sehingga Jingga tak bisa memaafkannya?
Angkasa duduk seorang diri memandangi langit yang dipenuhi bintang-bintang juga bulan separo yang menerangi malam. Dia kembali merenungkan perjalanan cintanya dengan Jingga. Hingga dia kembali menyadari perasaan Jingga ketika dia memperlakukan Jingga seperti Jingga memperlakukannya sekarang.
“Ah, Jingga, bagaimana agar kamu memaafkan aku?” tanya Angkasa pada dirinya sendiri sambil mengusap-usap rambutnya dengan kasar.
Angkasa kesal dengan dirinya sendiri. Dia kemudian beranjak dari teras dan pergi ke kamar.
Malam terus berjalan. Makin lama makin larut. Namun, Angkasa masih juga belum bisa tidur. Dia masih memikirkan cara agar Jingga mau memaafkannya. Bagaimanapun, dia telah menggoreskan luka di hati kekasihnya meskipun bagi sebagian orang—mungkin—itu bukanlah masalah besar.
Sementara itu, Jingga sudah tertidur pulas setelah sebelumnya dia menimbang-nimbang tentang keputusannya untuk memutuskan hubungan dengan Angkasa. Jingga belajar memahami bahwa hatinya tak sekuat baja dan masih saja sakit meskipun tahu bahwa Angkasa tak berselingkuh.
Dua jam yang lalu, Jingga masih berharap bahwa apa yang sedang dijalaninya itu hanya mimpi. Namun, kenyataannya itu bukanlah mimpi. Itu adalah kenyataan yang harus dia jalani bersama Angkasa. Jingga merasa, bahwa putus adalah solusi terbaik yang harus dia jalani untuk sementara waktu, bahkan mungkin untuk seterusnya.
Meski begitu, Jingga tetap berharap bahwa dia masih berjodoh dengan Angkasa. Sesungguhnya, cintanya masih begitu besar terhadap pria yang sejak awal berkenalan dulu telah banyak membuat kenangan-kenangan so sweet bersamanya itu.
***
 
 
 
 

Bình Luận Sách (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    20d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất