logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Om Mafia, Nikah Yuk!

Om Mafia, Nikah Yuk!

LeeNaGie


Chương 1 Melarikan Diri

“Chili Amanda, keponakan Kania Dayana?” tanya seorang laki-laki bertubuh kekar yang menghampiri dua remaja berseragam putih abu-abu.
Mata hitam bulat milik seorang gadis bertubuh mungil itu menyipit. “Siapa ya?” tanyanya bingung.
Remaja perempuan yang berdiri di sebelah menyikut lengannya. “Lo kenal, Chil?”
Gadis bernama Chili itu menggelengkan kepala. “Nggak kenal gue,” bisiknya.
“Ikut kami segera!” perintah pria gendut satunya lagi.
Kedua remaja itu bergidik melihat penampilan kedua pria tersebut. Terlalu nyentrik karena mengenakan seragam kemeja berwarna hitam mengkilat di bagian tengah, sedangkan bagian lengan bermotif ular kobra acak berukuran kecil.
Salah satu dari pria itu memperlihatkan selembar kertas berukuran A4 bertuliskan surat jaminan hutang. “Ikut kami sekarang! Kamu dijadikan sebagai jaminan hutang oleh Kania.”
Mata bulat hitam Chili melebar seketika. Kepalanya langsung menggeleng. Rasa takut langsung menyergap, karena tahu dua orang yang berdiri di depannya ini bukanlah pria baik-baik. Gadis itu mengedarkan pandangan mencari orang yang bisa menolongnya. Namun sayang, hanya ada dua orang pengemis, ibu-ibu yang sudah renta dan sahabatnya.
“Kabur sekarang, Chil,” desis Sheina, sahabat Chili.
“Kabur? Enak aja.” Pria bertubuh kekar itu menegakkan tubuh, sehingga dada yang terbungkus kemeja tersebut bergerak-gerak di dalam.
“Yuk, Shein!!!” seru Chili langsung mengayunkan kaki mode turbo meninggalkan kedua orang tadi di belakang.
Dia terus berlari sejauh mungkin agar bisa kabur dari kedua orang yang sudah pasti rentenir. Chili masih meneruskan ayunan kakinya. Beruntung tubuh gadis itu mungil, sehingga terasa ringan seperti kapas ketika berlari.
“Jangan kabur woi!!” teriak pria yang tadi mengejarnya.
Chili tidak mengindahkan teriakan itu. Sebisa mungkin ia harus mempercepat lagi ayunan kakinya, agar benar-benar bisa terhindar dari kejaran dua rentenir tersebut.
“Tante Kania … sialan. Dia yang … ngutang dan hobi judi … kok gue yang jadi jaminan?” gerutunya ketika napas mulai sesak.
Kania adalah adik ibu Chili. Dialah yang membesarkan anak itu semenjak kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan sepuluh tahun yang lalu. Wanita itu memiliki hobi berjudi dan hidup glamor, walau hanya memiliki keuangan yang pas-pasan.
Mata hitam itu melebar ketika melihat ada ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya dari kejauhan. “Awas, Bu!!!”
Dengan gesit tubuh kecil itu menghindar, agar tidak menabrak ibu dan anak tadi. Chili masih berlari cepat memasuki gang sempit yang belum pernah dilalui. Tak peduli lagi akan tersasar, yang jelas ia terus berusaha menghindar dari rentenir tersebut.
Chili menoleh ke belakang. Kedua rentenir tadi tidak lagi terlihat. Napasnya benar-benar sesak. Keringat bercucuran keluar dari pori-pori mulusnya. Apalagi siang ini kota Jekarda sedang terik-teriknya.
“Asem … Ketek gue … sampai basah,” desahnya ketika menarik tali tas ransel yang tercantol di bahu.
“Untung … nggak bau,” sambungnya setelah mengendus ketiak sendiri. Aroma stroberi yang selama ini menjadi ciri khas Chili menyeruak di rongga hidung.
Pandangan matanya beredar ke sekeliling mencari tempat yang bagus untuk bersembunyi. Senyum lebar tergambar di bibir ketika melihat tumpukan kardus tinggi. Chili memutuskan untuk bersembunyi sementara waktu di sana.
“Hossshh … Hmmm … hosshhh … hmmm.” Gadis itu mulai mengatur napas yang tidak beraturan. Sesak gila, seperti habis makan mie pedas level 10.
Ponsel Chili tiba-tiba berdering membuat wajah mengernyit. Dengan cepat tangannya merogoh saku rok abu-abu itu, agar bisa menjawab panggilan. Bisa tamat riwayatnya jika kedua rentenir tadi masih mengejar.
“Ngapain sih … si Sheina telepon?” desah Chili masih terputus-putus.
Dia langsung menggeser tombol hijau itu. “Kenapa?”
“Lo di mana sekarang? Gue lagi ke kantor polisi nih mau lapor,” sahut Sheina terdengar panik.
Bibir Chili terbuka sedikit. “Jangan deh. Tante gue … bisa dipenjara … kalau sampai ke polisi,” cegahnya.
“Trus gimana nih? Kalau lo ditangkap gimana?”
Gadis itu mengeluarkan botol minum yang diselipkan di saku samping tas ransel. “Bentar, gue mau minum dulu. Haus.”
Tangan Chili langsung memutar tutup botol plastik tersebut, kemudian meneguknya hingga habis setengah. Beruntung ia mengisi lagi air minum di kantin. Jika tidak, bisa mati kehausan sebelum benar-benar lolos dari kejaran rentenir tadi.
“Tenang aja. Kayaknya … mereka udah … nggak kejar gu—”
“Lo yakin dia ke sini?” Suara yang baru saja didengarkan Chili membuat kalimat yang ingin dikatakan berhenti.
“Yakin. Gue belum rabun, Cong,” sahut pria satunya lagi.
Tangan Chili mendadak gemetar. Suara kedua orang itu terdengar sangat dekat.
“Chil? Kenapa? Mereka temuin lo?” Nada suara Sheina terdengar cemas luar biasa. “Chil?”
“Sssttt … tuh. Lo denger nggak, ada suara kayak telepon gitu?” Kali ini pria bertubuh kekar yang bertanya.
Gadis itu menekuk kaki rapat-rapat agar tidak terlihat oleh kedua orang tadi. Dia langsung mematikan ponsel dengan mode ‘off’. Bisa gawat jika ponselnya berdering lagi.
“Mana? Gue nggak denger.”
“Makanya korek kuping habis mandi, biar kotorannya hilang. Jadi numpuk deh tuh ah!”
Chili menutup mulutnya ketika ingin tertawa mendengar obrolan kedua rentenir itu. Di saat seperti ini, ia masih bisa terhibur oleh mereka. Dia mengeluarkan satu bungkus cotton buds, sebelum melemparnya ke tempat rentenir itu berdiri.
“Tuh, Om. Buat korek kuping,” cibirnya langsung ngacir dari sana.
“Makasih ya,” ucap pria bertubuh gendut.
“Itu bukannya anak yang kita kejar?” sahut yang satunya lagi dengan raut bingung, “beneran. Itu anak yang tadi, Oon. Bego lo pelihara!”
Chili terkekeh mendengar percakapan orang itu ketika berlari lagi. Berlama-lama di tempat tadi bisa membuatnya tertangkap. Sekarang ia harus benar-benar mencari tempat yang paling aman untuk bersembunyi.
“Dasar … rentenir … bodoh,” gerutunya terputus-putus. Gadis itu kembali mengayunkan kaki dengan cepat.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk anakmu

Terdengar lagu lawas berjudul Ibu milik Iwan Fals dari warung warteg kecil tak jauh dari tempatnya berada sekarang.
Tau aja tuh yang punya warteg kalau gue emang lari udah berapa kilo dari tadi. Bukan karena anak, tapi gara-gara Tante Kania sialan, batinnya kesal.
Kaki Chili terasa menegang setelah berlari entah berapa jauh dan berapa lama. Dia sudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan yang tak berujung ini. Ketika tiba di pinggir Kalijengger, gadis itu mengedarkan pandangan mencari tempat yang aman.
Tempat ini begitu sepi dan jauh dari pemukiman warga, apalagi jalan raya. Meski merasa was-was, ia tidak punya pilihan lain lagi sekarang. Tidak mungkin pulang saat ini, karena rentenir tadi pasti akan mencarinya di rumah. Satu-satunya yang dapat ia lakukan sekarang adalah bersembunyi.
Tilikan netra hitam gadis itu berhenti ketika melihat tumpukan kayu dan ban bekas. Ada seng berukuran lebar juga yang bisa melindunginya dari panas matahari dan derasnya air hujan, meski tidak mungkin karena sekarang musim kemarau.
Chili segera memutuskan beranjak ke sana. Kakinya sudah benar-benar tidak kuat lagi berlari. Dia bukan seorang atlet lari, sehingga mampu menempuh puluhan kilometer. Gadis itu mengempaskan tubuh di atas rumput tepat di bawah atap seng, samping tumpukan kayu dan ban.
Embusan napas lega meluncur begitu saja dari bibir berisi miliknya. Chili menyeka keringat yang membasahi kening, hingga area leher dan punggung. Tangannya meraba samping kanan tas ransel mencari keberadaan botol air minum.
“Mana botol … minum gue?” gumamnya panik.
Matanya terpicing rapat ketika ingat, botol minum itu pasti tertinggal di tempat perhentian pertama tadi.
“Sial,” lontarnya singkat.
Chili menanggalkan tas ransel, kemudian menumpu kedua tangan di atas rumput. Keningnya mendadak berkerut ketika terasa sedikit basah di tangan kiri. Kepala gadis itu perlahan menoleh ke samping.
“Darah?” cicitnya panik, “gue berdarah? Ya Tuhan, apa yang terjadi? Masa lari nggak sampai lima kilo aja udah berdarah gini?”
Rengekan keluar begitu saja dari mulut Chili.
“Psssttt.” Terdengar bunyi desis dari belakang.
Gadis itu langsung terdiam dengan wajah menegang. Dagunya bergetar seiringan dengan napas yang kembali terpacu. Bola mata hitam itu bergerak tidak tenang.
“Psssttt,” desis suara itu lagi.
“Masa di sini ada … ular?” Chili melirik takut ke tumpukan ban. Dia lupa kalau ular bisa bersarang di sana.
Chili meraih lagi tas, bersiap untuk pergi dari sana.
“Hei.” Kali ini terdengar suara serak memanggil.
Kelopak mata Chilli berkedip cepat.
Ularnya berubah jadi manusia? bisik hatinya.
“Tolong … aku.” Suara itu terdengar lebih jelas dari tadi, meski terbata.
Chili beringsut maju ke depan, sebelum membalikkan tubuh. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang pria bersimbah darah di bawah seng itu.
“Aaaa, daraaaaaah!!” pekiknya ngeri.
Dia menatap takut pisau yang tertancap di perut kanan orang tersebut. Wajah yang ada lima meter di depannya saat ini tampak pucat, kesakitan. Rambut model scissor cut dengan panjang sedang itu berantakan bukan main.
“Tolong cabut ….” Pria itu menunjuk ke arah pisau yang berada di perut.
Kepala Chili menggeleng cepat. “Nggak mau!” tegasnya.
“Aku bisa mati kalau ini tidak dicabut,” kata orang itu dengan wajah memelas.
Gadis itu memandang ragu. Dia melirik pisau dapur berukuran besar tersebut seraya menelan ludah. Mendadak mulut yang kering itu digenangi saliva.
“Maaf, Om. Aku nggak bisa. Cari orang lain aja ya,” sahut Chili bersiap pergi dari sana. Namun sayang, pria itu berhasil menangkap tangannya yang gemetar.
“Buka tangan kamu,” suruh pria asing bermata sipit itu.
“Hah? Tanganku jangan dipotong, Om,” decit Chili dengan mata melebar.
“Telapak tangan,” jelas pria tadi singkat. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk berdebat.
“Cabut sendiri kenapa sih, Om?” balas gadis itu enggan.
Kepala yang dihiasi wajah pucat itu menggeleng pelan. Dia mengeratkan genggaman di pergelangan tangan Chili, kemudian diarahkan ke pisau yang masih betah berada di perutnya.
“Cabut!” titahnya.
Chili menarik napas sangat dalam, sehingga tulang leher terlihat. Tilikan mata kembali bergerak ngeri melihat pisau yang ada dalam cengkramannya.
“Nggak ah, Om. Nanti kalau Om mati gimana? Yang ada aku yang dituduh membunuh,” tolak gadis itu berusaha menarik tangannya lagi. Namun sia-sia, karena pegangan tangan pria bercambang itu sangat erat.
“Cabut! Atau kamu akan mati di tanganku,” ancam laki-laki itu dengan sorot mata mengerikan.
Tangan Chili gemetar lagi mendengar ancamannya. Mata yang tadi memerah sekarang mulai berair. Dia takut sekali. Ternyata ia masuk ke kandang singa setelah lolos dari kejaran harimau. Dia tidak bisa lari sekarang. Hasilnya akan sama; ditangkap rentenir atau masuk penjara jika orang asing ini mati.
Bersambung....
Haai, berjumpa lagi dengan novel kedelapanku di sini. Kali ini aku hadir dengan tema berbeda dari sebelumnya. Kebetulan novel ini merupakan program Exclusive Guest Writer dari StoryOn, outline-nya udah aku serahkan ke editor tgl 9 November dan baru rilis sekarang. Ide membuat novel ini tercetus setelah menonton film Lolita, bisa dikatakan terinspirasi dari film tersebut. Namun, ceritanya berbeda jauh ya. Semoga suka yaa. ^^

Bình Luận Sách (1533)

  • avatar
    Pzln25

    Good novels..the story so fresh and diferent from other ...keep it up!!!

    24/08/2022

      0
  • avatar
    Ieka Syafikaa

    Cerita nya bagus bangett .. I love it . 5 stars for you ..

    05/06/2022

      0
  • avatar
    rhmassn

    sumpah aku suka bgt sama ceritanya😭😭 semoga ada season 2 nya yaaa aku tunggu!!😍❤️‍🔥

    11/05/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất